16 March 2015

Ketua Dekranas Aceh yang juga istri Gubernur Zaini Abdullah, Niazah A Hamid (tengah) masih tercatat sebagai Warga Negara Swedia. @Dok
Ketua Dekranas Aceh yang juga istri Gubernur Zaini Abdullah, Niazah A Hamid (tengah) masih tercatat sebagai Warga Negara Swedia. @Dok
Printed
Saat Warga Swedia Memimpin Dekranas Aceh
Boy Nashruddin Agus
19 December 2014 - 13:15 pm
Status Niazah A. Hamid sebagai warga negara Swedia dipertanyakan. Apalagi ia menjabat Ketua Dekranas Aceh.

KAMIS malam, 27 November 2014. Seluruh staf perwakilan Aceh di Jakarta mendapat panggilan mendadak dari Niazah A. Hamid, istri Gubernur Zaini Abdullah. Sosok yang masih tercatat sebagai Warga Negara Swedia ini murka, lantaran pelarangan Niazah meninggalkan Indonesia tercium media.

"Habis kami disemprot tadi malam dan diancam akan ditindak kalau ada kejadian begini lagi," kata sumber ATJEHPOST, Jumat, 28 November 2014 lalu.

Niazah rencananya bakal pulang kampung ke Swedia melalui Bandara Soekarno-Hatta, pada Rabu malam, 28 November 2014. Namun langkahnya terhadang lantaran masa berlaku izin keluarnya (exit permit) telah kadaluarsa.

“Kalau memaksa keluar, tidak bisa masuk lagi ke Indonesia,” kata sumber ATJEHPOST di lingkaran dalam Gubernur Zaini akhir November 2014 lalu.

Walhasil, Niazah urung berangkat dan harus mengurus kembali izin tinggal di Indonesia. Rencananya, Niazah terbang ke Swedia didampingi Muzakkir A. Hamid, adik kandungnya yang juga sebagai staf khusus Gubernur Aceh. Istri Muzakkir Hamid yang juga ajudan Niazah, turut serta mendampingi.

Niazah A. Hamid adalah warga negara Swedia. Wanita kelahiran Pidie 15 Oktober 1946 itu beralih kewarganegaraan sejak berangkat ke Swedia menyusul suaminya pada 1983. Ketika Zaini Abdullah kembali menjadi Warga Negara Indonesia setelah perjanjian damai, Niazah tetap berstatus warga negara Swedia.

Meski berstatus warga Swedia, saat ini Niazah Hamid menduduki posisi sebagai Ketua PKK Aceh, Ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Aceh yang pendanaan berasal dari APBA. Padahal, secara hukum orang asing dilarang menggunakan fasilitas dan keuangan negara.

Niazah A. Hamid sudah hampir sepekan berada di Jakarta. Di sana, ia menginap di hotel bintang lima Saripan Pacific Hotel. Padahal, Pemerintah Aceh punya Hotel Kutaraja di Jakarta.

“Selama di Jakarta, kantor perwakilan diminta menyewa Toyota Alphard seharga 2 juta rupiah sehari,” kata sumber itu.

Kabar ‘pencekalan’ Niazah tersebut dibenarkan oleh salah satu pejabat di Kantor Imigrasi Banda Aceh. Ia mengatakan Niazah memang hingga kini masih tercatat sebagai WNA yang memperoleh Izin Tinggal Sementara atau ITAS di Indonesia.

“Jadi posisi Niazah Hamid sekarang tidak bisa keluar dari Indonesia karena tidak mengurus izin keluarnya (exit permit),” kata sumber ATJEHPOST tersebut.

Sementara Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Kantor Imigrasi Klas I Banda Aceh, Heru Pradana mengatakan setiap WNA yang ada di Indonesia harus memperpanjang ITAS selama satu tahun sekali dan berlaku sampai enam kali perpanjangan.

"Nah mereka harus memperpanjang izin tinggal (ITAS) di tempat berdomisili. Misalnya ia berdomisili di Banda Aceh, pengurusan izinnya ya harus di kantor Imigrasi Banda Aceh," katanya.

Sementara bagi WNA pemegang Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP) masa berlakunya tidak terbatas. "Cuma setiap lima tahun WNA harus melapor ke Kantor Imigrasi," katanya.

Heru juga menjelaskan tidak ada larangan bagi WNA bekerja di Indonesia untuk menghidupi dirinya pribadi dan keluarga. Namun, kata Heru, semua hal tersebut harus mengikuti aturan hukum di Indonesia termasuk UU Keimigrasian.

"Hal ini termasuk mendirikan atau membeli property di Indonesia. Jadi harus ada catatan dari pihak imigrasi. Sementara mengenai pembolehan bekerja tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2011 Pasal 21, yang isinya adalah seseorang yang kawin secara sah dengan WNI boleh melakukan usaha di Indonesia. Tapi catatannya, selama kawin secara sah ya. Kalau kawin tidak sah, itu yang nggak boleh, ada aturan lain itu," katanya.

Saat disinggung tentang status pencekalan keluar negara yang dialami Niazah A. Hamid, Heru mengatakan, "kalau itu masalahnya beliau habis masa exit permit (izin keluar). Izinnya itu belum diperpanjang."

Mengenai hal ini, Heru mengatakan izin keluar bisa langsung diberikan saat WNA meminta untuk diperpanjang. Menurutnya, izin keluar tersebut harus diurus di tempat WNA berdomisili selama di Indonesia.

"Jadi kalau dia berdomisili di Banda Aceh, ya harus mengurus izin keluar di Imigrasi Banda Aceh. Kalau dulu ada itu emergency exit di setiap bandara di Indonesia, sekarang tidak ada lagi. Tapi khusus untuk pengurusan izin keluar ini bisa diwakili oleh orang lain karena foto WNA-nya sudah ada di kantor imigrasi," ujarnya.

Meskipun Imigrasi Banda Aceh menyebutkan tidak ada larangan bagi WNA bekerja di Indonesia, namun dua lembaga anti korupsi di Aceh memberikan tanggapan berbeda. Apalagi posisi Niazah A. Hamid yang menjadi Kepala Dewan Kerajinan Nasional Daerah Aceh serta Ketua PKK. Dua lembaga pemerintah ini diyakini mendapat dana Anggaran Pendapat Belanja Aceh yang tidak boleh dipergunakan oleh orang asing.

"Secara aturan tidak boleh WNA menggunakan fasilitas negara," kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian.  Di sisi lain, Alfian juga menyorot pelarangan Niazah A. Hamid saat hendak meninggalkan Indonesia ke Swedia.

Menurutnya larangan tersebut membuktikan kecurigaan publik tentang status kewarganegaraan Niazah yang terkesan diistimewakan Kementerian Hukum dan HAM.  "Hal (larangan terbang) itu bertolak belakang dengan pernyataan yang bersangkutan dan Kanwilkumham soal izin tinggal selama lima tahun. Ini terlihat ada keistimewaan dari negara," katanya.

"Ini logika hukum, ia diistimewakan, dan ini sangat berbahaya bagi konstitusi," katanya.

Hal senada disampaikan Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, Askhalani. Kata dia, meski Niazah adalah istri orang nomor satu di Aceh, dia tidak berhak menghabiskan uang Aceh lantaran berstatus warga negara asing. Askhalani menyesalkan sikap Gubernur Aceh yang tidak menaati peraturan undang–undang terkait penggunaan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

“Kalau pak Zaini punya malu, tentu dia sudah melarang istrinya untuk menggunakan anggaran Aceh, tapi sekarang malah sebaliknya,” ujar Askhalani.

Askhalani mengaku sedang menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Aceh. Kalau memang tidak ada termuat tentang anggaran ketua Dekranas Aceh ini yang menyalahi aturan, dia akan melaporkan kasus ini ke KPK nantinya.

“Kita akan lapor ke KPK dan GeRAK juga tidak akan tinggal diam untuk mengusut Gubenur Aceh yang sudah memberikan anggaran untuk Dekranas Aceh yang ketuanya WNA,” ujar Askhalani.

Berdasarkan data Imigrasi Banda Aceh, setidaknya ada tiga warga Swedia yang kini memperoleh izin tinggal di Banda Aceh. Dua diantaranya masih mengantongi ITAS dan sisanya sudah memperoleh Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP). Sayangnya, pihak Imigrasi terkesan enggan memberikan informasi siapa ketiga warga negara asing asal negara Niazah A Hamid tersebut yang kini tinggal di Banda Aceh.

Informasi yang diterima ATJEHPOST, Niazah akhirnya berhasil kembali ke Swedia pada Kamis malam, 28 November 2014. "Ibu berangkat tadi malam sekitar pukul 12.00 WIB melalui bandara Soekarno-Hatta Tangerang," kata orang yang selama ini dekat Niazah di Jakarta, Jumat, 28 November 2014. Niazah didampingi Muzakkir A. Hamid, adik kandungnya yang juga sebagai staf khusus Gubernur Aceh. Istri Muzakkir Hamid yang juga ajudan Niazah, turut serta mendampingi ke negara asal mereka

Saat ini Niazah sudah kembali ke sini. Ia dikabarkan berada di Indonesia sejak dua hari lalu. Disebutkan, Niazah akan kembali ke Aceh bersama suaminya, Zaini, yang sudah beberapa hari di Jakarta. []

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Saat Warga Swedia Memimpin Dekranas Aceh

HEADLINE

Proyek Poros Meuligoe

AUTHOR

Tari Saman Mendunia
Boy Nashruddin Agus