Arkeolog Dedi Satria yang melakukan studi arkeologi bawah air di pesisir Desa Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, menemukan beragam benda arkeologi dalam jumlah banyak. Di antara temuan tersebut yaitu keramik Cina, struktur bangunan batu, dan nisan berukir.
“Seluruh temuan, baik keramik Cina, struktur bangunan batu, dan nisan-nisan berukir itu, sebagian besar sudah berada dalam laut akibat tergerus tsunami tahun 2004 lalu. Saya harus menunggu air laut surut untuk bisa meneliti benda-benda tersebut,” ujar Dedi Satria saat dihubungi atjehpost.com, Rabu, 26 Februari 2014.
Keramik Cina
Di lokasi itu, Dedi Satria menemukan keramik Cina dalam jumlah sangat banyak, mulai dari yang paling tua atau abad ke-12 hingga abad ke-17 Masehi. “Yang paling tua dari zaman Dinasti Song, abad ke-12 dan 13, dan Dinasti Yuan abad ke-14. Dua dinasti itu pra-Kerajaan Aceh Darussalam,” kata alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) ini yang sudah tiga bulan lebih meneliti arkeologi bawah air di Ujong Pancu.
Ada pula keramik dari masa awal Dinasti Ming atau abad ke-15 M yang sezaman dengan era Kesultanan Samudra Pasai. Selain itu Dedi Satria menemukan keramik zaman lanjutan Dinasti Ming, abad ke-16 dan 17 M, yang semasa dengan Kesultanan Aceh Darussalam, dan keramik era Dinasti Qing atau abad ke-17 hingga 19 M.
“Di lokasi itu juga ada keramik dari Eropa di antaranya peninggalan Belanda, abad ke-18 dan 19 atau ketika perang Aceh melawan Belanda, jumlahnya sangat banyak, dan keramik dari Inggris, abad yang sama,” ujar Dedi Satria.
Selain keramik, Dedi Satria menemukan benda perunggu dari Tamil, India. “Bahan perunggu itu jarang ditemukan, bukan hanya di Aceh bahkan di Sumatera. Jadi temuan benda itu sangat menarik,” katanya.
Bangunan Batu
Ketika meneliti di lokasi tersebut, Dedi Satria menemukan pula struktur bangunan batu yang secara arsitekturnya sangat khas zaman Kesultanan Aceh Darussalam. “Batu-batu gunung atau batu karang yang sudah disemen. Semen komposisi kapur dari karang yang dihaluskan, setelah jadi tepung dicampur dengan pasir, lalu diaduk jadi alat perekat. Teknologi itu diperkirakan dari Turki Utsmani, karena masa Sultan Alauddin Riayatsyah banyak mengundang ahli bangunan dari Turki Utsmani,” ujar Dedi Satria.
Menurut dia, denah bangunan itu bersegi empat, dan fungsi struktur bangunan-bangunan batu itu bervariasi. Salah satu struktur bangunan batu berukuran luas, kata Dedi Satria, diduga bekas Masjid Indra Purwa. Bangunan masjid yang dapat menampung ratusan jemaah salat itu diperkirakan dari masa Sultan Alauddin Riayatsyah. Sedangkan struktur bangunan lainya, kata dia, berukuran lebih kecil dan diperkirakan bekas dayah atau meunasah, yang mampu menampung sekitar 40 orang.
Ada pula struktur bangunan batu yang fungsinya untuk kompleks pemakaman. Masyarakat setempat, kata Dedi Satria, menyebut lokasi itu Diway. Sedangkan dalam istilah Melayu disebut Kandang, yaitu kompleks pemakaman keluarga.
“Di lokasi itu juga banyak sumur kuno, cincinnya terbuat dari tembikar. Lebih kurang 12 sumur di sepanjang garis pantai arah timur-barat. Sumur itu berdiameter 50 centimeter, tinggi dari permukaan tanah sekitar 40 centimeter. Sumur-sumur itu diperkuat dengan struktur batu yang disemen,” ujar arkeolog swasta ini.
Nisan Berukir
Temuan lainnya, kata Dedi Satria, lebih kurang enam batu nisan tipe plakpling tersebar di tiga titik. Bentuknya seperti miniatur menara yang dipenuhi ukiran. Batu nisan tipe plakpling itu dari akhir abad ke-15 atau sezaman dengan masa Kesultanan Samudra Pasai.
“Yang menarik, pada batu nisan itu ada inskripsi yang dipahat dengan khat naskhi. Ada dua yang menurut saya sangat bernilai, satunya tertulis nama Yusuf Rahim, diperkirakan ia tokoh penting pada zaman tersebut. Satunya lagi tertulis semacam ungkapan tentang dunia dan kemurahan Allah,” katanya.
Dedi Satria akan memberikan data inskripsi pada batu nisan tersebut kepada Taqiyuddin Muhammad, ahli epigrafi dari Centre Informasi for Samudra Pasai Heritage (Cisah) Lhokseumawe. “Saya rekomendasikan kepada Ustad Taqiyuddin untuk membaca dan menerjemahkan inskripsi tersebut secara lebih detil dan akurat, beliau ahlinya,” ujar dia.
Hasil penelitian Dedi Satria di Aceh Besar, selama ini, batu nisan kuno yang terpahat nama pemilik makam hanya ditemukan di kawasan Bukit Lamreh. Sedangkan lokasi lainnya, kata dia, jarang ditemukan batu nisan kuno yang tercantum nama pemilik makam. Biasanya, kata dia, hanya ditemukan batu nisan berukiran bunga.
“Masih di lokasi itu (Ujong Pancu), ada juga batu nisan tipe Aceh yang ukiran hiasannya sangat besar dan tertulis kalimat Tauhid. Dan, ada batu nisan era Kesultanan Aceh Darussalam, saya jarang meneukan model seperti itu, ada ciri khas yang unik, diperkirakan dari awal abad ke-16,” kata Dedi Satria.
Hasil bacaannya sementara, kata Dedi Satria, pada batu nisan itu terpahat nama “Malik Saifuddin”, dan salah satu baris inskripsi tertulis “Rahimallah”. Kata dia, inskripsi tersebut perlu dibaca oleh ahli epigrafi agar lebih akurat keterangan tentang pemilik makam maupun data lainnya. “Itu juga temuan yang sangat istimewa dari Ujong Pancu,” ujarnya.
Ia memperkirakan sebagian besar benda arkeologi di Ujong Pancu sulit dilindungi lantaran terendam air laut. Pascatsnami, kata dia, di lokasi itu ada tanda-tanda penurunan tanah atau dalam istilah geologi disebut falt. “Banyak batu nisan yang sudah rusak,” kata Dedi Satria.[]
Editor: