PEMERINTAH Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri kembali mengingkari hasil dari perdamaian Aceh, juga mengangkangi beberapa produk hukum (qanun) Aceh. Hal ini sangat nampak terlihat saat Kemendagri memangkas anggaran yang diperuntukan kepada Lembaga Wali Nanggroe.
Kesepakatan posting anggaran untuk Lembaga Wali Nanggroe yang disetujui bersama antara Pemerintah Aceh dan DPR Aceh merupakan perintah dari Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Dengan adanya qanun tersebut, Wali Nanggroe pun dikukuhkan pada Januari 2014 serta menjadi landasan kuat secara yuridis bahwa keberadaan Lembaga Wali Nanggroe di Aceh adalah sah.
Penghapusan anggaran ini bagian dari ketidakikhlasan pemerintah pusat terhadap Aceh, polemik keberadaan Lembaga Wali Nanggroe sudah selesai dibicarakan dua tahun yang lalu, sehingga bisa dikatakan ini adalah penghinaan terhadap Aceh serta pelecehan terhadap peraturan perundang-undangan yang sah, juga terhadap proses perdamaian Aceh yang sedang berlangsung.
Tidak hanya pemangkasan anggaran yang dianggarkan untuk Lembaga Wali Nanggroe, pemangkasan terhadap beberapa mata anggaran yang lain juga sangat kita sesalkan. Padahal, proses pembahasan dan penetapan anggaran APBA sudah melalui tahapan-tahapannya dan mampu dipertanggungjawabkan secara hukum. Jadi, pemerintah pusat tidak perlu berspekulasi terhadap Aceh baik secara politik maupun anggaran.
Di sisi lain, sampai sekarang Pemerintah Pusat juga belum menyelesaikan kewajibannya terkait Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Baik PP tentang Pembagian Hasil Minyak dan Gas, PP tentang Kewenangan dan Kekuasaan yang bersifat Nasional di Aceh maupun Peraturan Presiden tentang Pertanahan.
Dua PP dan satu Perpres ini diinformasikan telah ditandatangani oleh presiden Jokowi dan akan diantarkan langsung ke Aceh oleh tiga Kementerian. Namun, sampai hari ini semua itu belum menjadi kenyataan, padahal semua rakyat Aceh sedang menunggu.
Sikap tidak legowo-nya pemerintah pusat lagi terhadap Aceh adalah masih belum menyetujui bendera Aceh yang sudah ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang.
Malah, Qanun Aceh tentang bendera selalu dikaitkan dengan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Simbol dan Lambang Daerah, jika Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh diversuskan dengan PP Nomor 77 Tahun 2007 maka PP tersebut yang berstatus inskonstitusional untuk Aceh.
Untuk itu, sangat kita minta kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh agar tetap melawan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang merugikan Aceh, bahkan mengarah kepada hancurnya perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh, keutuhan perdamaian Aceh adalah tiang kuatnya kesatuan negara Indonesia.
Banda Aceh, 25 Februari 2015
DEWAN PIMPINAN ACEH
PARTAI ACEH
Suadi Sulaiman
Juru Bicara