PERNYATAAN adik kandung Gubernur Zaini Abdullah, Muhammad Abdullah, yang membantah mengintervensi manajemen Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) terpatahkan lewat sepucuk surat yang dikeluarkan Gubernur Zaini Abdullah.
Dalam surat tertanggal 29 Agustus 2014 itu, Gubernur Zaini Abdullah menugaskan Muhammad Abdullah dan empat orang lainnya untuk mencari dan menyeleksi mitra kerja untuk bekerjasama dengan PDPA dalam proyek terminal gas dan regasifikasi Arun yang dikerjakan bersama anak perusahaan Pertamina, PT Pertagas.
Muhammad dan kawan-kawan juga diberi tugas untuk "melakukan perundingan dan negosiasi tentang kepemilikan saham BUMD dalam proyek pipanisasi Arun - Belawan."
Selain Muhammad Abdullah, yang terlibat dalam tim ini adalah Azhari Asisten Ekonomi Sekda Aceh, Ramli Djafar, Nurdin Husin, dan T.Umar Laksamana. Sementara jajaran direksi PDPA tidak terlibat di dalamnya.Badan Investasi dan Promosi Aceh juga tidak dilibatkan.
Surat itu dikeluarkan setelah Gubernur Zaini menolak sumbangan saham 49 untuk PDPA di PT Aceh Terminal Gas dari PT Artanusa Trada (Ibrahim Risjad Grup). Terbetik kabar sikap gubernur itu dilakukan setelah mendapat masukan dari sang adik. Padahal, PDPA tidak berkewajiban menyetor saham ke PT Aceh Terminal Gas selaku perusahaan joint venture.
Celakanya, keputusan menganulir kesepakatan meminta porsi 51 persen saham untuk PDPA diambil setelah PT Aceh Terminal Gas teken kontrak kerjasama dengan PT Pertagas pada 20 November 2013.
Sepekan setelah surat itu dikeluarkan, pada 5 September 2014, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar mengeluarkan tiga lembar surat yang meminta agar Gubernur Zaini menerima saja sumbangan 49 persen saham untuk PDPA di PT Aceh Terminal Gas.
"Permintaan saham PDPA lebih dari 49 persen tidaklah adil dan tidak mungkin dilaksanakan oleh investor dalam urusan-urusan pendanaan dan sebagainya. PDPA akan mendapat keuntungan saham 49 persen tanpa adanya resiko apapun bagi PDPA," kata Malik Mahmud dalam memo yang ikut ditandatangani oleh Muzakir Manaf (Wakil Gubernur Aceh yang juga Ketua Komite Peralihan Aceh), dan Zakaria Saman (tokoh Aceh).
Namun, memo Wali Nanggroe itu tidak diindahkan. Walhasil, hingga kini PDPA belum mendapat sepersen pun dari proyek egasifikasi Arun.
Sementara di lapangan, Pertamina jalan terus tanpa keterlibatan PDPA lantaran belum ada kesepakatan dengan investor soal komposisi saham tadi.
Padahal, dalam memo itu Wali Nanggroe juga mengingatkan Pertamina bisa saja jalan sendiri tanpa melibatkan perusahaan daerah.
"Kami juga mendapat keterangan bahwa aset kilang Arun adalah milik Negara, maka apabila kesepakatan yang sudah ada dibatalkan oleh PDPA atas perintah Gubernur, maka Pertamina akan investasi sendiri tanpa mengikutsertakan PDPA lagi," tulis Wali Nanggroe dalam memonya.
"Upaya kita untuk tetap melibatkan peran Pemerintah Aceh akan sangat berarti untuk masa depan Pemerintah dan Rakyat Aceh," tambah Wali Nanggroe.
Kemarin, Muhammad Abdullah kepada ATJEHPOST.CO membantah mengintervensi PDPA. Namun ketika ditanya soal permintaan komposisi saham 51 persen untuk PDPA di PT Aceh Terminal Gas, Muhamad menjawab,"justru ini belum selesai."
ATJEHPOST.Co juga memperoleh dokumen kehadiran Muhammad Abdullah dalam sejumlah rapat PDPA.
Tindakan Muhammad menolak saham 49 persen dalam PT Aceh Terminal Gas memunculkan dugaan adanya kepentingan lain di dalamnya. Terlebih, Gubernur Zaini kemudian memberi kewenangan kepada sang adik untuk mencari investor lain. Artinya, sang adik lah yang menentukan siapa saja yang dapat bekerjasama dengan PDPA, perusahaan milik yang dibiayai ABPA itu.[]
Editor: Yuswardi A. Suud