WAKIL Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tengku H. Faisal Ali mengatakan kelompok masyarakat tidak boleh melakukan razia pelanggaran syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, razia yang akan dilakukan berdampak pada pemahaman masing-masing tanpa ada rujukan jelas dan mengakibatkan kebingungan pada masyarakat.
"Dalam Islam dari dulu sudah mengatur hal ini. Masyarakat tidak bisa merazia pelanggar syariat tapi yang bisa melakukan itu adalah aparat. Masyarakat hanya bisa memberikan informasi jika ada pelanggaran syariat," ujarnya saat dihubungi ATJEHPOST.co, Senin, 1 Desember 2014.
Menurutnya hal yang harus dipahami masyarakat adalah menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar, bukan malah merazia hal-hal yang menjadi kewenangan aparat pemerintah. "Berbicara Aceh, kita punya Wilayatul Hisbah (polisi syariat). Jadi kalau ada pelanggaran laporkan ke WH," katanya.
Ia juga menanggapi soal razia yang dilakukan organisasi Tadzikiratul Ummah di Lhoksukon, Aceh Utara, yang mengecat celana pelanggar syariat Islam saat sosialisasi busana muslim. "Kadang cit na kerjasama ngon WH dan na izin dari pemerintah. Nyan nyang peubuet abu-abu dayah. Selama pemerintah menyetujui keterlibatan ormas Islam dalam penerbitan busana islami, ya tidak masalah," katanya.
"Tapi kalau razia dilakukan atas nama masyarakat yang tidak boleh. Harus ada persetujuan pemerintah," katanya.
Di sisi lain, pria yang kerap disapa Lem Faisal ini juga menyebutkan banyak terjadi kesalahpahaman dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Misalnya seperti penangkapan-penangkapan pasangan pezina di gampong-gampong di Aceh, yang berujung pada pemukulan atau penyiksaan.
"Ini tidak boleh. Termasuk memaksa pelanggar untuk menikah di meunasah karena ini merujuk pada pemaksaan. Namun yang bisa dilakukan warga adalah menyerahkan kembali kepada keluarga untuk membina sekaligus merekomendasikan agar pelanggar dinikahkan," katanya.[]
Baca juga:
[FOTO]: Razia Busana Islami, Celana Perempuan Disemprot Cat di Aceh Utara
Editor: Boy Nashruddin Agus