SELASA 24 September lalu, saya diajak Surayya IT, Wakil Koordinator LPSDM Aceh menemui Konsul Singapura dan Amerika di Medan, Sumatera Utara. Tujuannya untuk menindaklanjuti pertemuan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dengan dua konsul itu di Banda Aceh sebelumnya.
Surayya adalah aktivis Aceh yang lama menetap di Amerika. Dosen UIN Arraniry ini sekarang amat aktif melobi berbagai pihak untuk membantu mahasiswa Aceh melanjutkan kuliah dengan beasiswa.
Tentu saja kegiatan ini tak jauh-jauh dengan aktivitas Surraya selama ini. Selain saya, yang ikut bersama Surayya adalah Munarwansyah (Kabag Pendidikan dan Kebudayaan di Biro Isra) dan Ruslan Armas (Kepala Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan).
Di Medan, yang pertama kami temui adalah Konsul Singapura, Mark Low. Ditemani asistennya, Mark menjamu kami makan siang di restoran dalam Gedung Forum Nine, Medan. Mark pria yang hangat. Sangat fokus dan menguasai persoalan. Berkulit sedikit hitam walaupun beretnis China.
Mark mengaku terpesona dengan Aceh. Dia sering mengikuti perkembangan Aceh via media. Rendahnya angka kejahatan adalah salah satu kesan baik yang tertanam di hatinya, dan masyarakat Aceh yang ramah menjadi nilai tambah di benak Mark. "Aceh amat indah dan kota Banda Aceh juga rapi,” Mark bicara sambil menunjukkan kaca spion mobilnya yang baru saja di congkel maling di parkiran. “Ini Medan bung,” kalimat ini dari saya.
Dia juga menanyakan soal pariwisata. Ketika kami menjelaskan bahwa Aceh sedang mengembangkan Islamic turisme dia terkesan. "Banyak muslim terutama kaum Melayu di Singapura, kalian harus mempromosikan di sana, kami akan memfasilitasi nya," Mark menawarkan jasa baiknya dengan penuh semangat. Ia bicara mencampur bahasa Inggris dan Melayu,
Sambil bicara, saya melirik asistennya. Ia perempuan bermata sipit. Berwajah bening, tubuhnya terawat. Agaknya ia mengerti posisinya sebagai asisten. Tatakramanya terjaga dengan baik. Ia tak suka menimbrung ikut-ikut ngomong. Apalagi memotong bosnya bicara. Dia telaten menyimak dan mencatat semua diskusi kami.
Pembicaraan pokok kami adalah rencana magang bagi pegawai negeri sipil (PNS) dari Aceh ke Singapura. Menurut Mark negerinya membuka peluang khusus untuk Aceh. Menyediakan kelas khusus untuk Aceh. Menurut dia banyak negeri ASEAN yang diberikan fasilitas magang gratis di Singapura. “Ini bagian tugas kami membantu negeri negeri sahabat kami,” katanya.
Dia menawarkan magang khusus bagi PNS Aceh setidaknya 50 orang setiap gelombang. Tawaran Mark khusus magang promosi pariwisata 20 orang dan keuangan 18 orang. Sisanya bisa dengan berbagai urusan pelayanan publik lainnya.
Bukan sekedar menawar. Bahkan Mark sudah menyiapkan daftarnya. "Kalian boleh mengusul sesuai kebutuhan, dan bisa gabung ke kelas International kalau mahir bahasa Inggris atau kelas khusus bagi yang kurang memahami bahasa Inggris,” Mark menambahkan.
Dari cerita Mark, rupanya Singapura sangat perhatian dengan Aceh. Bahkan dia juga mengatakan pada peringatan 10 tahun tsunami nanti Singapura akan diwakili seorang menteri yang dulu semasa masih aktif di militer banyak membantu di Aceh. Ia dan dubes mengaku datang juga. Saya amat terkejut dengan perhatian Mark. Sepertinya dia amat ingin membantu Aceh yang sedang pulih dari sisa konflik.
Usai pertemuan, Mark memberikan kartu namanya. Saya perhatikan, di kartu namanya ada lambang Singapura dengan tulisan "Majulah Singapura". Slogan atau semboyan dalam bahasa Melayu, walau di negeri itu dominan menggunakan bahasa Inggris. Bahasanya jelas pengakuan atas kearifan lokal. Dan semboyan itu jelas sekali. Saya jelas terkesan.
Bandingkan dengan semboyan negeri kita "Bhinneka Tunggal Ika" sudah kutipan bahasanya dari bahasa asing, visinya juga defensif. Ini mungkin salah satu menyebabkan negeri Paman Lee ini lari kencang dari segi ekonomi dan lain lain.
Setelah dari sini, kami ke Konsul Amerika di Gedung Uniland dekat rel kereta api. Pintu masuk ke ruang konsulat tepat di depan lift lantai 4. Lebih 5 satpam khusus berjaga di sana. Mereka pribumi yang ramah. Namun prosedurnya jelas. Kami menukar kartu tamu dengan KTP. Ketika masuk saya melihat hal yang lain dari yang lain di kantor ini. Semua pintu dari besi khusus. Tebal daun pintunya 10 cm lebih. Ada empat pintu kami lalui. Semua sama.
Saya membayangkan begitu khawatirnya dengan keselamatan mereka. Walaupun nampak sangat protektif tapi para staf sangat ramah dan alamiah saja. Ada yang membuat saya amat terkesan di sini. Beberapa staf pribumi menggunakan jilbab dan berpakaian Islami (tidak Jilboobs).
Lucunya ruang kerja konsul Robert Ewing dipinggir sebelah barat semua dinding sebelah luarnya dari kaca dan tidak punya jeruji. Kita dengan mudah melihat ke luar langsung ke rel kereta api. Saya tak tahu kenapa begitu. Apakah kaca anti peluru? Sehingga tidak ada pengamanan berlebih seperti pintu-pintu masuk.
Di ruangan itulah Robert menerima kami. Ia ditemani Deputi Konsul Trevor R Olson dan Spesial Ekonomi Politik Rachma Juarinata. Dia staf lokal yang amat cantik. Berpakaian sangat Islami tapi memakai tindik di hidung.
Sepanjang perbincangan Robert kadang-kadang berbahasa Indonesia. Surayya sangat dekat dengan mereka. Perbincangan lebih banyak ke topik pendidikan. Tentang sulitnya mahasiswa Aceh menembus universitas-universitas favorit di Amerika.
Surayya meminta ada peran aktif konsul untuk membantu menguraikan masalah ini. Misalnya mengirim tenaga pengajar untuk calon mahasiswa tujuan Amerika agar anak anak aceh dapat menembus ke Amerika. "Sebagai alumni Amerika saya malu tidak bisa membantu anak anak Aceh melanjutkan ke sana," ujarnya.
Selain topik itu pembicaraan juga tentang rencana peringatan 10 tahun tsunami dan situasi aceh terkini.
***
Oh ya, saya juga ingin bercerita tentang Surayya. Saya dulu sering membaca namanya di media. Dia adalah aktivis IFA bersama Jabar siddik Hamzah (almarhum) di Amerika. Semasa Darurat Militer di Aceh, dia pernah beradu argumen dengan Presiden Megawati saat audiensi di Amerika. Surayya dikenal luas oleh diplomat Indonesia yang pernah tugas di Amerika.
Kemudian, saya mulai bersentuhan dengan Surayya saat dipercaya menjadi Kabag Pendidikan dan Kebudayaan di Biro Keistimewaan dan Kesra Setda. Waktu itu, Koordinator LPSDM Aceh adalah Bukhari Daud, mantan Bupati Aceh Besar, dan Surayya adalah wakilnya.
Sepanjang hubungan kerja terjalin, saya melihat Surayya seorang yang gigih, fokus, dan pekerja keras. Ia juga ramah, murah senyum, dan egaliter. Kami juga sering "bertengkar" karena ketidak mengertiannya tentang pola kerja birokrasi. Surayya lama menetap di Amerika mungkin tidak membayangkan rumitnya birokrasi di sini.
Yang paling membuat saya salut dia tidak pernah menyerah. Bahkan pada 2013 pernah terjadi gaji LPSDM baru dibayarkan pada akhir tahun, ia tak mengeluh. Sifatnya itu mengalir dari ayahnya, Imran Yhaib, tokoh pergerakan asal Aceh Timur yang membangun sekolah MIM (Madrasah Islam Modren) di Langsa. Sekolah ini melahirkan banyak tokoh asal Aceh Timur sampai ke tingkat nasional.
Terkadang saya tergoda untuk menggali arah politiknya, namun dia selalu bisa keluar dan menolak partisan. Dia berbeda dengan birokrat umumnya seperti saya yang cenderung defensif. Dia siap berdebat dan mencoba meyakinkan walaupun dengan siapapun. "Inilah kerja saya terus kalau sedang keluar negeri, ke Jakarta atau ke lain tempat, melobi agar banyak anak-anak aceh dapat beasiswa,” katanya.
Ia menginginkan beasiswa yang disediakan Pemerintah Aceh agar dapat dihemat dan membuat lebih banyak orang menikmatinya. Ia kemudian menjelaskan beberapa universitas di luar negeri yang memberi diskon biaya kepada aceh. "Kita malas melobi, padahal tsunami menjadi Aceh sangat terkenal dan perhatian untuk Aceh amat spesial," katanya di beberapa kesempatan.
Kalimat Surayya itu terbukti dalam dua kunjungan kami tadi. Bahkan Singapura dan Amerika sangat ingin membantu Aceh. Kita saja yang sibuk dengan urusan menghabiskan anggaran. Surayya sudah menunjukkan ke saya bahwa kerja keras dan kemauan untuk melobi akan membuat kita survive.
Bahkan, Konsul Singapura dan Amerika tadi bilang Aceh punya potensi besar bidang pariwisata dan agroindustri. Bahkan menurut konsul Amerika, kecenderungan turis saat ini lebih kepada hal-hal yang alamiah. Hal yang tidak mereka dapatkan di Bali, namun semuanya tersediua di Aceh. Hanya saja Aceh gamang dan tidak intensif menggarap potensi ini.
Kita butuh orang-orang seperti Surayya untuk bidang bidang lain. Mereka yang melepaskan diri dari sekat birokrasi yang kaku dan selalu dengan titik fokus kepada tujuan. Momentum pasca tsunami yang dikunjungi banyak orang asing gagal kita kesinambungkan dengan modifikasi pola.
Seharusnya tsunami menjadi komoditas wisata yang luar biasa bila ini direncanakan dengan baik. Tsunami adalah bencana terbesar di abad modren yang menghasilkan donasi yang luar biasa dari seluruh dunia. Artinya Aceh sudah amat terkenal.
Kini meredup karena kita sibuk berbedak. Sampai panggung redup kita belum juga menari. Oleh karena itu, kini saatnya berbenah karena panggung masih kokoh. Jangan sampai panggung hancur baru kita sadar bahwa tarian itu belum kita pertontonkan. []
Penulis adalah Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh dan mantan jurnalis.
Editor: Nurlis E. Meuko