NAMA Pulau Bunta barangkali belum terlalu akrab sebagai kuping para wisatawan. Padahal, pulau kecil ini menyimpan pesona wisata pantai yang tak kalah dibanding Sabang, destinasi wisata yang kadung duluan populer. Padahal, letaknya hanya terpisah sedikit saja di ujung barat Sumatera. Dari Banda Aceh, hanya butuh waktu satu jam dengan menumpang perahu nelayan yang melaju lambat.
Ketika berkunjung ke sana belum lama ini, saya menemukan dua keunikan Pulau Bunta, selain pantai pasir putihnya. Pertama, pulau ini tak dihuni nyamuk. Kedua, Anda bisa menyaksikan terumbu karang naik ke permukaan laut ketika air surut di siang hari.
Tentang nyamuk, saya bertanya kepada seorang lelaki tua yang membangun pondok kecil di ujung pulau, pada pertemuan dua arus laut. Lelaki ramah yang memperkenalkan diri bernama Muhammad Amin itu tak punya jawaban pasti. "Mungkin karena ada makam teungku keramat di atas bukit sana," katanya. Saya tak membantah, hanya mengangguk.
Berangkat dari Ujong Pancu sekitar pukul 10 pagi, kami tiba di Pulau Bunta menjelang tengah hari. Malam harinya, kami menginap di pondok Pak Amin.
Jangan bayangkan kami tidur di kamar. Kami hanya menggelar tikar di beranda pondok dan merebahkan badan di atasnya. Ketika salah satu dari kami mengeluarkan obat nyamuk oles, Pak Amin langsung berseru,"tidak perlu pakai itu, tidak ada nyamuk di sini."
Benar saja. Sepanjang malam hingga matahari terbit esok paginya, tak ada satu pun dari kami yang merasa digigit nyamuk. Ajaib!
Sebelumnya, pada siang hari kami menyaksikan fenomena alam lain yang tak kalah menarik. Sekitar pukul 2 siang, air surut. Maka muncullah terumbu-terumbu karang aneka warna yang sebelumnya tersembunyi di dalam air. Indah nian. Ada yang warna hijau, ada juga yang warna pink. Karang-karang itu mencuat di antara air laut yang bening. Kami takjub dibuatnya. Saya belum pernah menemukan pemandangan itu di tempat lain. Di Sabang, saya harus menggunakan peralatan snorkling untuk melihat terumbu karang. Tapi di Pulau Bunta, karang muncul memamerkan diri di permukaan.
Pemandangan itu hanya bertahan sekitar tiga jam. Menjelang sore, air laut kembali naik. Maka karang-karang pun kembali ke asalnya, menjadi sarang ikan-ikan kecil yang berseliweran.
Secara administratif, Pulau Bunta termasuk wilayah Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Dulu, pulau ini dihuni sekitar 40-an kepala keluarga. Setelah tsunami, mereka pindah ke daratan. Walhasil, Pulau Bunta seperti si gadis cantik yang ditinggal kekasihnya.[]
Editor: Yuswardi A. Suud