16 March 2015

Pengapalan terakhir gas Arun | Foto: ATJEHPOSTco/Irman IP
Pengapalan terakhir gas Arun | Foto: ATJEHPOSTco/Irman IP
meukat
Arun, Diboikot dari Era Hasan Tiro Hingga Upacara Kematiannya
Yuswardi A. Suud
15 October 2014 - 19:55 pm
Temuan gas alam Arun telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sama dengan Aljazair sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia.

16 Oktober 1977. Hasan Tiro memimpin rapat kabinet di sebuah kamp di kawasan hutan pedalaman Pidie. Pokok bahasannya adalah bagaimana mengamankan sumberdaya alam Aceh, terutama minyak dan gas bumi. Yang dimaksud tentu saja PT Arun yang dua hari sebelumnya baru saja mengekspor kondensat perdana ke Jepang pada 14 Oktober 1977. 

Rapat itu dideskripsikan Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom; Unfhinished Diary of Tengku Hasan Tiro. Di mata pendiri Gerakan Aceh Merdeka itu, minyak dan gas alam itu telah "dirampok" oleh Indonesia secara tidak sah. "Our land being sold and bought in international market place at such prise, and we the legitimate aowner of this land do not know where our next meal will come from (Tanah kita telah dijual ke pasar international, dan kita pemilik sah negeri ini tidak tahu darimana mendapatkan makanan besok," tulis Hasan Tiro. 

Dalam rapat itu, Hasan Tiro bersandar pada laporan The Japan Economic Journal yang terbit pada 21 Oktober 1975 yang menyebut,"Lapangan gas Arun di Aceh adalah yang terkaya di Asia Tenggara dan termasuk salah satu lapangan gas terbesar di dunia. Jurnal itu juga menyebutkan Mobil Oil (sekarang ExxonMobil) telah bekerjasama dengan Indonesia (Hasan menyebutnya Javanese) untuk mendapatkan 37 persen saham Arun senilai US$450 juta.

Rapat itu kemudian dilanjutkan dengan upaya menyerang fasilitas Arun. Empat hari setelah rapat, pada 20 Oktober 1977, Hasan Tiro menulis, mendapat laporan dari Panglima Pasee bahwa mereka telah sukses merusak dan menghandur pembangkit listrik di sekitar Lhokseumawe dan Arun sehari sebelumnya, merusak sejumlah sepeda motor musuh, juga melepas tembakan, tak tidak ada korban jiwa. 

Serangan itu pun dilanjutkan dengan penyebaran brosur dalam bahasa Inggris yang meminta agar karyawan Mobil Oil dan Bechtel angkat kaki dari Aceh.

Seruan itu juga memuat karyawan Mobil dan Bechtel akan diundang kembali nantinya. “We will welcome all of you to return here again after the Javanese colonialist thieves have left. We genuinely regret to inconvenience you but our advice is for your best interes. We Achehnese ourselves are most inconvenienced of all, for it is our eminent domain that being raided by the Javanese, MOBIL and BECHTEL...”

Di bagian bawah seruan itu tertulis pihak yang mengeluar seruan,”NATIONAL LIBERATION FRONT OF ACHEH SUMATRA, October 1977.”

Sikap Hasan Tiro menentang Arun sebenarnya adalah akumulasi dari sejumlah peristiwa sebelumnya. Sempat memprotes pemerintah Indonesia dari Amerika  terkait sejumlah peristiwa pembantaian pada 1954, Hasan Tiro pernah pulang ke Aceh pada 1974. 

Saat itu, Hasan Tiro bertemu Gubernur Muzakir Walad dan menyampaikan keinginannya agar perusahaanya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas Arun.

Tapi Muzakir Walad tak bisa memenuhi permintaan Hasan Tiro. Alasannya, penentu kebijakan terkait Arun adalah Jakarta yang telah memutuskan memakai Bechtel Inc, dari California, Amerika Serikat.

Bagi Hasan Tiro, penolakan itu adalah bukti bahwa otonomi daerah seperti yang dijanjikan pemerintah pusat untuk Aceh, hanya omong kosong. Ia pun akhirnya mendeklarasikan GAM pada 4 Desember 1976. 

***

Ancaman Hasan Tiro tak membuat Jakarta surut. Pada 19 September 1978, Presiden Soeharto datang ke Lhokseumawe untuk meresmikan kilang gas Arun di Blang Lancang yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Lhokseumawe.

Kedatangan Soeharto berselang 7 tahun sejak cadangan gas alam ditemukan di Desa Aron pada akhir 1971. Pada 16 Maret 1974, PT Arun LNG resmi berdiri setelah mengekspor kondensat pertama ke Jepang pada 14 Oktober 1977.

PT Arun dimiliki bersama oleh tiga  pihak. Pertamina menguasai 55 persen saham, Mobil Oil Indonesia (kini menjadi ExxonMobil Oil) sebesar 30 persen, dan JILCO yang mewakili perusahaan pembeli dari Jepang sebanyak 15 persen.

Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto yang mendampingi Soeharto mengatakan, temuan gas alam Arun telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sama dengan Aljazair sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia saat itu.

“Prestasi ini sangat penting artinya dalam pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan nasional dalam sektor Pertambangan dan Energi yang diharapkan dapat meningkatkan sumber penerimaan negara yang sangat dibutuhkan dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional,” kata Soebroto dalam sambutannya.

Hari itu, Aceh resmi memasuki babak baru: era gas alam.  Cadangan 17,1 triliun kaki kubik diperkirakan cukup untuk masa waktu 20 tahun.

Kontrak penjualan perdana diteken pada 3 Desember 1973.   Pembelinya adalah perusahaan Jepang:  Chubu Electric, Osaka Gas, Kanzai Electric,  Kyushu Electric, dan Nippon Steel untuk masa  20 tahun.

Untuk mengangkut gas ke Jepang, dipakai kapal LNG berkapasitas 125 ribu meter kubik.  Masing-masing kapal mempunya 5 buah tangki berbentuk bola, yang dibuat khusus dan dikontrak oleh Pertamina dari Burma Gas  Transport LTD selama 20 tahun. Untuk mengisi gas ke kapal ini dibutuhkan waktu 12 jam.

Pembangunan instalasi kilang dipercayakan kepada Bechtel, perusahaan kontraktor asal Inggris. Perusahaan ini dipilih karena berpengalaman dalam pembangunan kilang LNG di seluruh dunia.

Total tenaga kerja yang terserap diperkirakan mencapai 8.000 orang, sebagian besar adalah tenaga kerja asing.

Pembangunan mega proyek itu membutuhkan biaya US$ 940 juta. Ini termasuk untuk membangun fasilitas perumahan bagi para karyawan. Sumber dananya dipinjam dari Jepang sejumlah US$ 807,5 juta dan dari Bank Indonesia US$ 124,5 juta.

***

Ketika perusahaan itu mulai beroperasi, Hasan Tiro melanjutkan perlawanannya. Presiden Soeharto menyambut dengan jalan militer: mengerahkan tentara untuk menguber para gerilyawan. Tahun 1979, Hasan Tiro keluar dari Aceh, meneruskan misinya dari luar negeri.

Sementara di Aceh, isu ketidakadilan atas pembagian hasil gas alam terus mencuat. Penyebabnya, gemerincing dolar dari hasil penjualan gas hanya sedikit yang dikembalikan ke Aceh. Kondisi ini berlangsung hampir 30 tahun.

Karena itu, ungkapan seperti “tikus mati di lumbung padi” dan “buya krueng teudong-dong buya tamong meuraseuki” adalah lontaran bahasa yang kerap terdengar dalam perbincangan warga di warung-warung kopi.

Majalah Tempo dalam sebuah laporannya menulis, ”Hasil bumi yang dikeruk dari Aceh sungguh tak sepadan dengan dana dari pusat yang dikembalikan ke bumi Serambi Mekkah. Potensi gas alam Arun saja adalah yang terbesar di dunia. Tapi, menurut data 1997, anggaran pusat untuk Aceh hanyalah Rp 102 miliar atau hanya 0,05 persen dibandingkan dengan kekayaan alamnya.“

Kondisi itu membuat perlawanan kian membuncah.

Keberadaan ladang gas itu pernah dijadikan “propaganda” oleh pejuang GAM untuk mendulang dukungan dari warung kopi ke warung kopi.  “Dari hasil gas nyan mantong, tanyoe tinggai wet-wet gaki, hana payah keurija. Ta eh-eh mantong ka sep peng (Dari hasil gas itu saja kita tinggal ongkang-ongkang kaki, tak perlu kerja. Tidur saja banyak duitnya).”

Ketika Hasan Tiro memutuskan berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 2005, salah satu kesepakatannya adalah Aceh memperoleh bagi hasil migas 70 persen, sisanya untuk Jakarta. Namun, kesepakatan itu pun belum tuntas. Jakarta masih tawar menawar terhadap angka 70 persen yang sebenarnya telah tertuang dengan jelas dalam MoU Helsinki. 

Di sisi lain, ketika perjanjian ditandangani, kilang Arun telah di ambang senja. Zaman keemasannya telah lama berlalu. Puncak keemasan Arun terjadi tahun 1994. Ketika itu, ada 224 kapal gas alam cair yang dikirim ke luar negeri. Setelah itu, produksinya kian merosot.

***

15 Oktober 2014, tepat 37 tahun setelah Hasan Tiro menggelar rapat menyerang Arun, perusahaan itu menggelar 'upacara kematian' menandai tetesan gas terakhir yang dikirim ke Korea Selatan. 

Di luar pelabuhan tempat upacara, warga Blang Lancang yang terkena relokasi ketika Arun dibuka, melancarkan aksi protes dengan menggelar demonstrasi. Ternyata, hingga Arun tamat riwayatnya, mereka belum mendapatkan ganti rugi. 

Selain itu, upacara kematian itu juga kehilangan legitimasi dari pemerintah daerah. Gubernur Aceh Zaini Abdullah, pengikut Hasan Tiro, memilih menemui perpisahan dengan Presiden SBY di Jakarta daripada menghadiri upacara kematian Arun. 

Sikap serupa juga datang dari Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya. Suaidi meminta jajarannya tak menghadiri peringatan pengiriman tetesan gas terakhir itu. 

Pernyataan boikot itu dimuat di situs resmi Pemko Lhokseumawe pada 15 Oktober 2014 dengan judul “PEMERINTAH KOTA LHOKSEUMAWE MEMBOIKOT PENGAPALAN TERAKHIR PT.ARUN LNG”. 

Seruan boikot itu lengkapnya berbunyi,"Pemerintah Kota Lhokseumawe memboikot pengapalan terakhir PT. Arun LNG ke Korea Selatan pada hari Rabu 15 Oktober 2014 di pelabuhan khusus Blang Lancang, Lhokseumawe. 

Dalam hal ini Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya mengajak seluruh jajarannya supaya tidak bersedia menghadiri pada pengapalan terakhir dikarenakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan Pertamina tidak melibatkan Pemerintah Aceh serta Kota Lhokseumawe dalam rencana pengembangan Kilang Arun ke depan."

Begitulah. Sejak berdiri hingga upacara kematian memperingati tetes gas terakhir, Arun diboikot. 

Masihkah kita berharap eksploitasi sumberdaya alam akan mensejahterakan masyarakat kita? Arun telah memberi kita pelajaran berharga. Teramat berharga!.[]

Baca juga:
Galeri Foto: Arun, dari Diresmikan Soeharto hingga Tetes Gas Terakhir

Editor: Yuswardi A. Suud

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

PDPA Mau 'Dibunuh', Bosnya Loncat ke…

4 Maret, Gas Arun Masuk PLTGU…

[Foto]: Ketua Fraksi Partai Aceh Kunjungi…

DPR Aceh: Eksekutif Rayeuk 'Ap, Ban…

Ini Solusi DPR Terkait Saham Aceh…

HEADLINE

Komite Aceh dan Malaysia Gelar Rapat Perdana Investasi

AUTHOR