Sudah lama saya merencanakan perjalanan ke Bangkok, ibukota Thailand. Namun, rencana itu beberapa kali gagal dan baru terwujud kali ini. Kebetulan, maskapai murah AirAsia sedang punya program promo untuk rute negeri gajah putih ini. Maka bersama istri dan dua saudara sepupu perempuan, kami putuskan mengembara selama sepekan ke Thailand ala backpacker.
Ini adalah perjalanan pertama saya ke Bangkok. Tahun lalu, saya hanya sempat ke Phuket dan pulau Phi Phi. Kali ini, selain ke Bangkok, kami juga ingin bertualang ke Pattaya dan Chiang Mai, provinsi yang berbatasan dengan Myanmar. Kebetulan pada 7 Mei mendatang, Chiang Mai menggelar perhelatan festival bunga untuk menarik kunjungan wisatawan.
Maka berangkatlah kami pada 3 Februari lalu. Sebenarnya awalnya sempat muncul rasa waswas di hati. Sebab, Thailand sedang dilanda konflik politik. Namun, kami percaya negeri itu tidak akan mencelakai ribuan, mungkin juga jutaan turis yang berkunjung ke sana. Selagi belum ada larangan resmi untuk masuk ke sana, itu artinya kondisi masih terkendali.
Karena AirAsia tujuan Bangkok berangkat dari bandara Kuala Namu, Medan, kami pun berangkat dengan bus malam dari Banda Aceh. Harga tiketnya Rp180 ribu per orang. Kami kebagian armada baru bus MercedesBenz yang dilengkapi jaringan internet nirkabel. Sayangnya, ketika dicoba, koneksinya gak nyambung-nyambung. Karena tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan, saya manfaatkan waktu untuk tidur dengan tenang. Apalagi, butuh waktu 12 jam bagi bus tersebut untuk tiba di Medan.
Pukul 8 pagi kami tiba di Medan. Singgah sebentar di rumah keluarga, kami harus mengejar kereta api dari Medan ke Kuala Namu yang berangkat pukul 11.10.
Sejak bandara Kuala Namu diresmikan beberapa bulan lalu, kereta api bandara menjadi salah satu pilihan favorit menuju Kuala Namu. Kereta yang nyaman dan pelayanan kelas eksekutif membuat kami lebih memilih naik kereta api daripada menggunakan bus Damri. Dari kota Medan ke Kuala Namu, ditempuh dalam waktu 45 menit. Untuk pemegang tiket AirAsia, cukup membayar Rp65 ribu per orang, dari harga normal Rp90 ribu.
Pukul dua siang, pesawat yang membawa kami meninggalkan Kuala Namu. Perjalanan dari Medan ke Bangkok memakan waktu dua jam, kira-kira sama dengan waktu tempuh Medan – Jakarta. Ketika tiba di Bandara Don Mueang, waktu menunjukkan pukul 16.10. Tak ada perbedaan waktu antara Bangkok dan Indonesia bagian barat.
Don Mueang bandara kecil. Sedangkan bandara kebanggaan Bangkok bernama Svarnabhumi. Lantaran harus menjemput seorang teman yang berangkat dari Jakarta, kami meluncur ke Svarnabhumi. Otoritas bandara menyediakan bus gratis dari Don Mueang ke Svarnabhumi. Cukup menunjukkan boarding pass pesawat, petugas mempersilahkan kami naik ke shuttle bus yang telah menunggu.
Saya tidak tahu persis jarak Don Mueang dengan Svarnabhumi. Kami tiba di sana setelah satu jam meluncur di jalan tol nan lebar.
Svarnabhumi bentuknya futuristik. Seluruh dinding bangunan berlantai empat itu dibuat dari kaca. Jalanan yang dibuat bertingkat memungkinkan bus yang kami tumpangi berhenti di lantai tiga.
Di dalam bangunan bandara, suasana terasa sibuk. Selain counter-counter maskapai penerbangan, ada banyak gerai yang menjual pakaian dan makanan.
Karena sudah sore, perut terasa keroncongan. Kami mencoba mendekati beberapa gerai makanan. Namun, hampir semuanya menjual makanan berbahan dasar babi dengan tulisan “pork” di menunya. Kalau pun ada yang menjual Tom Yam Kung, makanan khas Thailand, bayang-bayang babi terus menghantui.
Walhasil, kami melupakan rencana mencicipi makanan Thailand. Di tengah serangan rasa lapar itu, tiba-tiba saya teringat sesuatu. Di dalam tas ada empat bungkus nasi padang yang kami beli di Medan sebelum berangkat ke Kuala Namu. Saya hampir lupa. Padahal kami sudah menyiapkan makanan dari Medan untuk mengantisipasi jika kesulitan menemukan makanan halal di bandara Bangkok.
Nasi padang itu tidak dimasukkan dalam kotak, melainkan berupa nasi bungkus yang dilapisi kertas dan daun pisang. Akhirnya, sambil menunggu pesawat yang membawa teman dari Jakarta mendarat, kami mencari pojokan untuk menyantap nasi padang.
Entah karena melihat pemandangan yang tak lazim itu, dua perempuan berpakaian seragam yang duduk di dekat kami saling bisik-bisik sambil tersenyum. Barangkali dia tak pernah melihat orang makan nasi bungkus yang dibalut daun pisang. Ah, kami memilih cuek saja daripada kelaparan.
Ketika berangkat dari Medan kami sempat was-was jangan-jangan petugas bandara tidak mengizinkan nasi itu dibawa melintas batas negara. Apalagi, petugas sempat melarang kami membawa air mineral. Terbayanglah kuah ayam yang dibungkus terpisah dari nasi. Kuah dan air mineral sama-sama berbentuk cair, hal yang dilarang untuk masuk dalam kabin pesawat. Entah karena tak terpantau atau bagaimana, kuah ayam itu bernasib lebih baik daripada air mineral: lolos dari pantauan petugas.
Ketika memutuskan membawa nasi padang itu sebenarnya kami sempat berpikir akan dilarang. Tapi, kami nekat saja. Toh kalau pun ketahuan, membawa nasi padang bukanlah kejahatan seperti halnya menyelundupkan narkoba. Hasilnya, nasi padang itu sukses mengganjal perut kami setiba di Bangkok.
Ssstt…jangan bilang-bilang petugas bandara Kuala Namu ya…[] (bersambung)
Editor: