Aceh memang "gila" tapi paling objektif dalam politik dan sepakbola. Jumat(6/6) lalu berduyun-duyun orang dari berbagai daerah tingkat dua datang ke Banda Aceh menonton laga Timnas U-19 dengan Tim Pra Pon Aceh. Bahkan stadiun terbesar di Sumatera itu membludak oleh penonton. Kabarnya ada yang sudah beli tiket, tapi tidak bisa masuk ke dalam karena penuh penonton. Akhirnya banyak yang memilih manjat pagar.
Rakyat Aceh mengapresiasi prestasi yang ditorehkan Timnas U-19 sebagai juara AFF dan membawa harum nama bangsa. Tour ujicoba mereka diluar negeri-pun berbuah manis dengan hasil tidak mengecewakan. Tim besutan Indra Sjafrie ini juga memiliki komposisi merata putra-putra terbaik se-Nusantara.
Wajar pecinta bola di tanah Rencong menyerbu stadiun Harapan Bangsa. Bila anda menonton bola di Banda Aceh, penonton tak segan-segan juga memberi aplaus bagi tim tamu yang bermain bagus. Atau menyoraki tuan rumah yang tampil buruk. Sangat toleran dan objektif. Meski kadang sasaran kekecewaannya dilampiaskan melempar atau merusak sedikit stadium.
Dalam dalam dunia politik, terlalu banyak faktanya. Kadang proses-nya sedikit "gila", tapi pada akhirnya ada objektifitas disana. Lihat dulu pasca era reformasi, Amien-Siswono menang putaran pertama di Aceh dan Sumbar, meski suaranya tidak lolos secara nasional. Amien Rais dianggap sebagai lokomotif reformasi dan ide-idenya brilian seperti isu negara federasi bagi Indonesia. Hal demikian sangat menarik bagi provinsi paling Barat Indonesia tersebut. Amien juga dinilai kerap menyuarakan isu Aceh saat itu.
Begitupun halnya SBY-Boediono yang menang mutlak 93 persen pada pilpres 2009. Mengapa bukan JK? JK memang memprakarsai sejumlah pertemuan penting proses damai di Aceh sejak awal, tapi SBY-lah penentu kebijakannya. Seperti diakui Dino Patti Jalal dalam buku "?ndonesia Bisa!" Rakyat Aceh menginginkan SBY-JK, tapi keduanya gagal bersatu.
Kemudian rakyat Aceh memberikan apresiasi kepada SBY, sehingga Jendral asal Pacitan ini dalam lawatan ke Luar negeri (2006-2007) selalu berbicara keberhasilan perdamaian Aceh. SBY kemudian masuk salah satu kandidat penerima nobel perdamaian. Meski setahun setelahnya akhirnya award bergensi itu disabet Marti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang menfasilitasi pertemuan Helsinki.
Meski SBY pada masa Mega sebagai Menkopolkam, rakyat Aceh menganggap Mega-lah pengambil kebijakan sebagai Presiden. Mega pernah berjanji kalau dia memimpin tidak ada lagi darah yang tertumpah di bumi Iskandar Muda. Tapi dia ingkar janji dan mengirim serdadu ke Aceh lewat operasi militer. Sama seperti ayahnya Soekarno yang menipu ketulusan perjuangan Aceh di masa awal kemerdekaan yang kemudian melahirkan pemberontakan demi pemberontakan.
Sangat objektif bukan? Hingga moncong putih tidak menang di Aceh. Baik Amien, SBY maupun Mega ketiganya bukan orang Aceh. Tapi dalam ke"gila"-annya rakyat bersikap objektif dalam menentukan preferensi pilihan politik. Wajar saja bila kemudian banyak survey salah prediksi prahara politik di Aceh. Baik level pusat apalagi di tingkat lokal. Sebut saja kemenangan calon Independen Irwandi Nazar pada pilkada 2006 lalu telah menjungkirbalikkan sejumlah prediksi dan lembaga survey nasional.
Pemilu 2014
Pemilu 2014 lalu memang masih terdapat pasar politik yang terdistorsi di Aceh. Sebagai daerah bekas konflik, hal ini dinilai wajar, meski tidak selamanya melulu demikian. Sebab akan mempengaruhi kualitas pemimpin dari demokrasi yang sakit tersebut. Sehingga hasil pemilu Aceh banyak yang menggugat ke MK. Alasannya karena ditengarai terdapat banyak kecurangan, money politik dan paksaan memilih. Akan tetapi menurunnya suara PA sebagai partai dominan dan munculnya partai baru yang memperoleh suara signifikan seperti Nasdem menjadi bukti lain objektifitas Aceh melihat arus dan gerakan perubahan. Sekaligus sebagai punishment terhadap kegagalan politisi PA memperjuangkan aspirasi masyarakat Aceh.
Ini pula yang akan menjadi catatan menarik pada pilpres mendatang. Apakah rakyat Aceh akan memilih Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta. Dua tokoh penting dan simbol Aceh beda pendapat soal pilihan politik terakhir di Serambi Mekkah.
Muzakkir Manaf sebagai ketua Partai Aceh sejak lama sudah komitmen dengan Prabowo sebagai calon Presiden. Komitmen ini jauh hari di bangun berikut deal-deal politiknya dengan mantan Danjen Kopassus dan menantu Soeharto itu. Langkah tersebut objektif sebab survey-survey sebelum kemunculan Jokowi sebagai kandidat Presiden, Prabowo di atas angin dan tinggal menunggu hari menjadi Presiden R1 ke -7.
Mualem pun bersama PA mengkampanyekan Prabowo dan Gerindra. Tapi politik cepat berubah, hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Jokowi yang baru menjabat 1,5 tahun sebagai Gubernur Jakarta yang selalu menyatakan "tidak mikir jadi presiden" akhirnya resmi dicalonkan PDIP sebagai kandidat Presiden.
Jokowi memanfaatkan momentum. Elektabilitasnya menjulang dalam berbagai survey sebagai tokoh fenomenal dalam politik di Indonesia setelah merebut kursi Jakarta 1. Meski sebenarnya ekspektasi PDIP tidak kesampaian untuk meraup minimal 27 persen suara nasional pada pemilu legislatif lalu.
Banyak yang berpandangan bahwa Jokowi effect yang dinantikan tidak terjadi. Namun bila ditelaah dari sisi penyebaran suara di beberapa propinsi yang bukan basis PDIP, maka walaupun kecil tetap ada efek mantan walikota Solo tersebut.
Munculnya sosok JK sebagai cawapres Jokowi menjadikannya lebih seksi untuk maju sebagai R1-1. Mengingat kiprah dan pengalaman JK di kabinet dan mantan Wapres bersama SBY tidak diragukan. Meski Jokowi-Jk bukan empunya partai pengusung. Ini sekaligus menjadi tradisi politik baru bagi Indonesia. Bahwa tidak mesti ketua partai yang menjadi calon Presiden.
Bagi Aceh, JK adalah sosok penting dalam proses perdamaian Aceh. Saudagar bugis berpostur kecil tersebut meski dikenal sebagai politisi 'licin', tapi JK dianggap titian dialog Aceh Jakarta. Berulang kali JK menjembatani 'deadlock' implementasi poin-poin perundingan MoU Helsinki antara pemerintah pusat dan Aceh.
Lalu pilihan Doto Zaini sebagai orang nomor satu di Aceh merapat ke Jokowi-Jk adalah hal objektif. Lagipula untuk PDIP sebagai pengusung utama Jokowi-Jk hanya memilik? satu kursi untuk DPR RI utusan Aceh yaitu Tagore dari Tengah Tenggara yang notabene berseberangan politik dengan Partai Aceh dan sering mengkampanyekan propinsi Aceh Lauser Ankara (ALA).
Tentunya hal tersebut mesti menjadi perhatian serius. Zakaria Saman sebagai Tuha Peut PA kemudian menjadi ketua relawan untuk meyakinkan duet Jokowi-JK. Zakaria Saman juga menjadi juru kampanye putaran pertama saat Jusuf Kalla mengunjungi Pidie beberapa hari lalu.
Langkah politik Doto Zaini sangatlah rasional mengingat kedua kekuatan Capres-Cawapres berimbang. Bahkan survey-survey putaran pertama kampanye menunjukkan Jokowi-Jk lebih unggul. Artinya bila mengandalkan Mualem yang mendukung Prabowo, lalu Jokowi-JK menang, maka akan sulit membangun komunikasi politik untuk kepentingan Aceh 5 tahun mendatang.
Tindakan ini seperti politik "gila" --orang Aceh biasa menyebutnya pungo-- yang seolah menggambarkan perpecahan elit PA di Aceh. Namun sebaliknya inilah manuver dan bagian dari komunikasi politik keduanya agar siapun pemenangnya, PA dan Aceh tetap mendapat tempat bagi masa depan politik nasional.
Meski suara Aceh tidak signifikan di banding jumlah suara nasional, tapi merebut pasar Aceh akan menjadi prestise tersendiri bagi pasangan Capres-CaWapres.
Kini giliran rakyat Aceh menentukan pilihan demi masa depan politik Aceh di kancah nasional. Seperti menikmati pertandingam bola, tentu ada yang menang dan kalah. Namun, kita harus menikmatinya, walau dalam sedikit ‘kegilaan’, tapi harus tetap objektif dan kepala dingin.
*Penulis adalah pengamat politik, tinggal di Ankara, Turki.
Editor: Yuswardi A. Suud