Pengantar:
Isu pemindahan makam Nabi Muhammad dari Masjid Nabawi kembali mencuat. Wartawan ATJEHPOST.CO Yuswardi A.Suud pernah menuliskan kisah perjalanan spritual menyaksikan langsung makam Rasulullah pada Ramadan 2010. Kami menayangkan kembali tulisan yang pernah dipublikasi di acehkita.com ini untuk memberi gambaran bagaimana berartinya makam Rasullah bagi para peziarah.
***
SAYA sedang berjalan di dalam Masjid Nabawi ketika tiba-tiba ditarik oleh dua pria jangkung dengan wajah bertabur berewok. Yang satu menarik ke kiri, satu lagi mengajak ke kanan. Ya, saya diperebutkan dua pria Arab. Untung saja, bahu saya tak lepas. Eits, jangan salah sangka. Mereka bukan penyuka sesama jenis, bukan pula perampok padang pasir yang sedang berebut mangsa.
Sore itu, pada pertengahan Agustus yang kerontang, mereka berebut menawarkan saya berbuka puasa di tempatnya. Karena setengah memaksa, saya memutuskan menolak tawaran keduanya dan memilih berjalan agak ke depan.
Baru beberapa langkah, seorang anak muda berkerudung merah garis-garis langsung menggamit lengan saya, lalu dibawa ke tempat makanan telah disiapkan. Kali ini saya manut saja.
Begitulah. Setiap waktu berbuka puasa tiba, keluarga Arab yang menyumbangkan panganan berbuka di masjid, berlomba-lomba menawarkan makanannya. Mereka masih memegang teguh ajaran: jika memberi makan orang berpuasa akan diganjar pahala berlipat. Itu sebabnya, setiap sore orang-orang berbondong-bondong membawa makanan ke masjid terbesar kedua dunia itu.
Makanan yang disajikan hampir seragam: semangkuk yogurt, kurma, roti dan air zamzam yang disediakan pengurus masjid. Yogurt adalah susu hasil fermentasi yang bagus untuk pencernaan. Tak ada kopi atau air tebu, apalagi nasi kulah seperti menu berbuka di masjid-masjid Aceh.
Menariknya, makanan-makanan itu ditaruh di atas plastik panjang bening serupa tikar yang dihamparkan baris demi baris. Plastik-plastik itu mulai digelar sejak selesai salat Ashar. Petugas masjid bahu membahu dengan keluarga penyumbang makanan mempersiapkan tempat berbuka.
Saya duduk bersila berhadapan dengan seorang pria kulit hitam. Sambil menunggu waktu berbuka, saya mencoba membuka percakapan. “Where do you from?” Dia hanya geleng kepala sembari mengangkat bahu sebagai isyarat tak paham. Untunglah di tas kecil yang disandang di bahunya saya tahu lelaki itu datang dari benua Afrika: Tunisia. Rupanya, bahasa Inggris tak banyak gunanya di kota Rasul.
Selain dari negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Iraq, Kuwait, orang-orang datang berbagai negara untuk melakukan umrah atau hanya sekedar salat di Masjid Nabawi. Tak terkecuali Indonesia. Di bulan Ramadan, Nabawi bersimbah doa.
Ini adalah buka puasa pertamaku di Masjid Nabawi. Ketika pertama tiba di Arab, kami berbuka di pesawat dengan hati bimbang. Ceritanya, jam di lengan sudah pukul 18.50 ketika awak pesawat mengumumkan waktu berbuka puasa telah tiba. Di Aceh, itu saatnya berbuka. Tapi, di luar pesawat, matahari masih terik. Jeddah, ibukota Arab Saudi, masih dua setengah jam lagi. Di monitor terpampang waktu Saudi: pukul 14.45. Indonesia empat jam lebih cepat dibanding Saudi. Artinya, jika mengikut waktu Saudi, buka puasa masih empat jam lagi.
Perbedaan waktu membuat matahari masih terik. Orang-orang mulai bimbang, sementara pramugari mulai beredar menawarkan makanan. Hasilnya, sebagian besar penumpang memilih menerima tawaran pramugari. Walhasil, di ketinggian 38 ribu kaki, di bawah siraman cahaya matahari, kami berbuka dengan menyantap nasi ayam tumis dan segelas juice apel yang disajikan pramugari berkerudung merah.
Tak semua penumpang berbuka puasa. Seorang ibu asal Aceh yang duduk di sebelah saya memilih tidak berbuka saat itu. “Saya berbuka ikut waktu Arab saja,” ujar perempuan asal Krueng Geukuh, Aceh Utara, itu.
Dia yakin, jika berbuka sekarang, puasanya tidak sah karena matahari masih tinggi. Itu artinya, si ibu baru akan berbuka empat jam lagi Saya sendiri ikut waktu Indonesia. Memang, terasa aneh berbuka di terik matahari. Namun, berhubung perut sudah tak bisa kompromi, saya ikut golongan mayoritas.
“Ada dispensasi untuk musafir. Tuhan tahu kita berpuasa,” ujar seorang anggota rombongan– yang wajahnya penuh janggut– sambil tersenyum.
***
KINI, di Masjid Nabawi, suasana kembali normal. Tepat pukul 19.00, azan berkumandang, pertanda waktu berbuka telah datang. Tak ada pukulan beduk atau sirene meraung-raung seperti kebiasaan berbuka puasa di Aceh. Pria Tunisia di hadapan saya memulai berbuka dengan melahap beberapa butir kurma. Berikut, giliran yogurt masuk mulut. Melihat si Tunisia tampak menikmati menunya, saya pun tergoda mencoba.
Baru saja sendok yogurt masuk ke mulut, saya tercekat. Rasanya, asam minta ampun. Melihat wajahku seasam yogurt, si Tunisia menahan tawa. sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak kupahami, ia menyerahkan mangkuk kurma. Lumayan, manis kurma langsung menghapus rasa asam di lidah. Rupanya, lidah Aceh-ku masih kaget dengan menu Arab. Yang terbayang adalah boh rom-rom atau timun suri yang dipenuhi es kristal.
Saat azan tanda salat magrib dimulai, dalam hitungan detik, keluarga Arab penyumbang makanan melipat plastik yang berisi sampah berbuka, lalu memasukkannya dalam plastik karung sehingga sampah tak tercecer.
Hasilnya, cling, masjid kembali bersih dan siap dipakai salat tanpa ada sampah tercecer. Cara ini mengundang decak kagum Jufrizal, pria asal Krueng Geukueh yang jadi teman sekamar di penginapan. “Kalau di kampung kita, abis makan main lempar aja sampahnya,” kata honorer di Puskesmas Cunda, Aceh Utara itu.
Jufrizal masih muda. Usianya 24 tahun. Ia datang bersama ibunya. Sama seperti saya, ini adalah kedatangan pertamanya ke tanah suci. “Kalo nunggu haji sepuluh tahun lagi belum tentu lolos. Mumpung masih muda dan sehat,” ujarnya.
Di Madinah, ia tak henti menadahkan tangan. Mengadukan cita-cita, ambisi dan harapan kepada sang pencipta. Baginya, Madinah adalah hotel dan masjid. Hampir setiap hari ia berkunjung ke Raudhah, salah satu bagian depan masjid yang bersebelahan dengan makam Nabi Muhammad.
Di Raudah, orang-orang meyakini doanya makbul. Itu sebabnya, dari pagi hingga malam, Raudah jadi rebutan. “Rasulullah berkata, antara rumahku dan mimbarku adalah taman surga. Itulah Raudah,” ujarnya.
Selain Raudah, tempat yang tak pernah sepi adalah makam Nabi Muhammad yang terletak di bagian depan masjid, persis di sebelah Raudah. Di sini, dimakamkan pula Abu Bakar dan Umar bin Khatab, dua orang terdekat Rasulullah. Di depan makam, tiga petugas keamanan disiagakan. Orang-orang hanya bisa melihat makam sambil tetap berjalan. Sempat kulihat beberapa pengunjung menangis terisak menahan haru sembari menyebut nama Rasulullah berkali-kali.
Beberapa peziarah nekat mendekat. Mereka bermaksud mengintip dari dua lubang di dinding besi. Namun, dengan sigap polisi mendorong mereka keluar. Ini tak lain untuk memberi kesempatan bagi peziarah lain melihat makam Rasulullah walau sambil lalu.
Di luar masjid, masih ada makam para sahabat nabi. Salah satu sahabat yang dimakamkan di sini yaitu Usman bin Affan. Tapi, jangan coba-coba mengunjunginya di siang hari jika tak ingin kulit seperti dipanggang. Sebab, di bulan Agustus, matahari di atas Madinah belum bersahabat.
“Sekarang masih musim panas, nanti musim haji baru masuk musim dingin,” ujar Ustad Iwan Harahap, pemdamping kami.
Iwan berasal dari Medan, Sumatera Utara. Ia sudah dua tahun tinggal di Madinah. Sambil kuliah di salah satu perguruan tinggi di Mekkah, ia merangkap sebagai pemandu jemaah. “Lumayan untuk nambah-nambah uang kuliah,” ujarnya yang mengaku mendapat penghasilan 200 – 300 Riyal per hari atau setara 500-750 ribu Rupiah.
Iwan pulalah yang mengantar kami ke sejumlah tempat bersejarah di Madinah seperti masjid Kuba yang didirikan Nabi Muhammad, Jabal Uhud bukit tempat nabi bertempur melawan kaum kafir dan Masjid Kiblatain tempat turun wahyu mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram.
“Peninggalan bersejarah ini benar-benar dirawat untuk menjaga asal-usul Islam,” ujar Iwan.
Waktu berbuka hampir tiba ketika kami kembali ke penginapan. Ini hari ke delapan kami di Madinah sebelum bertolak ke Mekkah. Dari hotel, kami bergegas menuju masjid yang hanya berjarak dua tiang listrik. Di jalanan, panas masih meruap meski matahari hampir menghilang. Rasanya, persis seperti di ruang sauna. Untungnya, lama-lama saya mulai beradaptasi. Lidah pun mulai akrab dengan menu berbuka ala Arab.
Sore itu, di Masjid Nabawi, tangan saya kembali ditarik anak muda yang menawarkan berbuka bersamanya. Menunya tetap sama: semangkuk yogurt, sepotong roti, air zamzam dan beberapa butir kurma. []
Editor: Yuswardi A. Suud