PETUALANGAN mewujudkan hasrat menjelajahi situs-situs tsunami di dunia bisa Anda mulai dari Museum Tsunami Aceh. Mengapa? Karena inilah satu dari dua Museum Tsunami yang ada di kawasan Asia Pasifik. Selain di Indonesia dan Jepang, Museum Tsunami juga ada di Hawaii, Amerika Serikat.
Sejak sepuluh tahun silam, Banda Aceh yang dikenal sebagai ‘Kota Para Raja’ ini juga dikenal sebagai ‘Kota Tsunami’. Hal ini tentu saja tak terlepas dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah meluluhlantakkan Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 silam. Tanpa bencana besar tersebut museum ini tentu saja tidak akan pernah ada. Karena itu, sayang sekali jika ke Banda Aceh namun melewatkan kesempatan berkunjung ke Museum Tsunami.
Berdiri tegak di sisi ruas Jalan Iskandar Muda, Museum Tsunami Aceh berada di lokasi yang sangat strategis tak jauh dari pusat kota. Jalan ini menjadi penghubung beberapa destinasi wisata yang ada di Banda Aceh. Tak heran jika kawasan ini selalu ramai. Persis di belakang gedung, terdapat kompleks kuburan Belanda yang disebut Kerkhof Peutjoet dan di dalamnya ada makam Meurah Pupok, putra Sultan Iskandar Muda yang konon dihukum karena suatu kesalahan fatal.
Filosofi
Bangunan monumental ini dibangun untuk mengenang bencana maha dahsyat yang menelan korban jiwa mencapai kurang lebih 240.000 jiwa. Di sini semua jejak tsunami Aceh terangkum dalam beragam format seperti arsip berita, foto hingga video. Bentuk bangunannya yang megah dan modern dibuat dengan mengambil konsep dasar Rumoh Aceh. Museum ini merupakan hasil karya rancangan arsitek ternama Indonesia Ridwan Kamil, yang kini menjadi Wali Kota Bandung.
Dibangun di atas lahan seluas satu hektar, dana yang dihabiskan untuk membangun museum ini sekitar Rp 140 miliar yang berasal dari sumbangan berbagai negara di dunia. Nama-nama negara donatur tersebut bisa kita lihat di langit-langit yang ada di museum. Museum Tsunami ini diresmikan pada awal 2009 lalu di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Museum Tsunami Aceh ini terdiri dari empat lantai yang setiap lantainya memiliki makna dan filosofi tersendiri. Lantai pertamanya misalnya, dibiarkan terbuka sebagai representasi dari ‘kolong’ Rumoh Aceh yang berupa rumah panggung. Kolong ini berfungsi sebagai jalur lalu lintas air jika sewaktu-waktu terjadi banjir atau tsunami. Tiang-tiang kokoh yang dicat coklat berdiri tegak menyangga tubuh gedung.
Jika dilihat dari jauh desain eksteriornya mirip dengan kapal raksasa yang sedang mengarungi samudera luas. Di bagian atasnya ada ornamen yang dibuat mirip jalinan tertentu yang seluruhnya berwarna coklat. Jalinan atau pola ini terinspirasi dari ‘kekompakan’ yang tergambarkan dalam gerakan tari Saman. Mencerminkan tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh yang sangat tinggi.
Space of Fear
Sekarang mari kita menjelajah bagian dalam museum. Sekadar informasi, masuk ke museum ini tidak dipungut biaya apa pun. Jadwal buka museum juga mengikuti ketentuan internasional yang hanya tutup pada hari Senin. Waktu berkunjung normalnya mulai dari pukul sembilan pagi hingga setengah lima sore.
Sebelumnya kita akan melewati meja resepsionis dan menitipkan barang bawaan kita di sini. Tapi jangan khawatir, untuk peralatan digital seperti handphone dan kamera tetap diizinkan untuk dibawa masuk kok. Jadi kita bisa memotret berbagai spot menarik sepuas-puasnya.
Setelah melewati meja resepsionis tadi kita akan mulai memasuki sebuah lorong yang gelap nan panjang. Saat pertama kali memasuki dan melewati lorong ini napas saya bagai tertahan. Merasa seperti kekurangan oksigen. Bahkan detak jantung pun tiba-tiba ikut berdegub-degub kencang.
Di sepanjang jalan ini kita seolah hanya melihat kegelapan yang berasal dari bias dinding yang seluruhnya berwarna gelap. Tinggi dindingnya bervariasi antara 19 hingga 23 meter yang merepresentasikan tingginya gelombang tsunami kala itu. Dari dinding sebelah kanan mengalir air dari ketinggian, gendang telinga kita akan menangkap suara gemericik air yang kadang kala justru terasa menyeramkan.
Sayup-sayup terdengar pula lantunan ayat-ayat Al Quran yang membuat perasaan hanyut ke masa silam. Inilah yang dinamakan Space of Fear yang menggambarkan bagaimana detik-detik terjadinya tsunami di Aceh. Penuh ketakutan, kepanikan dan juga kegelapan. Tanpa harapan!
Space of Memory
Layaknya sebuah perjalanan, lorong yang panjang dan gelap ini pun akhirnya menemukan muaranya ke sebuah ruangan lain. Pengunjung akan menemukan 26 monitor yang disusun sedemikian rupa. Dari monitor tersebut setiap detiknya akan muncul foto-foto kejadian tsunami dalam bentuk slide.
Ruangan yang disebut sebagai Space of Memory ini akan membawa kita pada kecamuk gelombang tsunami yang ganas. Di ruangan ini sumber cahayanya berasal dari pantulan kolam yang berada di pelataran gedung. Ruangan ini pun tak terlepas dari filosofi yang membuat kita ngeri membayangkannya. Inilah ruangan yang mendeskripsikan ‘lautan tsunami’ yang sebenarnya.
Foto-foto yang ada di ruangan ini berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Gedung ini memang dikelola langsung oleh Kementerian ESDM yang bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Space of Sorrow
Ruangan demi ruangan yang kita lalui di Museum Tsunami ibarat rantai yang saling terjalin. Kita tidak bisa melompat ke ruangan lain tanpa melewati ruangan sebelumnya. Hal ini menggambarkan kondisi ‘rantai’ tsunami yang sebenarnya. Setelah melewati dua ruang menyeramkan sebelumnya kita sampai pada Space of Sorrow atau Ruang Sumur Doa.
Bentuk ruangan ini bisa dibilang berupa ‘cerobong’ yang menjulang tinggi ke atas setinggi 30 meter. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini adalah pucak cerobong yang di atasnya terdapat ukiran berlafal Allah dalam bahasa Arab.
Simbol ini melambangkan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta yang menjadi penolong di berbagai situasi. Saat bencana terjadi kepada siapa lagi kita berani berharap selain kepada Tuhan? Lantunan Al Quran yang kita dengar di ruang pertama tadi berasal dari sini. Puncak lorong inilah yang terlihat seperti menara jika kita melihat museum ini dari luar gedung. Seperti cerobong asam yang lazimnya kita temukan pada bangunan-bangunan bergaya Eropa.
Di lingkaran gedung ini kita juga bisa membaca 2.000 nama korban-korban tsunami. Nama-nama itu hanya sepersekian dari jumlah korban tsunami yang sebenarnya. Membaca nama-nama ini membuat hati kita tersayat-sayat. Bencana itu benar adanya!
Space of Confuse
Bingung? Ya, inilah filosofi yang ingin digambarkan dari ruangan ini. Lantainya bergelombang, saat berjalan membuat keseimbangan tubuh kita agak terganggu. Agar tak terjatuh atau terpeleset kita bisa berpegangan pada besi yang melingkari dinding. Lagi-lagi penerangan yang seadanya membuat kita tertatih-tatih, kepayahan. Membutuhkan pertolongan dan tempat untuk berpegang.
Kebingungan menjadi salah satu kepingan tak terlupakan bagi para korban tsunami. Siapa sih yang tak bingung menghadapi kenyataan kehilangan sanak keluarganya, harta benda, bahkan tak sedikit yang mengalami gangguan mental karena depresi. Kebingungan ini akhirnya berakhir di sebuah lorong.
Space of Hope
Inilah akhir dari sebuah perjalanan panjang tadi, munculnya sebuah harapan baru sebagai sumber kehidupan yang baru pula. Space of Hope adalah jembatan harapan yang terbuat dari material kayu dan membentang di atas kolam. Panjangnya mencapai lima belas meter yang akan membawa kita ke ruang berikutnya.
Berada di jembatan ini sangat melegakan, cahaya berlimpah, kita bisa memandang ke segala sisi dengan bebas. Di kolam, ikan-ikan berenang dengan suka cita. Kegembiraan pun pelan-pelan merasuki diri kita.
Panjang jembatan ini 15 meter, di atasnya menggantung 55 replika negara di berbagai benua yang menjadi donatur dalam tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Simbol ini juga bisa kita lihat pada gundukan batu-batu bulat yang melingkari kolam di bawah sana. Jika diperhatikan di batu-batu tersebut ada kata ‘damai’ yang ditulis dalam bahasa negara masing-masing. Mengapa damai? Karena konflik puluhan tahun yang sebelumnya bergejolak di Aceh berakhir setelah tsunami. Jembatan ini salah satu titik yang paling disukai pengunjung untuk mengabadikan kehadirannya di Museum Tsunami.
Ruang Pamer
Ruang pamer di Museum Tsunami berada di lantai dua dan tiga. Di lantai dua, kita bisa melihat maket Museum Tsunami. Miniatur gedungnya menggambarkan kondisi gedung secara keseluruhan, termasuk atap gedung yang menggambarkan episentrum gempa yang berpusat di perairan barat Aceh.
Di lantai ini juga disediakan sofa-sofa untuk pengunjung beristirahat setelah berjalan sekian jauh. Ekspedisi selanjutnya adalah menuju ruang pamer temporer yang dipenuhi foto-foto bertema ‘kebangkitan’ masyarakat korban tsunami. Untuk melihat berbagai foto, display, artefak dan diorama tsunami kita bisa masuk ke ruang pamer tsunami.
Sedangkan ruang geologi yang memamerkan endapan tanah tsunami dan seismograf berada di lantai tiga. Di lantai ini juga terdapat ruang simulasi, dan maket bangunan tahan gempa, tata ruang kota, ensiklopedi bumi, simulasi rumah tahan gempa dan ruang empat dimensi yang menggambarkan detik-detik terjadinya gempa dan tsunami.
Masih di lantai tiga, ada satu ruangan yang disebut ruang Tell Net. Di sinilah saksi hidup korban tsunami biasanya berbagi pengalaman atau telling story pada pengunjung. Jika kita ingin mencari informasi lebih, di lantai tiga ini juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan. Masih belum cukup? Cobalah untuk masuk ke ruang audio visual, bisa juga disebut bioskop mini yang tersedia 40 kursi untuk penonton. Di dalam bioskop kita bisa menyaksikan video berdurasi sembilan menit yang memperlihatkan terjadinya gempa dan tsunami Aceh.
Kehadiran Museum Tsunami menjadi magnet baru yang menjadi daya pikat pengunjung ke ibu kota provinsi Aceh. Setiap harinya sekitar seribuan wisatawan mengunjungi tempat ini, di hari-hari libur jumlahnya bisa lebih banyak. Bukan hanya menarik minat wisatawan luar, wisatawan lokal juga banyak yang memfavoritkan objek wisata ini.
“Ini salah satu objek wisata favorit saya, karena tempatnya bukan hanya bisa dikunjungi sebagai tempat wisata tapi juga kaya sumber ilmu pengetahuan,” ujar Puteri Indonesia Perwakilan Aceh, Winda Ulfa, yang hari itu sedang berkunjung ke museum.
Arsitekturnya yang menarik juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa Universitas Syiah Kuala ini. Karena setiap detilnya memiliki makna dan filosofi tersendiri. “Terus yang membuat saya selalu merinding dan sedih kalau masuk ke ruang cerobong yang di puncaknya ada tulisan Allah, rasanya Winda seperti sedang merasakan apa yang dirasakan mereka saat itu,” ujarnya.
Seperti halnya yang dirasakan Winda, kehadiran Museum Tsunami dan situs tsunami lainnya, bukan sekadar tempat wisata untuk membuang jenuh semata. Tapi juga media belajar dan mendekatkan diri pada Tuhan. [Sumber : Majalah Diwana]
Editor: Ihan Nurdin