HARI ini, Sabtu, 15 November 2014, Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini, Hajjah Kelimah, diambil sumpah sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya. Ini adalah pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada 2002, kabupaten di pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level eksekutif dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.[]
Pengumpulan bahan oleh Aji Nagan
Baca juga:
Harga Giok Nagan Raya Capai Ratusan Juta
Kisah Panjang Pencari Giok di Nagan Raya
Berbisnis Giok, Pria Aceh Ini Mampu Beli Mobil dan Bangun Rumah
Maya Masyithah, Si Cantik Duta Wisata Langsa yang Suka Petualangan
Jadi Syahrini KW, Hiara Cleopatra Nyaris Bunuh Diri
Reny, Dara Cantik Gayo yang Berprestasi
Cerita Polwan Aceh Tularkan Virus Hijab di Tanah Jawa
Amazing Baiturrahman; Kisah Awal Mula Masjid Raya Banda Aceh