HERMAN geleng-geleng kepala ketika melihat kondisi Gedung Juang di Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda, Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Banda Aceh. Kanopi jendela bagian kiri depan gedung berarsitektur Eropa itu nyaris ambruk. Kayunya bolong-bolong dan keropos akibat disantap rayap. Dinding samping kiri juga terkelupas di beberapa titik.
“Gedung ini seperti tak bertuan, tidak terawat, padahal ini salah satu cagar budaya,” kata Herman, warga Lhokseumawe yang merupakan peminat kebudayaan, ketika berkunjung ke Gedung Juang itu, menjelang sore pada Sabtu dua pekan lalu.
Herman datang bersama peneliti kebudayaan Islam Taqiyuddin Muhammad, kolektor manuskrip kuno Tarmizi A. Hamid, sineas Aceh Irfan, aktivis LSM Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) Thayeb Loh Angen, dan dua anak muda dari Lhokseumawe.
Mulanya mereka bercakap-cakap di bawah bak mee di halaman Gedung Juang. Dekat bak mee, parkir mobil penyedot tinja. Lebih ke depan lagi, samping pagar teronggok sejumlah meriam yang moncongnya siap tempur. Ada pula papan nama “Gedung Juang”, “Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, dan “Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (DPD PEPABRI) Aceh”. Kantor DPD PEPABRI Aceh di belakang Gedung Juang.
Seusai mengamati Gedung Juang, Herman dan kawan-kawan saling bertanya tentang sejarah bangunan peninggalan Belanda itu. Akan tetapi tidak banyak informasi yang mereka ketahui, termasuk tahun berapa gedung itu didirikan. Menurut Tarmizi A. Hamid, pada masa penjajahan Belanda pernah menyiksa ulama Aceh di dalam gedung tersebut.
Ketika Jepang masuk ke Aceh tahun 1942, gedung tersebut dijadikan sebagai kantor Shu-chokan (Pemerintahan Militer/Residen Aceh). Menurut mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Sjamaun Gaharu dalam buku “Sjamaun Gaharu; Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal”, di halaman kantor Shu-chokan itu merupakan tempat kedua dikibarkan bendera merah putih oleh para pejuang Aceh setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelumnya para pejuang Aceh mengibarkan bendera merah putih di halaman kantor Teuku Nyak Arif (Panglima Sagi XXVI Mukim yang kemudian menjadi Wakil Ketua DPR untuk Sumatera, dan terakhir sebagai Residen Aceh). Kantor itu kemudian menjadi kantor Departemen Agama RI di Aceh. Sedangkan Kantor Shu-chokan lantas difungsikan sebagai gedung Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis).
“Setahu saya, gedung (Gedung Juang) ini terakhir pernah difungsikan untuk ruang kuliah Unida,” kata Irfan kepada rekan-rekannya. Unida adalah Universitas Iskandar Muda.
Percakapan mereka sekonyong-konyong buyar tatkala muncul seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki memakai kemeja merah dan celana putih itu segera memperkenalkan diri, “Saya Idrus, sudah 12 tahun menjaga kompleks ini”.
“O… pah that, jeut kamoe kalon-kalon u dalam geudong nyoe siat (boleh kami melihat-lihat ke dalam gedung ini),” Tarmizi A. Hamid akrab disapa Cek Midi bertanya pada Idrus.
“Bolehlah,” ujar Idrus yang kemudian menyeret kakinya ke pintu utama Gedung Juang. Di atas pintu utama tertulis “UDEP SAREE MATEE SJAHID”. “Ini bangunan peninggalan Belanda yang masih utuh,” kata dia sambil membuka pintu utama. Di ruang tamu ada sebuah miniatur dan kursi kayu panjang.
“Yang ini ruang ketua Legiun Veteran,” ujar Idrus seusai mendorong daun pintu ruangan tersebut. Tampak sebuah meja besar berlapis kaca. Di atasnya ada papan nama “H. Achmad Amins”. Menurut Idrus, Kolonel (Purn) H. Achmad Amins merupakan Ketua Legiun Veteran Aceh saat ini. Depan meja ada dua kursi yang tertulis “Angk. 45 (Angkatan 45-red)”. Di balik meja ada sebuah kursi. Bendera merah putih samping kanan meja, dan bendera Legiun Veteran di sisi kiri.
Masih di ruangan tersebut, satu set sofa warna pink mengelilingi meja kecil. Di lantai samping dinding menumpuk buku yang bertabur debu. Di bagian atas dinding terpajang gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Ada pula sebuah kalender 2014 “Yayasan Gedung Veteran Republik Indonesia”. Cat warna krem dinding ruangan itu terkelupas di beberapa titik.
Seusai berpose dengan Tarmizi di balik meja ketua Legiun Veteran, Idrus lantas membuka pintu ruangan sebelah kiri. Di dinding ruangan itu tertempel papan “Struktur Organisasi Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Di sini juga ada sebuah lemari tua, dua kursi dan satu meja kayu. Ruangan sebelahnya lagi tampak kosong. “Dan satu ruangan lagi di belakang untuk aula,” ujar Idrus.
Idrus bersama Herman Cs., keluar dari Gedung Juang. Mereka kemudian foto bersama di muka pintu utama. “Seingat saya, atap gedung ini sudah dua kali direhab, terakhir sebelum tsunami saat dibangun cungkup Makam Sultan Iskandar Muda,” kata Idrus yang berasal dari Pidie Jaya.
Menurut Idrus, Gedung Juang selama ini difungsikan sebagai kantor Legiun Veteran RI di Aceh. Sekali-kali, kata dia, gedung ini disinggahi veteran dari kabupaten/kota yang datang ke Banda Aceh. Tidak ada aktivitas rutin di bangunan itu.
Herman berharap gedung bersejarah tersebut dapat dihidupkan dengan aktivitas yang bermanfaat untuk Aceh daripada dibiarkan vakum berkalang tahun. Misalnya, difungsikan menjadi Gedung Kebudayaan dan Peradaban Aceh, selain kantor Legiun Veteran.
“Di sini menjadi tempat para budayawan Aceh berdiskusi dan beraktivitas untuk membangkitkan kembali kebudayaan Aceh. Dengan demikian, keberadaan Gedung Juang tidak terkesan tercampakkan seolah tak bernilai,” ujar Herman.[]
Editor: Murdani Abdullah