PEMERINTAH Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) perlu mengawasi dan menjaga Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) agar tidak dicabut Pusat. Hal ini disampaikan Direktur Program Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Edi Saputra kepada ATJEHPOST.co, Sabtu, 6 Desember 2014.
“Pemerintah Aceh punya kapasitas untuk mengawasi qanun tersebut. Qanun KKR sangat dibutuhkan oleh korban tindak kekerasan di Aceh,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia juga tidak bisa serta merta menghapuskan Qanun KKR lantaran sudah tertuang dalam perjanjian MoU Helsinki. Qanun ini juga sudah diatur dalam Undang–Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
“Saya pikir Mendagri tidak mengerti tentang Qanun KKR ini,” katanya.
Menurutnya kehadiran Qanun KKR yang sudah disahkan DPR Aceh pada 2013 silam, sangat membantu korban tindak kekerasan terutama di Aceh pasca perdamaian terjadi.
“Pemerintah masih punya hutang dengan korban tindak kekerasan, hutangnya belum mengimplimentasikan qanun tersebut setelah disahkan,” ujar Edi.
KontraS Aceh juga mengkhawatirkan jika Qanun KKR tidak diimplimentasikan, masyarakat akan tersingkir dari hak dan kewajiban selaku korban tindak kekerasan.
“Kita mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak mencabut Qanun KKR dengan alasan apapun. Mungkin Pemerintah Indonesia dan Aceh takut kalau Qanun KKR dijalankan akan berimbas untuk mereka juga,” katanya.
Lebih lanjut, kata Edi, Pemerintah Aceh maupun Indonesia terutama Mendagri agar mempelajari lebih mendalam tentang Qanun KKR. "Mengingat qanun tersebut sangat diharapkan kehadirannya di Aceh untuk membantu korban tindak kekerasan, terutama korban konflik dulu," katanya.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus