25 March 2015

Pengambilan sumpah Suaidi Yahya dan Nazaruddin sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lhokseumawe. @Irman I. Pangeran/atjehpost.co
Pengambilan sumpah Suaidi Yahya dan Nazaruddin sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lhokseumawe. @Irman I. Pangeran/atjehpost.co
Printed
Pemerintahan Suaidi Jauh Panggang dari Api
Irman I. Pangeran
10 December 2014 - 17:30 pm
Di atas kertas, Wali Kota Suaidi Yahya menawarkan tata kelola pemerintahan yang bermartabat dan pembangunan berkeadilan. Akan tetapi, kenyataannya bertolak belakang dengan konsep itu sendiri.

SAFWANI geleng-geleng kepala ketika ia bersama elemen sipil lainnya di Lhokseumawe terlibat perbincangan tentang pemerintahan Suaidi Yahya belum lama ini. “Dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, pemerintahan Suaidi masih ‘jauh panggang dari api’, bahkan menunjukkan langkah mundur,” ujar Direktur Ranup Women Institut (RaWI) itu.

Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya dan Nazaruddin dinilai melangkah mundur tatkala Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota lainnya tengah “berlomba” mewujudkan pemerintahan berintegritas.

Ketika Pemerintah Pusat, provinsi dan kabupaten/kota lainnya “membuang” pejabat terlibat korupsi dari lingkungan birokrasi, pemerintahan Suaidi justru merangkulnya dengan memberi jabatan penting.

Saat ini, sedikitnya ada tiga pejabat eselon II berstatus tersangka dan terdakwa korupsi diberi jabatan. Mereka adalah Dasni Yuzar (Sekretaris Daerah), Sarjani Yunus (Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan), dan T. Zahedi (Staf Ahli Bidang Pembangunan dan SDM).

“Fakta ini jelas berbanding terbalik dengan semangat reformasi birokrasi yang digembar-gemborkan Wali Kota Suaidi dan Wakil Wali Kota Nazaruddin dalam RPJMD Lhokseumawe 2012-2017,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian kepada The Atjeh Post.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran visi dan misi Wali Kota Suaidi dan wakilnya Nazaruddin, berulang kali ditegaskan komitmen pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, bebas dari praktik KKN.

“Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bermartabat, baik, bersih, dan amanah, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan mengedepankan kualitas kerja dan profesionalisme”.

Komitmen itu, kata Safwani, tak akan terwujud jika birokrasi pemerintahan diisi pejabat korup. “Bagaimana mau menciptakan pemerintahan yang bermartabat dan bebas dari KKN kalau pejabatnya tak memiliki integritas karena sedang bermasalah dengan hukum,” kata Safwani yang juga praktisi hukum di Lhokseumawe. Anehnya lagi, pejabat korup diberi kepercayaan menjadi Staf Ahli Wali Kota.

“Ini sangat ironis, masak koruptor memberi masukan kepada wali kota,” ujar Alfian.

Berdasarkan catatan MaTA, sejak 2012 hingga 2014, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, Kota Lhokseumawe paling banyak pejabatnya terlibat kasus korupsi. Selain pejabat eselon II, ada pula pejabat eselon III. Menurut Safwani, realitas ini menunjukkan konsep tata kelola pemerintahan Suaidi bertolak belakang dengan kebijakannya.

“Ucapan (konsep) tidak sejalan dengan perbuatan (kebijakan). Cakap tak serupa bikin,” kata aktivis dari Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Lhokseumawe ini.

Wali Kota Suaidi punya jurus berkelit. Ia berdalih mempertimbangkan berbagai segi sehingga masih memberikan jabatan sekda dan staf ahli kepada tersangka dan terdakwa korupsi. “Kita dalam kebijakan ini melihat semua segi, semua lini. Kita melihat dari segi kemanusiaan, dan sebagainya. Prinsip kami selaku pimpinan, tersangka bukannya terdakwa. Itu masalahnya,” ujar Suaidi.

“Tersangka belum tentu nanti dia terdakwa, belum tentu dia salah. Kalau memang dia sudah salah, itu baru kita ambil sikap”.

Safwani sepakat jika Wali Kota Suaidi menghormati asas praduga tak bersalah terkait proses hukum terhadap anak buahnya yang terlibat korupsi. Akan tetapi, ia menilai Suaidi keliru jika harus menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk mengganti pejabat korup.

“Itu menunjukkan tidak punya niat baik untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Sebaliknya, ada kesan dipelihara potensi korupsi, bukannya dicegah,” katanya.

Akibat pemahaman keliru pula, Wali Kota Suaidi menempatkan kepala dinas tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Jabatan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), misalnya, dipercayakan kepada Sarjana Sosial. “Ini berbenturan dengan prinsip the right man on the right place (menempatkan seseorang sesuai latar belakang ilmu dan keahliannya),” ujar Safwani.

Namun, menurut Wali Kota Suaidi, terpenting “bos” atau kepala dinas mampu mengelola instansi tersebut. “Kalau bos (kepala dinas), bukan melakukan teknis, tapi dia harus mengerti teknis, harus tau aja teknis, memenej manajemen dan kebijakan-kebijakan di daerah,” katanya.

+++

VISI dan misi Wali Kota Suaidi yang dijabarkan dalam RPJMD turut mengusung konsep pembangunan berkeadilan berdasarkan prinsip kebutuhan dan asas manfaat bagi masyarakat. Pemerintahan Suaidi bertekad melaksanakan pembangunan infrastruktur yang proporsional, terintegrasi, dan berkelanjutan. Misi ini dijalankan melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pembangunan infrastruktur, termasuk pengendalian banjir.

Akan tetapi, sampai saat ini kawasan pusat Kota Lhokseumawe selalu terendam banjir saban musim hujan. Dampak banjir kini dirasakan masyarakat miskin lantaran tidak mampu menimbun permukaan rumahnya yang lebih rendah dari badan jalan dan parit (saluran air).

“Dulu halaman rumah kami sama tingginya dengan jalan, sekarang lebih rendah dari jalan dan parit karena sudah ditinggikan. Makanya setiap turun hujan, air masuk ke rumah kami, meluap dari parit yang tersumbat,” ujar Cut Aya, 37 tahun, warga Gampông Simpang Empat, Banda Sakti, Lhokseumawe.

Rumah dihuni Arsani, 48 tahun, di Gampông Lancang Garam, Banda Sakti, terendam hingga setinggi lutut akibat air meluap dari parit. “Pernah sekali ketika banjir semua barang jualan saya terendam karena air masuk ke dalam rumah,” kata pedagang kue ini.

Akibat parit tersumbat pula, Rumah Sakit PMI Aceh Utara di Jalan Samudera Lhokseumawe banjir pada Agustus lalu. “Sebelumnya tidak pernah masuk air, setelah jalan dan parit dibuat lebih tinggi oleh Pemerintah Lhokseumawe, terjadi banjir karena parit tersumbat,” ujar Sekretaris PMI Aceh Utara, Yafitzam.

Hampir semua badan jalan dan parit di Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe telah ditinggikan permukaannya. “Aneh pola pembangunan di Lhokseumawe, semua jalan ditimbun. Efeknya, rumah masyarakat yang sebelumnya tidak pernah banjir, sekarang ikut terendam, seperti di Hagu Selatan. Mestinya kalau aspal rusak, dikeruk sampai ke akarnya, dibuat aspal baru,” kata Ismed, warga Gampông Hagu Selatan.

Menimbun badan jalan, kata Dosen Teknik Geofisika Unsyiah Gartika Setya Nugraha, secara tidak langsung membuat tanggul di tengah pemukiman penduduk. “Air jangan dilawan, tapi bagaimana dikondisikan agar mengalir dan tidak terhambat,” ujarnya.

“Efek samping dari penimbunan jalan, orang-orang kaya pun secara tidak langsung memindahkan banjir dari rumahnya ke rumah orang-orang miskin”. Menurut ahli perencanaan wilayah dari Universitas Malikussaleh, Wesli, secara teknik sipil, untuk memperbaiki jalan rusak tidak mesti menimbun menjadi lebih tinggi, tetapi cukup membongkar aspal yang rusak untuk diaspal kembali.

“Ketika ditimbun menjadi lebih tinggi, risikonya terhadap orang miskin. Kasihan orang-orang yang rumahnya rendah, kalau hujan air masuk ke situ semua. Apalagi kalau desain drainasenya keliru, air nggak jalan, meluap,” katanya.

“Permasalahan sebenarnya hanya permukaan jalan saja. Ketika aspalnya rusak, mestinya permukaannya yang diperbaiki, bukan menimbun menjadi lebih tinggi dan menimbulkan biaya lebih besar,” ujar Faisal Rizal, Dosen Teknik Sipil Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Pola pembangunan membuat badan jalan seperti tanggul dinilai berpotensi menimbulkan konflik baru lantaran merusak lingkungan sosial. “Fenomena itu secara teknis tidak ramah lingkungan sosial,” kata Direktur LSM Suara Hati Rakyat (Sahara), Dahlan.

Menurut Wali Kota Suaidi, banjir di Lhokseumawe saat ini tidak separah beberapa tahun lalu sebab pemerintah telah memperbaiki parit agar air mengalir ke Waduk Pusong-Keude Aceh. Tahun ini, kata dia, dibangun satu waduk lainnya di Gampông Banda Masen untuk mengatasi banjir di sejumlah gampông dalam Kecamatan Banda Sakti.

Suaidi mengakui efek samping peningkatan badan jalan membuat fondasi rumah masyarakat menjadi rendah. “Tiap tahun kita buat jalan, rumah masyarakat pasti rendah. Makanya kita upayakan paritnya itu yang lebih besar walaupun rumah masyarakat sudah tenggelam. Jadi cara lain untuk kita atasi ini, jalan kita tingkatkan, kita upayakan rumah masyarakat nggak tenggelam itu nggak bisa, memang rumah-rumah itu desain-desain tahun tempo dulu,” ujarnya.

Kondisi tersebut, menurut kalangan elemen sipil, pembangunan di Lhokseumawe tidak menyelesaikan permasalahan. Sebaliknya muncul persoalan baru yang merugikan masyarakat miskin. “Ini terjadi karena pemerintah belum melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan pembangunan,” kata Safwani.

“Keberhasilan pembangunan infrastruktur jangan dilihat dari segi jumlah fisiknya saja, tapi penting diperhatikan bagaimana kualitasnya dan manfaat untuk masyarakat.”

Safwani berharap pemerintahan Suaidi yang sudah berjalan lebih dari dua tahun agar memanfaatkan sisa waktu hingga 2017 dengan kebijakankebijakan yang merakyat. Kata dia, “Semoga ke depan, cakap serupa bikin”.[]

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Pemerintahan Suaidi Jauh Panggang dari Api

Pemerintahan Suaidi; Reformasi Birokrasi Masih Mimpi?

Galeri Foto Kampanye PA di Rancong…

Kata Suaidi Yahya tentang Aksi Provokasi

HEADLINE

Nasib Perih Yatim Aceh

AUTHOR