Pendiri organisasi separatis Free West Papua, Benny Wenda, mengatakan ia tidak percaya pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo akan mampu membawa perubahan di Papua.
Ini dikatakannya meskipun Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen pemerintah untuk lebih memajukan provinsi di bagian timur itu.
"Saya melihat dari presiden ke presiden tidak pernah membawa perubahan. Saya hanya mungkin bisa mengatakan presiden yang dulu seperti Gus Dur, itu mungkin orang yang moderat," kata Benny Wenda dalam wawancara khusus di Oxford, Inggris, yang menjadi markasnya selama sekitar 12 tahun terakhir.
"Tetapi yang lain saya tidak percaya. Mungkin Habibie karena Habibie bisa memberikan kelonggaran sedikit untuk rakyat Timor Leste. Tapi sekarang Presiden Joko Widodo, saya pikir itu janji belaka."
Pasalnya, kata Benny, presiden mengangkat Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang di awal masa jabatannya sudah mengungkapkan rencana mengirim transmigran ke Provinsi Papua.
"Jadi janji-janji itu omong kosong. Saya sendiri tidak percaya, mungkin rakyat Papua. Tapi saya tidak percaya."
Otonomi khusus
Beberapa rekan seperjuangan Benny Wenda memutuskan pulang dari pengasingan di luar negeri karena yakin Papua dan Indonesia telah mengalami transformasi.
Franz Albert Joku, 61, sebelumnya bermukim di Papua Nugini sejak remaja. Nicholas Messet mengasingkan diri ke Swedia selama 40 tahun dan menjadi warga negara sana.
"Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri tapi hasilnya tidak ada. Lalu saya kembali ke Indonesia untuk membangun Papua di dalam bingkai NKRI karena saya lihat sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua," kata Nicholas Messet.
Ia pun menyambut otonomi khusus yang diperluas untuk Provinsi Papua.
Melalui UU Otsus Papua yang disahkan pada 2001 dan efektif berlaku 2002, pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah. Dalam rangka status khusus itu pula, jabatan gubernur dan bupati sudah diberikan kepada putra-putri asli Papua.
'Papua tipu Papua'
Pendelegasian wewenang itu disertai kucuran dana otonomi khusus dalam jumlah sangat besar.
"Saat ini pemerintah mengalokasikan sekitar Rp7 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain dana otonomi khusus bagi Papua, pemerintah juga mengalokasikan dana infrastruktur sekitar Rp2,5 triliun kepada Papua," kata Perencana Pengembangan Wilayah Tertinggal di Bappenas, Velix Wanggai.
Titik berat dana otonomi khusus itu adalah untuk pembenahan pendidikan, pelayanan kesehatan dan ekonomi rakyat.
"Pemerintah menyadari bahwa akses jaringan infrastruktur harus didorong dan ditingkatkan karena aspek infrastuktur sering kali menyebabkan kemahalan harga," tutur Velix Wanggai.
Selain dana otonomi khusus, Papua juga masih mendapat dana-dana lain termasuk dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Bila ditotal, dana pusat yang mengucur ke Papua sekitar Rp30 triliun setahun.
Namun, apa yang terjadi dengan otonomi khusus di Papua setelah berjalan dalam tempo lebih dari 10 tahun terakhir?
"Orang Papua sendiri juga salah mempergunakan otonomi khusus itu, khususnya orang asli Papua," kata tokoh masyarakat Papua yang dulu menjadi aktivis Papua merdeka, Nicholas Messet kepada Rohmatin Bonasir dari BBC Indonesia.
"Sekarang ini Jakarta berikan uang penuh kepada orang Papua. Gubernur, bupati, walikota sampai camat-camat memiliki hak untuk memegang keuangan itu. Sekarang ini orang Papua menipu orang Papua. Lalu ada singkatan Papua tipu Papua, Patipa," tambahnya.
Akibatnya, lanjut Nicholas Messet, gelontoran uang pusat dalam rangka otonomi khusus hanya memperkaya segelintir orang dan tidak sampai ke tangan rakyat biasa.[] sumber: National Geographic
Editor: Boy Nashruddin Agus