PERSOALAN molornya pembangunan Aceh disebabkan kinerja Pemerintah Aceh sedikit lamban dan ketidakkompakan Kepala Pemerintah Aceh bersama wakilnya selama ini. Anehnya, kepala pemerintah Aceh yang dinahkodai Dr. Zaini Abdullah (Abu Doto) selama ini juga asyik gonta ganti kabinet saja. Kita curiga selaku mantan kombatan dan Tim Pemenangan Partai Aceh, dibalik itu Abu Doto hanya mementingkan nepotisme semata.
Pada sisi lain saya sendiri sebagai mantan kombatan GAM juga sangat kecewa terhadap Abu Doto yang kurang sinergi dengan Mualem sebagai wakil pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan. Disini saya melihat keegoisan Abu doto sangat tampak sekali dalam beberapa stetmen yang pernah Beliau ungkapkan di media seperti, “Jangan ada dua kemudi dalam satu pemerintahan.”
Permasalahan ocehan Abu Doto tentang hal sepele tulisan selamat datang di salah satu kunjungan kerja di Kabupaten Pidie beberapa waktu yang lalu dan isu nepotisme ESDM RPP Migas Aceh.
Padahal meskipun Abu Doto Sebagai kepala Pemeritah Aceh, tapi Beliau mestinya harus paham benar bahwa Mualem-lah yang mengerti bagaimana seluk beluk perjuangan Gerakan Aceh Merdeka hingga lahir pemerintah Aceh saat ini.
Paling tidak tupoksi dan wewenang Mualem sebagai wakil pemerintah Aceh harus dikembalikan sepenuhnya oleh Abu Doto, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Sdr. Fachrurrazi MIP salah satu senator dari Aceh saat Beliau mengunjungi ruang redaksi Atjeh Post saat itu.
Kita semua disini telah menganggap Abu Doto sebagai ayah kami dan Mualem H. Muzakir Manaf sebagai ibunda kami dengan satu harapan mereka berdua dapat mendidik dan membina kami sebagai mantan kombatan GAM dan masyarakat Aceh yang perlu pengayoman dan perubahan Aceh ke arah yang lebih baik terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, social budaya, agama dan iklim politik local Aceh yang kondusif dan berwibawa. Tapi sampai saat ini jangankan kemakmuran rakyat secara keseluruhan di Aceh, untuk kesejahteraan mantan kombatan GAM saja yang pernah di janjikan dalam MoU helsinky belum terrealisasi sama sekali.
Padahal aturan tersebut sudah dapat dibahas bersama legislative Aceh sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006 apalagi Aceh sudah dapat membuat rancangan qanun sediri yang diakui legalitasnya dalam hukum dan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada saat para mantan kombatan GAM menuntut haknya pada Pemerintah Aceh Selalu ada lantunan kata-kata manis yang dilontarkan dengan bahasa “Sabar GAM.”
Memang tampak sebahagian para mantan kombatan telah menikmati sedikit kemakmuran. Sementara lebih dari 80% mantan kombatan lain yang hidupnya masih sangat memprihatinkan.
Pemerintah Aceh saat ini mestinya menyadari bagaimana situasi psikis para mantan kombatan GAM yang terkadang hidup nekat tanpa memperhitungkan acuan yang ada. Kadang-kadang mereka mengambil keputusan sendiri seperti Din Minimi atau sikap para kombatan yang lain, itu pertanda mereka sudah mengambil sikap dengan pikiran yang panic. Tapi mereka punya atasan dan komando apalagi atasan mereka saat ini kebetulan sebagai kepala pemerintah Aceh padahal ini peluang untuk mengimbau atau mengajak ke jalan yang legal walaupun penegakan hukum jangan diabaikan.
Kami sebagai para mantan kombatan masih setia dengan perjuangan Aceh yang mulia dan bermartabat serta siap melaksanakan apapun perintah (peunutoh) dari yang mulia panglima kami Mualem H. Muzakir Manaf. Maka dari itu kami semua berharap kepada para pihak yang bertanggung jawab terhadap MoU perdamaian Aceh dalam Hal ini Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta dan Uni Eropa jangan pernah mendustai pimpinan kami, karena bangsa Aceh adalah bangsa yang memiliki etika dan tatakrama.
Dimana kami tahu kapan kami harus berperang dan kapan kami harus berdamai dan membangun Aceh.
Salam
M. Yusuf alias Raja Sakai
Mantan kombatan GAM Bireuen
Editor: Murdani Abdullah