DIUNDANG menghadiri Parnu Film Festival di Estonia merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya mengingat festival film dokumenter ini cukup popular di tanah Eropa. Untuk tahun ini, Parnu Film Festival mengusung tema Diskriminasi dan Hak Asasi Manusia. Tidak heran jika lebih dari 74 film dokumenter yang dipertunjukkan pada festival ini umumnya bertema demokrasi. Dua di antara film itu berasal dari Indonesia, Jalanan (Streetside) dan Jakarta Disorder. Sayangnya, tidak satupun dari kedua film itu karya anak negeri. Keduanya karya sutradara asing yang mengangkat tema tentang Indonesia.
Laporan tentang festival dilm dokumenter ini akan saya tulis dalam cerita terpisah di media ini. Kali ini saya ingin menulis tantangan berpuasa di Estonia karena saat festival berlangsung, umat muslim sedang menjalankan ibadah. Sebagai umat muslim, saya tetap menjalankan ibadah itu meski sedang berada di negeri orang.
Namun menjalankan ibadah Ramadan di Estonia di musim panas bukanlah hal mudah. Pasalnya, waktu siang jauh lebih lama dibanding waktu malam. Pada pukul 22.00, suasana di Estonia masih terang benderang. Setengah jam kemudian barulah matahari mulai tenggelam. Lima jam kemudian, matahari perlahan mulai menampakkan diri lagi. Tak heran jika jadwal berpuasa di Estonia lebih lama di banding negara-negara Asia. Jika di Indonesia durasi puasa sekitar 13 jam, di Estonia mencapai 19 – 20 jam.
Umat muslim merupakan warga minoritas di negeri bekas Uni Sovyet ini. Dari 1,3 juta populasi penduduk Estonia, hanya sekitar 1.400 orang atau 0,2 persen beragama Islam ( sensus 2013). Agama terbesar di negeri ini adalah Nasrani. Tapi jumlah itu masih tergolong lebih kecil di banding mereka yang tidak beragama (ateis). Menurut data Dentsu Communication Institute Inc, hampir 75,7 persen penduduk Estonia ateis. Bahkan Wikipedia menyebut Estonia sebagai negara kedua terbesar di dunia yang rasio penduduknya ateis. Rangking pertama masih dipegang Tiongkok sebesar 93 persen.
Tidak heran jika ratusan gereja yang ada di negeri kawasan Baltik ini lebih banyak kosong ketimbang didatangi jemaahnya. Ratusan gereja malah sudah beralih menjadi kantor atau sekolah. Sedangkan gereja lainnya lebih banyak diperuntukkan sebagai lokasi tujuan wisata, sebab gereja-gereja itu memiliki artistis yang menarik dan punya nilai sejarah yang tinggi layaknya bangunan eropa tua lainnya.
Masjid di Estonia hanya ada dua unit. Keduanya berada di Tallin, Ibu Kota Estonia. Masjid ini dibangun oleh komunitas Islam yang berasal dari Rusia. Mereka adalah sekelompok muslim pendatang yang berimigrasi ke Estonia ketika negeri itu masih bagian dari Uni Soviet di Estonia, antara tahun 1940 dan 1991.
Meski minoritas, muslim di kawasan ini secara umum tetap cinta damai, homogen, dan terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Estonia. Masyarakat asli Estonia sangat bersikap toleran terhadap kaum pendatang. Tak hanya itu, Islam juga diakui sebagai agama resmi konstitusi negara itu sejak 1928.
Namun sejak peristiwa menara kembar 11 September 2002, Pemerintah Estonia mulai berhati-hati dengan perkembangan Islam di negeri itu. Meski tidak ada larangan formal, namun upaya komunitas membangun masjid, tetap mendapat hambatan.
Parnu adalah salah satu kota budaya yang paling terkenal di Estonia. Kota ini berada di pinggiran pantai, berbatasan langsung dengan negeri tetangga Latvia. Parnu adalah tempat wisata sangat indah yang banyak didatangi turis mancanegara. Kota sarat dengan bangunan tua bersejarah dengan arsitektur yang klasik. Setiap tahun di musim panas, kota ini menjadi tuan rumah pelaksanaan Parnu Film Festival, sebuah ajang pertunjukan khusus film dokumenter tingkat dunia.
Saat festival berlangsung, kota berpenduduk 50 ribu jiwa ini didatangi banyak turis mancanegara. Tahun ini kegiatan Parnu Film Festival berlangsung pada 14 – 27 Juli 2014. Ada banyak film dokumenter berkelas dunia dipertunjukkan pada festival ini. Laporannya akan saya suguhkan secara terpisah kepada pembaca.
Saya ingin berbagi pengalaman tentang betapa beratnya tantangan berpuasa di kota ini, apalagi aura Islam sama sekali tidak terasa. Tidak ada masjid di Parnu. Untuk mengetahui jadwal Ramadan, saya terpaksa browsing internet, menelusuri informasi dari berbagai sumber.
Akhirnya jadwal berpuasa di Estonia saya dapatkan dari Muslim World League, sebuah organisasi Islam yang berpusat di Mekkah. Belakangan saya ketahui, ternyata ulama Estonia mencoba menselaraskan jadwal Ramadan di negeri itu dengan jadwal Mekkah. Jadwal shalat magrib dan berbuka puasa di Parnu pukul 22.30, sedangkan imsyak pukul 2.33. Sayapun harus menjalani puasa selama 19 jam di kota ini.
Jadwal Ramadan di Estonia tidak jauh berbeda dengan jadwal Ramadan di negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Swedia atau Denmark. Menariknya, komunitas Islam di negara Skandinavia itu masih cukup kuat, sehingga suasana Ramadan lebih semarak. Sedangkan di Estonia, komunitas Islam nyaris tidak dikenal, karena memang mayoritas rakyat di negara yang terpisah dari Uni Sovyet pada 1991 ini, tidak peduli dengan agama. ***
*Penulis sedang berada di Kota Parnu, Estonia, menghadiri Parnu Film Festival 2014.
Editor: Ihan Nurdin