SAYA terenyuh membaca Atjehpost.co, Minggu 5 Oktober 2014. Seorang sahabat saya, Aji Nagan, diusir dari Meuligoe Aceh saat sedang meliput open house Gubernur Aceh.
Pertanyaannya kemudian muncul. Kenapa Aji Nagan diusir? Keterbatasannya kah! Apakah karena ia hanya memiliki satu tangan kemudian dianggap tak layak untuk meliputi di rumah orang nomor satu di Aceh?
Saya sangat tersinggung dengan perlakuan pengamanan pendopo Aceh.
Aji itu istimewa bagi orang yang mengenalnya. Dia itu unik, bersahaja, simpatik, humoris, relijius dan kritis.
Saat dia dulu masih menjadi wartawan Harian Aceh dan Tabloid Modus, banyak kasus yang diungkap ke media. Karena dia susah diajak "kompromi" dengan hal-hal yang bisa menodai nilai-nilai kebenarannya yang dianutnya. Ia memang sudah sering dijauhi oleh pihak Penguasa yang merasa diri mereka bersalah.
Kejadian di Meuligoe Gubernur kemaren, sangat memiriskan hati. Semua pembaca terenyuh jiwanya. Sejogyanya, di hari Raya Kurban yang suci itu, pihak Pendopo beramah-tamah dengan siapapun tamu yang berkunjung, bukan justru sebaliknya bersikap seperti manusia yang tak punya nurani.
Sungguh, insiden tersebut menjadi pelajaran berharga bagi pihak protokoler Pendopo. Jangan sampai terulang lagi kepada siapapun, termasuk kepada jurnalis yang sedang melakukan tugasnya. Jangan sampai ada Aji-Aji yang lain yang menerima perlakuan tak selayak dari pengamanan pendopo di kemudian hari.
Kepada Pemerintah Aceh, diharapkan kepada seluruh pelayan Pendopo untuk diberikan pemahaman yang baik terkait tugas dan fungsi Pers. Agar kejadian-kejadian serupa, tidak terulang kembali di kemudian hari.
Aji, adalah pribadi yang tangguh. Saya yakin, kejadian kemaren tidak membuat ia patah arang dalam melaksanakan tugas mulia-nya. AtjehPost, patut berbangga dengan pengabdiannya sebagai jurnalis penuh talenta itu. Ia memang tertakdir memiliki fisik yang terbatas, tapi ia memiliki kualitas kepribadian diri yang berkelas. Engkaulah Sang Pejuang itu, sobat.
Salam hormat
Banta Diman
Penulis adalah dosen Universitas Teuku Umar dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Pelita Nusantara.
Editor: Murdani Abdullah