KETUA DPR Aceh, Tengku Muharuddin menyayangkan sikap Kemendagri yang dianggap buru-buru mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tanpa mengadakan musyawarah dengan semua elemen masyarakat Aceh. Menurutnya sikap yang dinilai arogan ini akan memicu konflik kembali antara Pemerintah Aceh dengan Pusat.
"Pemerintah Pusat seharusnya lebih peka dalam menyikapi masalah ini sebab ke depannya lagi rasa kepercayaan masyarakat Aceh kepada Pusat semakin kurang, sehingga bisa merusak citra perdamaian di Aceh," ujarnya kepada ATJEHPOST.co saat menghadiri acara penanaman 1 miliar pohon di Tahura Meurah Intan, Saree, Aceh Besar, Sabtu, 6 Desember 2014.
Ia menjelaskan, Qanun KKR merupakan salah satu bentuk kewenangan khusus yang telah diberikan kepada Aceh melalui wadah perjanjian damai MoU Helsinki. Karenanya Kemendagri dinilai akan mengkhianati rakyat Aceh jika membatalkan qanun tersebut.
"Itu merupakan salah satu lex specialis yang diperoleh melalui perjanjian damai. Jadi, sangat fatal sekali jika pemerintah Pusat membatalkannya sebab dikhawatirkan akan muncul rasa ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah Pusat lagi. Seharusnya pemerintah harus melakukan pendekatan persuasif dengan tokoh masyarakat Aceh terlebih dahulu," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Pusat menegaskan, Qanun atau Peraturan Daerah tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi (KKR) Aceh, melampaui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh, jika KKR yang dibentuk diberi kewenangan mengadili pelaku pelanggar HAM.
Pasalnya, dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 hanya diatur terkait pembentukan kelembagaan dan tidak meliputi kewenangan bagi KKR.
“Dalam Undang-Undang Nomor 11 yang diatur hanya kelembagaan tak meliputi kewenangan KKR Aceh. Nah, sedangkan KKR Aceh jadi satu dengan KKR Nasional. Jadi Perda itu melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. Kan jelas peraturannya, tak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi,” ujar Staf Ahli Bidang Hukum dan Politik Menteri Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, di Jakarta, Jumat (5/12).
Menurut Zudan, nantinya akan dilakukan klarifikasi terlebih dahulu terkait keberadaan Qanun KKR tersebut. Artinya, Pemerintahan di Aceh harus terlebih dahulu melaporkan, apakah dalam penyusunan Qanun melaksanakan sepenuhnya hal-hal yang termaktub dalam undang-undang tentang Aceh.
“Kalau tidak, baru dibatalkan. Dulu kewrnangannya di presiden. Sekarang di Kemendagri juga bisa. Jadi Kemdagri akan membatalkan (Qanun KKR,red) apabila mereka tak melaksanakan perintah undang-undang,” katanya.
Sebelumnya, para korban konflik yang berada di seluruh Provinsi Aceh, meminta Gubernur Aceh dan DPRA tidak mengabaikan nasib para korban konflik. Sebab, hingga sembilan tahun berjalan perjanjian damai Helsinki, nasib para korban konflik masih terabaikan.
Padahal, Qanun Nomor 17 Tahun 2013, tentang KKR Aceh telah disahkan 27 Desember 2013 lalu. Namun Pemerintah Aceh dinilai belum juga menjalankan qanun tersebut.
“Kami para korban konflik yang tersebar di seluruh Aceh mengharapkan perhatian dari Gubenur Aceh dan DPRA untuk peduli dengan nasib kami. Sebab sampai saat ini hak para korban konflik terabaikan,” ucap Murthala, pria yang peduli dengan nasib para korban konflik, pada saat silaturrahmi ke media lokal Harian Rakyat Aceh (group JPNN) di Banda Aceh, kemarin.
Bersama dengan puluhan korban konflik yang mendatangi kantor koran ini, para korban konflik meminta Gubernur Aceh dan DPRA dapat mengimplementasikan janji-janji kepada para korban konflik yang hingga sekarang belum juga terealisasikan.
Bahkan menurut mereka, segala bentuk bantuan, baik bantuan ekonomi, bantuan keadilan maupun bantuan kemanusiaan kepada para korban konflik hanya didapatkan janji-janji semata dengan beragam alasan yang diterima para korban konflik ketika mempertanyakan kepada Pemerintah Aceh maupun kepada DPRA.
Untuk itu ungkap mereka, demi kemanusiaan, keadilan dan pemenuhan hak-hak para korban pelanggaran HAM Aceh, merekomendasi kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera mengimplementasikan isi Qanun No.17/2013 tentang KKR Aceh.
Selanjutnya, membuat program reparasi lokal untuk korban berdasarkan pengakuan pelanggaran dan program ini harus terpisah dari program integrasi.
“Kita juga para korban konflik meminta untuk dibuat museum HAM, memorialisasi seperti tugu atau monumen pelanggaran HAM dititik-titik yang pernah terjadi pelanggaran HAM,” kata mereka menambahkan seperti monumen simpang KKA dan Jamboe Keupok yang ada diinisiasi oleh korban dan masyarakat sipil.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus