JIKA merujuk kepada perjanjian hibah tiga turbin gas Arun, Pemerintah Pusat melalui Departemen Keuangan telah setuju menghibahkan tiga turbin gas eks Pertamina di Kilang Arun untuk dipakai oleh Pemerintah Aceh sebagai pembangkit listrik.
Namun, lantaran tak pernah difungsikan sejak dihibahkan, turbin gas itu harus dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. Ini sesuai perjanjian hibah yang menyebutkan jika tidak dipakai dalam empat tahun maka aset itu diambil alih kembali oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Keuangan.
Keputusan menghibahkan turbin Arun itu lahir berkat proses panjang dan berliku sejak September 2006. Ketika itu Aceh krisis listrik.
Maka pada 4 Oktober 2006, DPR Aceh menyurati Menteri Energi Sumberdaya Mineral meminta pemanfaan surplus GTG 3x20 MW di PT Arun NGL Lhokseumawe. Permintaan itu tertuang dalam surat No 671/24049.
Surat itu disusul dengan surat Sekda atas nama Gubernur Aceh yang ditujukan kepada Wakil Presiden RI. Isinya tetap sama: meminta agar turbin Arun dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
Setelah beberapa kali bolak balik surat menyurat dan menggelar sejumlah pertemuan selama tiga tahun, akhirnya dalm rapat antara Pemerintah Aceh dengan Deputi Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden RI yang dihadiri Gubernur Aceh pada 12 November 2009, didapat informasi Presiden RI telah setuju agar Gas Turbin Genterator 3x22 MW eks kilang LPG Arun berserta tanah seluas 6,64 hektare dihibahkan kepada Pemerintah Aceh. Surat hibah diteken pada 7 Juli 2009.
Tiga turbin pembangkit listrik ini jika dimanfaatkan bisa memenuhi menghasilkan daya listrik 40 MW. Ini setara dengan 40 kebutuhan listrik Aceh yang totalnya 100 MW.
Dalam perkembangannya, pengelolaan turbin gas ini diserahkan kepada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). Perusahaan milik Pemerintah Aceh ini kemudian menggandeng investor dan membentuk perusahaan baru bernama PT Trang Bumi Nanggroe Aceh. Landasan pembentukan perusahaan ini adalah surat Gubernur Aceh tanggal 16 Agustus 2007 tentang pembentukan PT Trang Bumi Nanggroe Aceh.
Investor yang masuk adalah PT Erabumi ArtaNusantara (Erbanusa) yang merupakan bagian dari Ibrahim Risjad Grup.
Masalah muncul setelah pemerintahan berganti. Sejak dilantik pada 25 Juni 2012, Gubernur Zaini Abdullah sudah dua kali kali mengganti Direktur PDPA.
Soal komposisi saham juga menjadi masalah. Pemerintah Aceh melalui PDPA meminta saham 51 persen di PT Trang Bumi Nanggroe Aceh tanpa menyetor dana alias saham kosong. Hal inilah yang membuat investor tak lagi bersemangat. Lazimnya sebuah usaha, pemegang saham mayoritas adalah pemilik dana yang menanggung semua resiko usaha. Permintaan saham 51 persen itu tertuang dalam surat PDPA tanggal 5 Agustus 2013.
Padahal, pada 30 Juni 2013, Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf membuat surat rekomendasi yang menyetujui saham mayoritas 51 persen untuk Erbanusa, dan 49 persen untuk PDPA. Disebutkan, salah satu alasannya supaya ada solusi yang adil bagi kedua pihak. Apalagi, pihak investor bersedia mengubah komposisi saham setelah kembali modal yang diperkirakan setelah 15 tahun.
Namun, rekomendasi itu tak disetujui Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Dalam beberapa pertemuan dengan investor, Gubernur Zaini Abdullah mewakilkan kepada adiknya Muhammad Abdullah yang diangkat sebagai Tim ESDM Aceh untuk berunding dengan investor.
Soal keterlibatan Muhammad Abdullah ini juga disinggung dalam surat Direktur PDPA tanggal 5 Agustus 2013.
"Setelah melaksanakan beberapa kali pertemuan (meeting) antara manajemen PT Artanusa Trada dan PT Erabumi Artanusantara dengan pihak kami dan dibantu oleh anggota tim ESDM yang ditunjuk oleh Bapak Gubernur...," begitu antara lain bunyi surat bernomor 063/PDPA/VIII/2013 yang ditujukan kepada Direktur Utama Artanusa Trada yang satu grup dengan Erabumi Artanusantara.
Pada 21 Maret 2014, Gubernur Aceh melalui PDPA kembali bersikukuh agar mendapat saham 51 persen.
Walhasil, hingga turbin itu diambil alih kembali oleh Pemerintah Pusat, tarik menarik kepentingan itu berujung buntu. Aceh pun kehilangan kesempatan untuk mendapat 40 persen pasokan listrik tambahan dari turbin Arun.[]
Editor: Yuswardi A. Suud