Kasus kematian ikan (terutama ikan kerling) yang terjadi sejak beberapa hari terakhir di aliran Krueng Peuto di Aceh Utara, Krueng Meriam di Tangse, dan Krueng Teunom di Aceh Jaya disikapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh dengan menurunkan tim yang akan meneliti penyebabnya. Namun, khusus untuk Krueng Teunom, Kepala DKP Aceh mengaku belum dapat laporan meski warga di sana semakin resah.
Seperti diberitakan, masyarakat di aliran Krueng Peuto dan Krueng Meriam sejak beberapa hari terakhir dikagetkan dengan banyaknya ikan kerling mati mendadak sehingga muncul beragam spekulasi, seperti tercemarnya aliran sungai dengan limbah beracun, misalnya dari pabrik pengolahan sawit.
Ketika masyarakat Aceh Utara maupun Pidie (Tangse) masih bertanya-tanya, tiba-tiba masuk laporan terbaru yang melaporkan kasus serupa di aliran Krueng Teunom, Aceh Jaya. Di kawasan ini malah lebih parah, karena ada sejumlah warga bertumbangan setelah mengonsumsi ikan kerling yang dikumpulkan dari aliran sungai.
“Dari tiga lokasi (sungai) itu, yang sudah ada laporan hanya dari Krueng Peuto dan Krueng Meriam, Tangse, sedangkan dari Krueng Sabee, Aceh Jaya, belum ada laporan,” kata Kadis Perikanan dan Kelautan Aceh, Raihanah kepada Serambi, Jumat (1/8).
Raihanah mengetakan, timnya sudah tiba di lokasi Krueng Meriam, Tangse, tempat matinya ikan kerling (ikan jurong) secara mendadak. Tim memang menemukan ada ikan mati tapi jumlahnya tidak begitu banyak.
Untuk kasus kematian ikan kerling secara mendadak di Krueng Meriam, menurut Raihanah, timnya sudah mengambil sampel ikan serta air sungai untuk dikirim ke Laboratorium Bapedal Aceh atau Lab Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, Senin (4/8). Langkah serupa juga dilakukan untuk kasus kematian ikan di Krueng Peuto, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara.
Faktor penyebab kematian ikan, menurut Raihanah, untuk sementara diduga karena naiknya suhu termasuk suhu dalam sungai. Kenaikan suhu dalam sungai bisa membuat berbagai bakteri tumbuh berkembang dengan pesat.
Air sungai pada musim kemarau juga menyusut membuat ruang gerak ikan terbatas. “Ikan tidak nyaman bergerak, stres, dan mati,” kata Raihanah. Penyebab lain, katanya, bisa karena pencemaran. Namun untuk membuktikan tercemar oleh bahan kimia apa, perlu uji laboratorium.
Juga ada faktor penyebab lain yaitu kebisaan kurang baik masyarakat di daerah aliran sungai menangkap ikan dengan cara menyetrum. Ini bisa menyebabkan ikan infeksi dan pendarahan dan akhirnya mati. “Kalau nanti berdasarkan hasil pemeriksaan di lab ikannya mati karena bakteri, maka kita bisa menyemprotkan antibakteri ke dalam sungai,” demikian Raihanah.
Warga Kecamatan Tangse, Pidie, meminta Pemkab Pidie mengusut penyebab matinya ikan kerling secara mendadak selama satu pekan terakhir di sepanjang Krueng Meriam hingga Krueng Cot Kuala, Geumpang.
Seorang warga Tangse, Mukhlis (38) kepada Serambi, Jumat (1/8) mengatakan, banyak warga menduga aliran Krueng Meriam hingga Krueng Cot Kuala sudah tercemar limbah beracun atau bahan kimia (merkuri) dari penambang emas. Akibatnya, tidak kurang empat ton ikan kerling mati dan mengapung di sepanjang aliran sungai.
“Harus diusut apa penyebabnya. Kalau memang terbukti akibat pencemaran limbah beracun, maka pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum,” kata Mukhlis.
Wakil Bupati Pidie, M Iriawan SE secara terpisah mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan menurunkan tim terpadu, seperti dari Badan Pengkajian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) serta Disperindagkop UKM.
“Jika tim ini tidak mampu, kami akan koordinasikan dengan pihak provinsi,” kata Iriawan.[] sumber: serambi indonesia
Editor: Boy Nashruddin Agus