HARI-hari ini, media massa seluruh dunia menyajikan bagaimana rakyat Perancis membangun solidaritas. Ribuan, mungkin juga puluhan ribu, orang tumpah ruah ke jalan-jalan. Mereka bergandeng tangan memprotes penyerangan yang berakhir dengan kematian 12 awak media Charlie Habdo, media kontroversial yang kerap nyeleneh dan sering dinilai menghina Islam.
Dari televisi, di negeri yang jauh itu kita melihat sebuah solidaritas yang mendirikan bulu roma. Belum pernah saya melihat solidaritas yang begitu besar ketika sebuah media diserang. Uniknya, mereka menyampaikan protes dalam diam. Hanya pena dan rokok yang diacung ke atas sebagai bentuk protes.
Agustus lalu, ketika Israel melancarkan serangan mematikan di jalur Gaza, ribuan demonstran juga turun ke jalan. Mereka bahkan memprotes Pemerintah Perancis yang menurut mereka mendukung serangan Israel ke Palestina. Menurut mereka, itu tindakan memalukan.
Sebagai orang Islam, saya merasakan kemarahan dari dalam diri ketika Charlie Habdo membuat marah umat Islam sedunia lewat karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW. Tetapi sebagai manusia, yang berprofesi sebagai jurnalis, saya juga menggugat: tak patut mereka dihabisi lantaran karyanya. Karya dibalas dengan karya. Pemikiran dibalas pemikiran, bukan senjata.
Pembunuhan terhadap awak media bukan kali ini saja terjadi. Entah berapa banyak jurnalis yang meregang nyawa gara-gara memberitakan sesuatu yang tidak cocok dengan pemikiran orang lain. Benar, jurnalisme adalah kerja penuh resiko. Tapi, tanpa resiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan?
Lepas dari soal benar salah, solidaritas warga Perancis seolah melempar kita ke masa lalu: ketika Revolusi Perancis meletus pada 1789-1799. Sejarah mencatat, itulah momentum yang kemudian menciptakan tatanan sosial baru di Perancis dan Eropa pada umumnya.
Saat itu, warga Perancis dari kelompok politik radikal sayap kiri, juga kaum buruh dan petani, turun ke jalan. Mereka bergandeng tangan meruntuhkan kekuasaan monarki absolut yang telah hadir berabad-abad sebelumnya. Rakyat yang lama terkungkung memberontak serentak. Ide-ide lama tentang tradisi kekuasaan monarki dan nilai-nilai yang ditanamkan Gereja Katolik digulingkan tiba-tiba dan diganti dengan prinsip baru: Liberte, egalite, fraternite. Kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Dari titik inilah nilai-nilai baru dibangun. Sebagian diantaranya diterima secara universal. Di tempat lain, era kerajaan runtuh, berganti dengan bentuk lain seperti republik. Demokrasi liberal segera menyebar ke banyak tempat lain.
Dalam konteks Aceh, revolusi yang berdampak pada berubahnya tatanan nilai dan strata sosial pernah terjadi lewat apa yang kemudian dikenang sebagai Perang Cumbok. Ini adalah peristiwa yang digelorakan ulama Aceh ketika menjatuhkan kekuasaan para Uleebalang pada periode awal kemerdekaan Indonesia lalu: 2 Desember 1945 hingga 17 Januari 1946.
Namun tak semua uleebalang bertindak sesuka hatinya. Tak sedikit pula uleebalang yang berbuat sesuatu bagi masyarakat. Bahkan sebagian mereka berdiri di pihak ulama. Di Peusangan, ada Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alam Syah yang memakmurkan rakyatnya dan berhubungan baik dengan kaum ulama.
Namun di Pidie ada Daud Cumbok dan Teuku Keumangan Oemar yang gila kekuasaan: menguasai tanah rakyat dan jauh dari ulama.
Hari ini, 69 tahun lalu, pada 10 Januari 1946, rakyat yang marah bersama kaum ulama menyerang markas Daud Cumbok di Lam Meulo (sekarang Kota Bakti), Pidie. Tiga hari pertempuran berlangsung siang malam. Pertempuran berakhir setelah pendukung Daud Cumbok terdesak dan lari ke hutan. Pertempuran berakhir 17 Januari.
Sejarah mencatat, selalu ada sisi negatif dan positif dalam sebuah revolusi sosial. Negatifnya, perang Cumbok tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan di Aceh. Para Uleebalang yang dianggap berseberangan dengan kaum agamawan dikejar-kejar dan dibunuh tanpa proses hukum. Pahit!
"Saya tak mau membicarakannya," kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah Universitas Gadjah Mada asal Aceh kepada Tempo tahun 2003.
Ketika itu, Teuku Ibrahim Alfian yang tiga tahun setelah wawancara itu meninggal dunia, mengatakan ayah dan ibunya selamat dari perang itu. Namun nenek, kakek, paman, juga sejumlah sepupunya menjadi korban kemarahan massa. "Saya tak tahu dimana kubur mereka sampai kini," kata Ibrahim.
Namun bagi sebagian orang Aceh yang lain, perang Cumbok berarti berakhirnya kekuasaan absolut ala feodalisme kaum uleebalang. Kaum bangsawan dengan gelar Cut dan Teuku itu kini setara dengan kelompok masyarakat lain, sesuatu yang tak mungkin terjadi sebelum revolusi Cumbok.
Begitupun, tak semua ulama sepakat dengan aksi kekerasan. Mantan anggota MPR RI Farhan Hamid mengenang satu peristiwa yang pernah dituturkan ayahnya, Ayah Hamid Samalanga.
Suatu hari, kata Farhan, serombongan orang meminta ayahnya datang sebuah lapangan. Di sana, sudah ada puluhan orang yang bersiap menghabisi belasan bocah keturunan uleebalang. Ayah Hamid meradang. Ia tak sepakat. "Tunjukkan padaku hukum Allah yang mana yang membenarkan tindakan ini," teriak Ayah Hamid seperti diceritakan Farhan kepada Tempo. Anak-anak yang tak tahu apa-apa itu terselamatkan. Ayah Hamid membawanya ke pesantren miliknya.
Kekerasan, bagaimana pun, akan melahirkan kekerasan berikutnya.[]
Catatan: Opini ini adalah pandangan pribadi
Editor: Yuswardi A. Suud