TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer.
Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang).
Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif.
Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja).
Teungku Cik Pante Geulima lantas pulang ke Aceh setelah menyelesaikan misinya di Tanah Batak dan Karo. Selama perjalanan pulang ia singgah di beberapa kerajaan kecil untuk mengkampanyekan perang terhadap Belanda. Dalam perjalanan pulang tersebut Teungku Cik Pante Geulima akhirnya mengetahui bahwa kuta reuntang Krueng Daroy telah berhasil dikuasai Belanda.
Setiba di Dayah Pante Geulima, ia kemudian mengadakan musyawarah dengan Teuku Raja Muda Cut Latif, para ulama dan ulee balang. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut maka diputuskan agar pasukan Aceh memperkuat benteng-benteng yang telah ada di luar Aceh Besar serta membuat benteng-benteng baru hingga jauh ke pesisir timur. “Salah satu kota yang kemudian menjelma menjadi benteng Aceh yang amat tangguh yaitu Kuta Batee Iliek di Samalanga,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.
Peperangan Belanda di Aceh terus berlanjut hingga bilangan tahun. Selain ibu kota, Belanda telah berhasil menguasai Aceh Besar, Pidie dan Meureudu. Hal ini membuat Teungki Cik Pante Geulima terpaksa hijrah ke Samalanga, sementara Teuku Raja Muda Cut Latif mundur ke Bireuen dan kemudian wafat di daerah tersebut dalam usianya 116 tahun.
Jatuhnya daerah-daerah lingkaran ibu kota membuat sejumlah tokoh ternama Kerajaan Aceh Darussalam, termasuk Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bertahan di Samalanga. Ternyata apa yang disangkakan Teungku Cik Pante Geulima menjadi kenyataan. Belanda memang ingin menguasai Aceh secara menyeluruh termasuk Benteng Batee Iliek yang berada di Samalanga. Benteng ini menjadi sangat strategis untuk memudahkan Belanda menguasai Bireuen, Peusangan dan Lhokseumawe.
Usaha pertama Belanda merebut Benteng Batee Iliek mengalami kegagalan. Namun pihak kompeni sama sekali tidak menyerah dan melakukan serangan lanjutan selama dua kali berturut-turut, di bawah kepemimpinan Jenderal van Der Heijden pada 1878.
Jenderal van Der Heijden yang memimpin serangan secara langsung menderita luka-luka. Matanya buta terkena pelor senjata pasukan Aceh yang melepaskan tembakan dari Benteng Batee Iliek. Kegagalan ini membuat van Der Heijden lantas dibangkupanjangkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tongkat kepemimpinan Belanda selanjutnya diserahkan kepada Jenderal van Heutsz yang telah diangkat menjadi Gubernur Militer atau Panglima Tentara Pendudukan di Aceh.
“Setelah menderita korban yang cukup banyak, barulah van Heutsz berhasil merebut Kuta Batee Iliek, setelah hampir semua perwira dan prajurit Aceh syahid. Sementara Sultan Alaiddin Muhammad Syah dan Panglima Polem beserta beberapa ulama lainnya bersama sepasukan kecil telah hijrah menuju pedalaman Aceh,” tulis Ali Hasjmy.
Dalam peperangan di Batee Iliek tersebut, beberapa tokoh militer dan ulama terkenal Aceh ikut tewas. Di antaranya adalah Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail, Teungku Cik Lueng Keubeu, Teungku Dien Bungon, dan beberapa pimpinan pasukan lainnya.
Berdasarkan catatan Ali Hasjmy, diketahui Teungku Cik Pante Geulima tewas pada hari Jumat sore pada tahun 1904 atau sekitar 1321/1322 Hijriah. Saat syahid, usia Teungku Cik Panglima adalah 66 tahun. Dia kemudian dimakamkan di Kampung Meurandeh Alue (Kecamatan Bandar Dua, Bireuen sekarang).[]
Editor: Boy Nashruddin Agus