Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan tes keperawanan yang dilakukan kepolisian saat melakukan rekrutmen polisi wanita sangat merendahkan martabat wanita. "Tes itu sangat melecehkan para calon polisi perempuan," katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 19 November 2014.
Dalam wawancara Human Rights Watch dengan sejumlah polwan dan pelamar polwan di enam kota terungkap pelamar yang terbukti "tidak perawan" bukan berarti tak bisa masuk kepolisian. Namun, setelah menjalani tes, mereka trauma. "Padahal mereka bekerja melayani perempuan dan anak yang juga memiliki trauma. Sedangkan polwannya belum bisa menyembuhkan traumanya sendiri," ujar Andreas.
Human Rights menyatakan polwan sudah membahas masalah ini dengan bagian personalia Kepolisian Indonesia, yang saat itu menyatakan praktek tersebut harus dihentikan. Namun tes keperawanan masih tercantum sebagai salah satu syarat yang harus dijalani pelamar polwan di website rekrutmen polisi.
Hasil wawancara Human Rights Watch menegaskan bahwa tes itu memang masih dilakukan hingga kini. "Tes keperawanan yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia merupakan praktek diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan," tutur Nisha Varia, Direktur Human Rights Watch Didang Hak Perempuan, dalam keterangan persnya.
Tes tersebut dianggap Human Rights bertentangan dengan peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia soal seleksi calon polisi yang harus nondiskriminasi dan humanis serta melanggar hak asasi internasional tentang kesetaraan, nondiskriminasi, dan pribadi. Pemaksaan terhadap tes ini suatu kekejaman, tak manusiawi, serta merendahkan martabat perempuan di mata hukum internasional. | sumber : tempo
Editor: Ihan Nurdin