Penulis: Drs. Mawardi Umar, M.Hum., M.A.*
SALAH satu definisi sejarah adalah gambaran terhadap masa lampau suatu komunitas. Masa lampau itu sendiri sudah tidak ada lagi, sudah ditelan masa dan tidak dapat diulang atau diputar kembali. Gambaran tersebut perlu dilakukan karena banyak peristiwa di masa lampau yang sarat makna dan sarat nilai, yang dapat dijadikan sebagai pedoman, arahan, dan sumber pendidikan untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Untuk dapat menggambarkan kehidupan masa lampau suatu komunitas, diperlukan bukti-bukti yang masih tersisa, yang merupakan wakil dari peristiwa. Bukti-bukti tersebut dalam ilmu sejarah disebut sumber sejarah.
Sumber memegang peranan yang sangat vital dalam penulisan sejarah. Bila suatu peristiwa sejarah tidak meninggalkan sumber, tidak mungkin menceritakan atau menulis kembali peristiwa itu. Kalaupun diceritakan, yang lahir bukan cerita sejarah, melainkan dongeng atau mitos. Karena pentingnya peranan sumber dalam penulisan sejarah, muncullah istilah “no document no history” (tidak ada sumber, maka tidak akan pernah ada sejarah).
Bentuk sumber sejarah bermacam-macam, seperti benda, tulisan, foto, rekaman, ataupun saksi mata yang masih hidup. Sesuai dengan bentuknya, tempat kita dapat memperoleh sumber-sumber tersebut juga bermacam-macam. Salah satu tempat penyimpanan sumber sejarah Aceh, khususnya sumber tertulis dan sumber benda, adalah di Belanda.
Sebagai negara yang pernah menyerang Aceh, sangat banyak sumber sejarah Aceh yang tersimpan dengan sangat baik di Belanda. Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak peneliti yang tertarik mengkaji tentang Aceh pasti akan pergi ke Belanda untuk memperoleh sumber bagi tulisannya. Ada banyak lembaga di Belanda yang menyimpan sumber sejarah Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Untuk sumber yang berbentuk benda, Museum KNIL (Het Koninklijk Nederlands Indisch Leger) di Arnhem Nijmegen, tempat yang sangat penting, karena di sana disimpan beberapa bukti sejarah Aceh masa perang.
Di depan pintu masuk museum ini ditempatkan sebuah meriam dalam ukuran yang sangat besar yang dirampas dari pejuang Aceh saat Perang Aceh. Di sini juga disimpan bendera Aceh masa perang dulu. Selain itu, koleksi yang sangat penting yang merupakan koleksi spesial museum ini adalah pakaian Teuku Umar lengkap dengan kopiah dan jimatnya. Koleksi ini benar-benar spesial karena satu-satunya koleksi yang diletakkan dalam tempat yang terbuat dari kaca dan tidak dapat disentuh.
Sumber benda yang lain adalah dompet Panglima Polem yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Perpustakaan ini dulunya bernama Perpustakaan Kolonial (Koloniaal Biblioteek).
Dompet tersebut masih lengkap dengan isinya seperti saat dirampas oleh Belanda dalam Perang Aceh dulu, termasuk caritan kerta tempat Panglima Polem mencatat sesuatu. Koleksi ini secara berkala dipamerkan kepada publik karena merupakan salah satu koleksi spesial mereka di samping buku dan naskah, termasuk naskah-naskah Aceh dan terbitan-terbitan kolonial tentang Aceh.
Untuk sumber tertulis, selain Perpustakaan Universitas Leiden, terdapat beberapa tempat yang sangat penting karena menyimpan koleksi tentang Aceh, yaitu KITLV (Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde) Leiden. Di sini tersimpan banyak sekali manuskrip yang ditulis oleh para intelektual Aceh masa keemasannya dulu. Selain itu, di sini juga disimpan dengan sangat baik catatan-catatan dan terbitan resmi kolonial tentang Aceh dalam berbagai bentuk.
Tempat yang sangat penting lainnya adalah Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Di sini tersimpan arsip-arsip resmi sejak masa VOC sampai masa akhir Pemerintah Kolonial Belanda tentang Aceh dalam jumlah yang sangat banyak, baik tulisan tangan yang dibuat abad ke-17-19 maupun ketika mulai abad ke-20.
Sebenarnya arsip yang tersimpan di Den Haag ini terdapat juga di Arsip Nasional Jakarta, tetapi karena pengelolaan dan pelayanannya yang masih belum begitu baik, banyak peneliti lebih memilih meneliti ke Arsip Nasional Den Haag. Di sini juga disimpan beberapa MvO (Memorie van Overgave) atau memori serah terima jabatan dari seorang pejabat yang pernah memerintah di salah satu wilayah di Aceh, mulai dari gubernur hingga ke tingkat controleur (kecamatan).
Lembaga lain yang juga menyimpan koleksi tertulis tentang Aceh, terutama laporan resmi pemerintah kolonial adalah KIT (Het Koninklijk Instituut voor de Tropen) Amsterdam.
Beberapa waktu lalu, ada wacana untuk memulangkan semua sumber sejarah Aceh di Belanda. Sebenarnya ide tersebut sangat logis karena dengan tersimpannya sumber-sumber tersebut di Aceh, masyarakat dengan mudah mengaksesnya. Yang tak kalah penting, sumber itu kembali menjadi milik kita.
Namun muncul pertanyaan lain, mampukah kita menjaga sumber-sumber tersebut seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di Belanda?
Merujuk pada pengalaman yang ada, seperti lembaga arsip daerah, perpustakaan, dan yang paling memilukan nasib PDIA (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), sepertinya kita belum mampu menjaga sumber-sumber sejarah Aceh. Ini karena sumber-sumber tersebut membutuhkan perawatan maksimal, baik aspek tempat, suhu, maupun keamanannya, yang sudah pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Kalau sumber-sumber tersebut tidak dijaga dengan baik, umurnya tidak akan panjang. Ia akan hancur ataupun hilang. Akibatnya, jejak sejarah kita juga akan hilang. Hilangnya jejak sejarah berakibat hilangnya masa lalu rakyat Aceh. Oleh karena itu, biarkan sumber-sumber itu tersimpan dengan baik di Belanda. Kalaupun ingin kita pulangkan, hanya dalam bentuk kopian atau duplikat saja.[] sumber: Majalah The Atjeh
* Penulis adalah Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah, Alumnus Universitas Leiden Belanda.
Editor: Boy Nashruddin Agus