PROVINSI Aceh menargetkan jadi produsen kakao terbesar di wilayah Indonesia bagian barat.
Hal ini diungkapkan oleh Gubernur Zaini Abdullah dalam sambutannya pada kegiatan Indonesia International Cocoa Conference-IICC atau konferensi kakao internasional yang berlangsung di Nusa Dua Bali, Kamis 15 Mei 2014.
“Optimisme ini tidak lepas dari minat investor yang semakin banyak menaruh perhatian. Komoditi yang dikembangkan tidak hanya kelapa sawit dan karet, tapi juga kakao. Secara ilmiah, iklim Aceh termasuk sangat ideal untuk pengembangan perkebunan kakao,” kata Doto Zaini.
Ajang IICC ke-6 dan pertemuan kemitraan Yayasan Kakao Dunia (WCF) ini berlangsung pada Kamis hingga Jumat, 16 Mei 2014.
Dikatakan, luas areal Perkebunan Kakao di Aceh saat ini mencapai 100 ribu hektare dengan produksi sebanyak 27 ribu ton per tahun.
Menurut Gubernur Zaini, potensi ini masih bisa dikembangkan, mengingat di Aceh tersedia lebih dari 120 ribu hektar lahan tidur yang bisa dimanfaatkan. Karena itu, lewat forum IICC, Doto Zaini mengundang investor untuk beramai-ramai mengembangkan usahanya di Aceh.
“Mengingat banyak sekali sumber daya yang bisa dikembangkan dan kami akan memberi kemudahan dan perlindungan kepada investor yang membuka usaha di Aceh,” ujar Zaini Abdullah.
Gubernur juga bertekat membenahi sistem perkebunan kakao Aceh. Misalnya, melatih para petani agar lebih terarah sehingga bisa memproduksi 700 sampai 800 kg per hectare, sebagaimana yang telah dicapai oleh Sulawesi.
“Dukungan kalangan dunia usaha dan lembaga mitra sangat kami butuhkan. Jika semua potensi ini bisa kita tingkatkan lagi, kami percaya produksi Kakao Aceh tidak kalah dengan Sulawesi,” ujar dia.
Sementara Menteri Perdagangan RI Muhammad Luthfi mengatakan, Pemerintah Indonesia terus mengupayakan kehadiran kakao Indonesia di pasar internasional. Dijelaskannya, Indonesia tidak hanya mengekspor biji kakao guna membantu pemenuhan kebutuhan global, namun juga mendorong ekspor produk olahan yang masih memiliki potensi luar biasa di pasar global, terutama produk kakao seperti biji kakao yang difermentasi (fermented beans), coklat bubuk (cocoa powder), dan minuman keras (liquors).
"Sebagai produsen kakao terbesar kedua di dunia, Indonesia telah sangat berhasil menerapkan kebijakan perdagangan yang tidak hanya dapat meningkatkan produk sibiji kakao, tetapi juga meningkatkan ekspor kakao olahan dibandingkan dengan biji kakao," kata Luthfi.
Sector Industri kakao Indonesia, kata dia, berhasil mempromosikan ekspor bernilai tinggi dan menyeimbangkan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. “Tak heran, jika Indonesia akan menjadi poros produksi di Asia Tenggara,” ujar dia.
Luthfi juga menyampaikan dukungannya terhadap implementasi skema sertifikasi produksi kakao yang berkelanjutan.
Petani diharapkan mampu menerima imbalan yang sesuai melalui program sertifikasi berkelanjutan.
“Serfitikasi tersebut mendukung peningkatan pendapatan petani, memberikan harga pasar yang adil dan sesuai bagi petani dan industry kakao, memberikan kemudahan bagi petani dalam memperoleh pembiayaan, serta meningkatkan akses pasar kakao,” kata dia lagi.
Selain Gubernur Zaini Abdullah, jajaran pembicara yang meramaikan konferensi ini antara lain Menteri Pertanian Indonesia Suswono, Presiden Mars Symbioscience Frank Mars, Ketua WCF Nicko Debenham, dan wakil presiden kesinambungan kakao di Barry Callebaut.
Selanjutnya juga hadir Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Zulhefi Sikumbang, Ketua Federasi Perdagangan Kakao Gerry Manley, Ketua Asosiasi Kakao Asia Brandon Tay, presiden Cargill Cocoa & Chocolate Jos de Loor, Presiden WCF Bill Guyton, dan Direktur eksekutif organisasi Kakao Internasional Jean-Marc Angga.
Konferensi itu juga diikuti sejumlah anggota dari industry cokelat dan kakao, pemerintah, LSM, akademisi, dan lembaga penelitian di seluruh dunia.
Editor: Murdani Abdullah