SUATU hari pada pertengahan 2007, saya terlibat diskusi dengan istri yang baru enam bulan saya nikahi. Hari itu kami bertukar pikiran tentang kemungkinan memulai sebuah bisnis. Istri saya yang lulusan Institute Pertanian Bogor mulai mencoret-coret di kertas: menghitung biaya modal, membandingkan sejumlah bisnis, hingga bagaimana mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan jika bisnis merugi. Alamat habislah semua tabungan yang ada. Sebagai pekerja swasta, tentu amat beresiko jika itu terjadi. Walhasil, diskusi hari itu tak melahirkan kesimpulan.
Dua bulan setelah diskusi itu kami belum mengambil keputusan harus berbisnis apa. Bayang-bayang bakal merugi selalu menghantui. Jika itu terjadi, kami harus memulai segala sesuatu dari nol lagi. Bukan hal mudah, tentu saja.
Hingga akhirnya ketika browsing di internet, saya menemukan sebuah artikel tentang Bob Sadino, pengusaha nyentrik yang tampil dengan ciri khas: celana pendek dan kemeja lengan pendek. Penampilan seperti itu bahkan dipertahannya ketika menerima Presiden Soeharto yang berkunjung ke perkebunannya pada tahun 1980-an.
Tapi bukan itu yang menginspirasi saya. Bob yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, suatu ketika bangkrut. Bisnisnya kala itu merugi. Bersama istrinya, ia kemudian berjualan telur dari pintu ke pintu di kawasan tempat tinggalnya di Kemang. Bisnis inilah yang kemudian membuatnya berhasil hingga melahirkan supermarket Kemchiks.
Apa kunci suksesnya? “Jadi pengusaha harus berani goblok,” kata Bob Sadino dalam sejumlah kesempatan. “Orang goblok berani langsung praktik, sementara orang pintar terlalu banyak pertimbangan sehingga terkadang malah tidak jadi melangkah.”
Bob pun menyarankan para pengusaha pemula untuk mencari kegagalan dan kendala. “Saya mengalami segunung kegagalan, kendala dan keringat dingin dan air mata dara. Tapi saya belajar dari kegagalan dan mencari jalan keluarnya. Kegagalan adalah anugrah,” kata Bob yang pernah bekerja sebagai kuli bangunan setelah harta peninggalan orang tuanya ludes.
Jika bagian sebagian besar orang berdagang adalah untuk mencari untung, bagi Bob Sadino justru sebalik: mencari rugi.
Tentu yang dimaksud Bob bukanlah harus terus menerus merugi. Namun dengan pola pikir begitu, seorang pengusaha sudah siap jika suatu ketika bisnisnya merugi. “Maknanya adalah, rugi tak perlu ditakuti,” begitu kata Bob dalam sejumlah kelas pelatihan bagi pebisnis.
Dengan mindset seperti itu, bagi Bob, kesalahan bukanlah tabu yang harus dihindari. Justru orang harus belajar dari kesalahan. Jika takut salah, maka orang tak pernah melangkah melakukan sesuatu yang lebih besar dan bermakna, begitu filsafat dagang yang dipegangnya.
Bob menerapkan prinsip itu pada dua perusahaannya yaitu Kemchiks (pabrik daging olahan), dan Kemfarms (eksportir sayur dan buah). Ia tak menghukum pekerjanya yang berbuat salah. Pernah ada karyawannya melakukan kesalahan dan membuat rugi hingga US$ 5 juta, namun Bob masih mempekerjakan orang itu.
"Banyak orang bilang saya gila, hingga akhirnya mereka dapat melihat kesuksesan saya karena hasil kegilaan saya," kata pria kelahiran Bandar Lampung, 9 Maret 1933 itu.
Prinsip bisnis Bob Sadino itu bagai palu godam yang mengetok saraf kesadaran saya. Kita hidup dengan berbagai risiko. Bahkan, mengendarai mobil di jalanan pun berisiko kecelakaan. Perkawinan punya risiko bercerai. Bukankah pacaran saja berisiko putus di tengah jalan?
Kata-kata Bob Sadino itulah yang kemudian seperti asupan yang menumbuhkan keberanian untuk melangkah. Ya, keberanian untuk menjadi goblok dan mengambil risiko jika sewaktu-waktu bisnis kami merugi.
Walhasil, kami akhirnya bersepakat memulai sebuah bisnis yang waktu itu tergolong baru, belum menjamur seperti sekarang. Sebuah bisnis yang barangkali dihindari oleh para sarjana: bisnis mencuci pakaian. Karena belum punya pengalaman, kami membeli franchise dari sebuah laundry kiloan di Yogyakarta. Dengan begitu, risiko gagal lebih kecil karena sistem waralaba menyediakan standar operasional.
Di awal-awal tentu banyak cemoohan, meski tak sedikit pula kawan-kawan yang mendukung. “Ngapain kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya menjadi tukang cuci pakaian orang,” begitu kata sebagian rekan sambil tertawa nyinyir.
Tapi waktu akhirnya membuktikan bahwa pilihan bisnis itu tak salah. Baru enam bulan berjalan, kami menikmati keuntungan hingga Rp20 juta per bulan, angka yang tak pernah muncul di benak saya sebelumnya. Setahun kemudian kami mendirikan gerai kedua.
Hari-hari setelah itu saya kian dirasuki Bob Sadino. Ketika memutuskan mendirikan media ini bersama Nurlis E. Meuko pada awal 2011 prinsip Bob Sadino pula yang merasuki. Jika gagal, itu adalah risiko yang harus diambil. Faktanya, meski pernah tinggal berdua saja mengurus media ini dan pernah offline dua kali dalam durasi satu hingga empat bulan, pada Februari mendatang media ini sudah berusia empat tahun.
***
Bagi Bob Sadino, seorang pebisnis haruslah memiliki kepribadian sendiri. Itu pula yang ditunjukkannya lewat caranya berpakaian yang dianggap sebagian orang tidak sopan, tidak mengikuti pakem orang ramai berpakaian, dan aneka pandangan miring lainnya.
Tapi bagi Bob Sadino, seperti pernah dituturkannya kepada harian Kompas,”bagi saya, pakaian adalah kepribadian. Soal tudingan bahwa celana pendek simbol tidak menghargai orang lain, itu sekali lagi hanyalah mindset orang kebanyakan. Saya pernah diusir dari Gedung DPR semata karena mengenakan celana pendek. Saya dituntut memakai celana panjang kalau mau masuk ke gedung rakyat itu. Oke. Saya mau bertanya, lebih baik mana, celana pendek tapi dibeli dengan uang sendiri atau celana panjang tetapi dibayar dengan uang rakyat? Ha-ha-ha.”
Di lain waktu, Bob berujar,”karena saya goblok, saya mempekerjakan orang pintar. Jadi orang pintar dibayar oleh orang goblok. Orang pintar belajar keras untuk melamar pekerjaan. Orang goblok itu berjuang keras untuk sukses biar bisa bayar pelamar kerja."
Tentang filosofi goblok, Bob Sadino pernah mengibaratkannya seperti mengosongkan gelas ilmu. Banyak orang, kata dia, merasa diri sudah pintar sehingga menolak masukan dari orang lain. Bagi Bob, itu adalah goblok dalam arti sesungguhnya karena tidak mau menerima masukan dari orang lain. Padahal, setiap orang serendah apapun pasti memiliki pengalaman yang layak dipelajari.
Begitulah pinsip bisnis Bob Sadino yang kemudian terbukti membawanya sebagai salah satu entrepreneur yang diperhitungkan di negeri ini.
Maka ketika membaca kabar ia menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun kemarin sore, 19 Januari 2015, saya seperti merasakan kehilangan seorang guru meski tak pernah bertatap muka secara langsung.
Selamat jalan, Om Bob![]
BIODATA:
Nama : Bob (Bambang Mustari) Sadino
Lahir : Tanjung Karang (Bandar Lampung), 9 Maret 1933
Agama : Islam
Istri : Soelami Soejoed
Anak : Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih
Kegemaran: Mendengarkan music jazz dan klasik
Kenangan terindah: saat salat berjamaah dengan istri dan dua putrinya.
Pendidikan:
- SD, Yogyakarta (1947)
- SMP, Jakarta (1950)
- SMA, Jakarta (1953)
Pekerjaan:
- Karyawan Unilever (1954-1955)
- Karyawan Djakarta Llyod, Amsterdam dan Humburg (1950-1967)
- Pemilik tunggal supermarket Kem Chicks
- Dirut PT Boga Catur Rata (Bidang Retail)
- PT Kem Foods
Editor: Yuswardi A. Suud