JUMAT kemarin saya bertemu Sulaiman Bombai alias Toke Man Bombai dan Teungku Ramli, mantan ketua Fraksi Partai Aceh di DPR Aceh periode 2009-2014. Kami memang sudah janjian beberapa hari lalu.
Sulaiman adalah orang Aceh yang sudah menetap di Malaysia. Ketika kami bertemu, ia baru saja kembali dari negerinya di Malaysia.
Kami janjian bertemu di Medan. Dari Banda ke Medan mereka naik bus. Mereka teman baik saya sejak beberapa tahun lalu. Setiap saya ke Malaysia mereka lah yang paling sering menjamu saya. Saya malah sempat beberapa kali ke rumah Toke Man di Kubang Gajah. Di rumah beliaulah kami beberapa kali duduk rapat paskapenandatanganan MoU Helsinky. Kami sering dijamu makan besar. Sepanjang saya kenal keduanya adalah orang-orang di garda depan dalam membantu "perjuangan".
Saya menjemput mereka di Mess Perwakilan Aceh di Pattimura, Medan. Kami ngopi di Sunrose. Kedai kopi gayo milik Haryanto Tan. Saya ingin mengenalkan keduanya dengan Haryanto. Saya juga ingin Toke Man dan Ramli melihat bagaimana Haryanto yang orang Cina itu punya kepedulian besar terhadap Aceh.
Teungku Ramli dan Sulaiman juga pedagang yang cukup sukses di Malaysia. Di Aceh, Sulaiman duduk sebagai Dewan Pengawas di Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). Ini adalah perusahaan plat merah yang didanai oleh APBA.
Di kedai Tan kami berbincang banyak hal sebelum saya mengantar keduanya ke pesta kerabat mereka di Tandem jalan ke arah Binjai.
Yang pertama mereka tanyakan ke saya malah masalah berita yang dimuat media online ATJEHPOST.Co ini. Terkait kritikan terhadap penanganan bencana dan pembagian kekuasaan antara gubernur dengan wakil gubernur.
Saya malah menertawai mereka. Pasalnya setahu saya mereka adalah orang di sekeliling kekuasaan. Bahkan di masa perjuangan dulu mereka adalah garda terdepan perjuangan di negeri seberang.
Saya balik bertanya kepada mereka kenapa semua ini harus terjadi. Mengapa mereka membiarkan hal ini tetjadi. Kenapa sekarang membiarkan kekuasaan di tangan mereka menjadi begitu liar. Bahkan menyakiti rakyat dan teman seperjuangan.
Ketika pertanyaan itu bertubi-tubi saya tanyakan mereka langsung bermuka masam. Teungku Ramli-lah yang pertama angkat bicara.
"Saya hanya ingin menceritakan sebuah hal kepada kamu tentang kejadian di Kamp Tajura Libya menjelang latihan kami selesai," kata Ramli dengan mata menerawang, memutar ingatan ke masa lalu sekitar penghujung tahun 1980-an.
Kisah itu terjadi menjelang shalat Jumat. Seperti biasa, almarhum Teungku Hasan di Tiro menjadi khatib setiap Jumat. Ketika itu, dari sekitar 800 penghuni kamp hanya sedikit yang ikut salat. Penghuni kamp bukan hanya asal Aceh tapi juga dari Bangsamoro Filipina dan dari bangsa lain. Alasannya menjelang jumat air di mesjid tidak ada. Sehingga ramai yang kembali ke kemah masing-masing.
Selesai ritual Jumatan Wali Hasan Tiro memerintahkan semua warga asal Aceh kumpul ke mesjid. Kebetulan saat itu sejumlah petinggi GAM juga sedang di Tajura.
"Wali berpidato sampai sore di mesjid, dengan berurai air mata Wali menerangkan kepada mereka bagaimana pahitnya perjuangan ke depannya," kata Ramli.
Ramli pun mengutip sepotong kalimat Wali yang masih membekas diingatannya. "Na gata-gata kira padim phet para pemimpin yang ka syahid demi perjuangan nyoe, sementara gata cuma karena persoalan ubit malah hana peukong jamaah (adakah kalian pikirkan betapa pahitnya para pemimpin yang syahid demi perjuangan ini, sementara kalian cuma karena persoalan kecil malah tidak memperkuat jamaah)."
Saat itu Wali menyebut satu persatu sahabatnya yang telah syahid seperti dr Muktar, dr Zubir dan yang lain.
Saking kesalnya, kata Ramli, Wali melempar bundelan buku catatannya ke depan Bakhtiar Abdullah, salah satu pembantunya. "Baktiar, bileueng padim abeh biaya untuk gata2 nyoe jak keunoe? (Bakhtiar, hitung berapa habis biaya untuk kalian dikirim ke sini).
Hasan Tiro menegaskan mereka dibawa ke sana untuk mengenal dirinya selaku orang Aceh.
"Bila bangsa lain menulis heroismenya dalam kisah fiksi atau dalam cerita legenda nenek moyang, kalian melukiskan heroisme dalam kisah nyata dan dicatat oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Bahkan bangsa kita adalah bangsa terhormat dalam pergaulan dunia. Kita tercatat sebagai bangsa yang turut mengakui sejumlah kemerdekaan bangsa-bangsa di Eropa," kata Ramli mengutip ucapan Hasan Tiro saat itu.
Yang diingat Ramli, ketika itu Hasan Tiro dengan berurai air mata sangat khawatir mereka, para anak didiknya, belum pantas menjadi pemimpin. "Bagaimana kalian memimpin bangsa kalian sementara memimpin diri sendiri saja kalian tidak mampu?."
Ramli pun teringat kondisi Aceh saat ini. Ramli mengaku sedih melihat pemimpin pemerintahan Aceh hari ini yang menurutnya jauh dari nilai-nilai yang di ajarkan wali kepada mereka."Sepertinya kekuatiran Wali sudah terlihat jelas sekarang," katanya seraya menghela nafas panjang.
Sulaiman alias Toke Man, punya cerita lain. Menjelang penandatangan MoU Helsinki, 11 tokoh perjuangan dari Malaysia berangkat mengunjungi Wali ke Swedia. Diantaranya Teungku Radak, Sulaiman, dan Teungku Ramli.
Setelah beberapa hari di sana, pada satu kesempatan tinggallah mereka bertiga di apartemen Wali. Teungku Radak masih famili dekat Wali.
Ketika mereka sedang berbincang bersama Wali, datang telepon dari pertugas apartemen yang mengatakan ada yang ingin menemui mereka. Diantara tamu itu ada yang bernama Usman yang tak lain adalah menantu Teungku Radak.
Usman sudah beberapa tahun menetap di Swedia karena mendapat suaka. Tapi Usman tidak sepaham dengan Wali dalam soal perjuangan. Ia ikut barisan sempalan. Setelah menerima telepon dari petugas apartemen, Teungku Radak mohon izin kepada Wali agar menantunya itu diperbolehkan naik dan menemuinya.
Saat itu Wali sedang serius membaca poin-poin isi perundingan RI dan GAM. Dengan wajah serius wali berujar "lon peugah bak gata-gata, lam perjuangan nyoe hana syedara atau keluarga. Meunyoe gata nak meureumpok melintee sideh di Tai Ping (nama daerah tempat tinggal Teungku Radak di Malaysia). Sinoe tempat bagi yang meusuetia ngon perjuangan (saya jelaskan kepada kalian, dalam perjuangan ini tidak ada istilah saudara atau keluarga, kalau mau bertemu menantu di Tai Ping, di sini tempat bagi yang setia dengan perjuangan)."
Dari sanalah Sulaiman melihat bagaimana prinsip tegas Hasan Tiro dalam soal perjuangan. "Bahkan beliau sangat anti KKN," kata Sulaiman.
Dari cerita Teungku Ramli dan Sulaiman, jelaslah bagaimana Hasan Tiro membangun fondasi perjuangan demi martabat Aceh.
Nah, sekarang silahkan anda melihat perilaku pemimpin kita hari ini. Bila anda ke Meuligoe, rumah dinas Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat ini, maka anda boleh melakukan survei bahwa semua penghuni baru sejak rezim ini menempati Meuligoe, saya yakin semua punya hubungan keluarga atau satu kampung. Mulai tukang lap, sampai staf khusus.
Ini fenomena yang sangat menarik: ada penguasa yang begitu memberdayakan keluarganya bahkan dengan memusuhi rekan seperjuangannya.
Mungkin wali punya ilmu laduni sehingga menurut Sulaiman dan Ramli berkali-kali Wali khawatir bagaimana mereka akan memimpin Aceh jika suatu hari perjuangan itu sukses.
Ternyata, baru di ambang sukses perilaku orang kepercayaannya jauh di atas prediksi banyak orang. Bahkan dari cara berpakaian pun melebihi pejabat dari Jawa sana dalam mencintai batik. Bila ada penghargaan kecintaan memakai batik, saya kira beliau pantas diberi gelar melebihi Datuk Sri.[]
Editor: Yuswardi A. Suud