PENGANTAR: Masykur belum dewasa. Ia masih anak di bawah umur. Akan tetapi, ia memiliki semangat dan usaha nyata yang langka. Ketika pemerintah terlena dalam hiruk-pikuk “piasan donya”, Masykur bersusah payah menyelamatkan naskah kuno/manuskrip Aceh.
Siswa kelas tiga MAN Beureunuen, Mutiara, Pidie, ini berhasil mengumpulkan 170 naskah kuno dalam masa empat bulan, sejak awal Juni hingga Oktober 2014. Lantaran menjadi kolektor manuskrip Aceh teramat bernilai itu, cita-cita Masykur pun berpaling.
“Dulu cita-cita saya dokter, sekarang beralih ingin jadi filologi naskah,” ujar remaja 17 tahun ini kepada ATJEHPOST.co di rumah orang tuanya, Gampong Blang Glong, Bandar Baru, Pidie Jaya, Rabu, 8 Oktober 2014, malam.
Berikut sebagian kisah Masykur berburu dokumen warisan sejarah itu!
***
SUATU hari penghujung Juni 2014 sebelum bulan puasa lalu, Masykur pergi ke rumah temannya di Pangwa, Trienggadeng, Pidie Jaya. Ia ingin mencari naskah kuno di gampong itu. Rumah teman Masykur berkonstruksi batu bata. Samping rumah itu ada rumah panggung yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Mulut pintu rumah panggung tiu terbuka lebar lantaran tak ada lagi daun pintu.
Merasa penasaran, ia coba masuk ke rumah itu. “Phon meurumpok peng Victoria, peng jameun Belanda, peng Inggreh sineuk (awalnya menemukan uang Victoria, uang masa Belanda, uang Inggris satu),” ujar Masykur.
Ia kemudian menemukan sebuah kitab kuno di atas sandeng dalam rumah tak berpenghuni itu. Kitab “Mir’at al-Thullab” karangan Syeikh Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala. Naskah kuno itu dengan jenis kertas Eropa 1818, kondisinya rusak dan hangus tinta.
“Kitab ini berisi tentang cara-cara melaksanakan hukum Islam di Aceh secara kaffah pada masa Sultanah (Ratu) Safiatuddin,” kata Masykur diamini abang kandungnya, Afrizal, alumni Dayah MUDI Mesra Samalanga, Bireuen.
Selain kitab tersebut, Masykur menemukan pula naskah lainnya termasuk hikayat-hikayat di atas sandeng rumah itu.
***
SUATU hari di bulan puasa pada Juli lalu, Masykur bertamu ke rumah temannya di Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, Pidie. Ia ingin mengecek informasi dari temannya bahwa di gampong itu ada sebuah naskah kuno. Informasi tersebut rupanya benar. “Ada sebuah naskah, tapi umurnya baru 40 tahun. Meski baru 40 tahun, saya tetap tertarik untuk mengoleksi naskah itu,” ujarnya.
Ketika berburu manuskrip ke Ujong Rimba itu, Masykur sudah mengoleksi sekitar 40 naskah kuno. Pulang dari Ujong Rimba, remaja yang hobi keliling kampung itu bergerak ke Gampong Jeurat Manyang, Kecamatan Mutiara. Ia ke Jeurat Manyang bersama temannya dari Ujong Rimba untuk bertamu di rumah seorang gadis. Gadis tersebut tinggal bersama chiek (neneknya) di rumoh Aceh yang sudah amat tua.
“Karna lon kalon bentuk rumoh Aceh nyan tuha that, dan bak rumoh nyan na mangkok-mangkok peninggalan Belanda, lon coba tanyong bak chiek nyan (karena saya lihat konstruksi rumah Aceh itu sudah sangat tua, dan ada mangkuk-mangkuk peninggalan Belanda, saya coba tanya pada nenek itu),” kata Masykur.
“Chiek, na naskah meutuleh jaroe yang geutuleh ngon pureh jok (nenek, ada menyimpan naskah kuno yang ditulis dengan lidi ijuk),” Masykur bertanya. Masykur tak tahu nama nenek itu. Ia memanggil perempuan berusia lebih 70 tahun itu: “chiek/nenek”.
“Hana (tidak),” jawab nenek itu.
“Nyena jeut neubi keu kamoe, han neubi mantong kamoe lake bloe, aleh pat-pat neu kubah, mungken lam umpang, lam putoe (kalau ada boleh diberikan ke kami, tidak diberi secara gratis kami minta beli, mungkin ada disimpan dalam karung atau tempat lainnya),” Masykur membujuk si nenek.
Nenek itu diam membisu. Masykur dan temannya kemudian melanjutkan percakapan dengan gadis cucu nenek itu dan beralih ke topik lain. Tatkala Masykur ingin pamit, tiba-tiba nenek itu memanggil Masykur.
“Aci jak keunoe nyak (coba kemari, nak),” pinta nenek itu.
Masykur mengangguk sambil mengekor dari belakang. “Tau-tau geuba bak geureupoh manok (dibawa ke kandang ayam),” kenang Masykur sambil terkekeh.
Di atas geureupoh manok itu Masykur melihat ada karung bekas yang berlumur kotoran ayam sudah mengering.
“Aci ta buka, mantong na ata geukubah le Abu jih (coba dibuka karung, apa masih ada naskah kuno yang disimpan ayah si gadis tadi),” kata nenek.
Masykur lantas membuka karung tersebut. “Plastik yang jai, lam plastik nyan teubalot quran meutuleh jaroe, hana lengkap le, sekitar tujoh boh surat teuk tinggai (dalam karung itu banyak kantong plastik, salah satu kantong plastik membungkus Alquran bertulis tangan, isinya tidak utuh lagi, sekitar tujuh surah tersisa),” ujarnya.
Masykur memberikan beberapa lembar uang pecahan 100 ribu rupiah kepada nenek itu. Ia kemudian pamit membawa pulang Alquran peninggalan zaman.
***
SUATU hari di bulan September lalu, Masykur jalan-jalan ke Sawang, Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru. Ia ingin mengecek informasi diterima ayahnya, Syafruddin, dari warga gampong itu. “Tiga hari saya bolak balik ke rumah itu, tidak ada orang. Hari keempat akhirnya jumpa,” katanya.
Atas seizin pemilik rumah, Masykur “menggeledah” tong, kotak, dan sejumlah bungkusan buku untuk mencari manuskrip. Hasilnya nihil. Namun, ia belum putus asa. Maskur melihat sebuah balai tua yang sudah dijadikan geureupoh manok di pekarangan rumah itu.
“Saya minta izin lihat dalam geureupoh, mungkin ada sesuatu yang penting. Saya temukan sebuah guci asam, dan seurahe (kaca seperti botol air mineral) peninggalan Belanda. Dan saya temukan lhe krek naskah meutuleh ateuh kertah buram (tiga lembar naskah bertulis tangan di atas kertas fotocopy), tertulis tentang Isra’ Mi’raj Nabi. Lhe krek tok, perkiraan saya umur naskah itu sekitar 30 tahun,” ujarnya.
Pulang dari Sawang, hari yang sama, Masykur menerima telpon dari temannya di Gampong Baroh Njong, Kecamatan Bandar Baru. Teman masa SMP itu meminta Masykur segera ke Baroh Njong untuk melihat sebuah naskah kuno yang baru ditemukan.
“Dulu pernah saya tanya pada dia: peuna kitab meutuleh jaroe inan. Tidak ada katanya. Tau-tahu hari itu dia telpon karena mau kasih naskah kuno, sebuah kitab. Saya tanya di mana ditemukan, katanya dalam tong pade (tong padi),” kenang Masykur.
Kitab tersebut, kata Masykur, berjudul “Durrat al-Fara’id” karangan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. “Isinya membahas tentang warisan harta, ilme peuraid,” katanya. “Nyan hadiah ngon, hana dilake peng (kitab itu hadiah teman untuk saya).
Masykur terus berburu manuskrip ke berbagai pelosok gampong di Pidie dan Pidie Jaya. Ia meyakini masih banyak naskah kuno/manuskrip Aceh yang tersisa di Nanggroe Pedir. Masykur ingin menyelamatkan dokumen penting itu agar tak rusak dan lenyap dalam geureupoh.[]
Baca juga:
Editor: Murdani Abdullah