GUBERNUR Aceh Zaini Abdullah menerbitkan pernyataan menarik untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. “Saya dengar, masih ada cekcok di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) soal pimpinan dan alat kelengkapannya,” katanya kepada Harian Serambi Indonesia terbitan Selasa 9 Desember 2014.
Zaini yang adalah anggota Tuha Peut Partai Aceh ini kemudian menambahkan bahwa ia berharap DPRA secepatnya menetapkan pimpinan definitif dan alat kelengkapan DPR Aceh.
***
“Interupsi,” Ridwan Abubakar alias Nek Tu berteriak dari meja paling belakang ruang sidang paripurna gedung DPR Aceh yang terletak di Jalan Daud Beureu-eh, Banda Aceh.
Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini adalah politisi Partai Aceh ini memotong kalimat Teungku Muharuddin. Ketua Sementara DPRA ini pada Senin 8 Desember 2014, sedang membacakan putusan sidang mengenai unsur pimpinan dan alat kelengkapan dewan itu pun memberi kesempatan Nek Tu bicara.
Nek Tu menyatakan keberatan pada keputusan pimpinan Partai Aceh yang menunjuk Muharuddin sebagai Ketua DPR Aceh. “Saya didukung Abu Doto (Gubernur Aceh Zaini Abdullah),” kata Nek Tu. Selain itu dia juga menyatakan mendapat sokongan dari Wali Nanggroe (Malik Mahmud Al Haytar).
Benar, Nek Tu memang mendapat sokongan penuh dari Gubernur Zaini. Latar belakang dukungan ini, menurut seorang sumber dari lingkaran kekuasaan di Aceh, berawal dari kekhawatiran Zaini yang merasa kalah pamor dibandingkan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem.
“Ditambah lagi ada seseorang yang selalu memanas-manasi gubernur. Dia merancang strategi politik untuk menumbangkan pamor Mualem. Ia juga yang rajin memuji-muji Abu Doto dan dibilangnya masih harus terus berkuasa untuk menyelamatkan Aceh. Dia menjamin media massa di Aceh akan mendukung gubernur,” katanya. “Nyan yang jipelaku politek peng grik (itu yang dikerjakan politik uang receh).”
Itulah sebabnya, kata sumber itu, sebelum insiden di DPR Aceh itu terjadi, Gubernur Zaini sudah melakukan sejumlah upaya untuk memangkas kegiatan Mualem di Pemerintah Aceh. Termasuk tidak memberinya tugas apapun, bahkan memecat orang yang dituduh dekat dengan Mualem. Misalnya, Syukri Ibrahim yang dilantik Mualem menjadi Direktur Utama Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh pada Oktober 2012, lima bulan berselang Zaini memecatnya tanpa alasan.
Bukan itu saja, dia mengatakan, ketika gubernur ke luar daerah maka nota dinas pengganti gubernur dialihkan ke sekretaris daerah. Zaini tak menghiraukan walau itu melanggar Undang-undang Pemerintah Aceh. Soal pemecatan Syukri pun sudah menuai gugatan, dan Pengadilan Tata Usaha Negara menghukum Zaini agar mengembalikan jabatan itu dan memperbaiki nama baik Syukri.
Sedangkan simpati untuk Mualem bukannya berkurang, malah meningkat. Buktinya, ketika Pemilu Legislatif pada April 2014, Mualem mampu menarik simpati rakyat Aceh. Ia selain mengantarkan kemenangan untuk Partai Aceh, juga mampu mendongkrak Partai Gerindra –Mualem juga adalah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Aceh-- sebagai partai nasional yang mendulang suara terbanyak di Aceh.
Padahal, pada pemilu sebelumnya partai besutan mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini tak ada yang melirik di Aceh. Bahkan, Gubernur Zaini secara terang-terangan menentang Partai Gerindra, namun partai berlambang garuda ini tetap berkibar di Aceh.
Langkah berikut, adalah mencari-cari kesalahan Mualem. Misalnya, pada Juli lalu, pernah diungkap ke publik sebuah persoalan dengan sasaran Mualem. Tetapi apa yang terjadi? “Malah yang terkena kalangan pejabat dari aparat keamanan, lalu mereka pontang-panting menutupinya,” kata seorang pejabat.
Digoyang dari berbagai sisi, Mualem bukannya melemah. Di mata kader dan pengurus Partai Aceh dan juga KPA, ia menjelma menjadi simbol pemimpin yang kuat. Rakyat Aceh makin simpati padanya.
Wujudnya pada pemilihan presiden, ketika Mualem mendukung Prabowo seluruh elit PA dan KPA menjadi tim sukses Prabowo di Aceh. Sebaliknya, Zaini yang tanpa dukungan PA/KPA justru menjadi tim sukses Jokowi. Padahal, Prabowo adalah orang yang paling berperan dalam mendukung Zaini dan Mualem dalam Pilkada 2012. Dukungan Mualem dan Partai Aceh adalah bentuk balas budi kepada Prabowo dan Gerindranya. Ia menunaikannya dengan membuat Prabowo meraih kemenangan di Aceh.
Usai pemilu legislatif, tim operasi mengusik Mualem dari meuligo (pendopo gubernur) kembali bekerja. Sumber ATJEHPOSTco itu bercerita, beberapa pembisik mempengaruhi Zaini agar menumbangkan Mualem dari tampuk pimpinan Partai Aceh. Seorang pembisik memberi ide agar menggunakan tangan eks kombatan jebolan Tripoli Libya. “Beberapa kali pertemuan berlangsung seru seakan-akan Mualem segera tamat, dalam satu rapat ikut hadir Nek Tu,” katanya.
“Mereka juga mengirim rilis ke media massa dan mendesak agar diselenggarakan musyarah besar PA untuk mengganti pimpinan. Tentu si perancang siaran pers adalah si pembisik itu.” Ia lalu membisikkan sebuah nama yang tak asing lagi.
Hingga suatu hari di bulan Juli 2014, terjadilah pertemuan unsur tokoh-tokoh Partai Aceh dan KPA di Meuligo Gubernur Aceh. Mualem juga ikut hadir di sini. “Ternyata yang terjadi sebaliknya, justru Zaini yang terancam terpental dari jabatan anggota Tuha Peut Partai Aceh,” kata sumber itu.
Gagal di sini, permainan politik beralih ke gedung DPRA. “Operatornya ya masih si pembisik itu juga,” kata sumber itu lagi. Ia meyakinkan Zaini sebagai pemilik kuasa penuh di Aceh yang bisa melakukan apa saja. “Karena itu, ketika pemimpin PA memutuskan Teungku Muharuddin sebagai Ketua Sementara DPR Aceh. Zaini menentang dan menyodorkan nama Nek Tu.” Padahal pemilihan nama Muharuddin sudah melalui proses rapat para pimpinan Partai Aceh.
Itulah sebabnya, Sekretaris Dewan DPR Aceh Hamid Zein sampai kelimpungan dengan dua surat untuk calon Ketua Sementara DPR Aceh. Satu surat diteken Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf dan Sekretaris Jenderal Partai Aceh Mukhlis Basyah, yang menunjuk Muharuddin sebagai calonnya. Satu lagi surat, ditandangani Zaini Abdullah sebagai Tuha Peut Partai Aceh yang menunjuk Nek Tu.
Yang membuat Hamid Zein gemetar, surat yang mengajukan Nek Tu itu diteken juga oleh Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar. Namun Malik Mahmud bijaksana. Seorang anggota dewan bercerita, karena ada dua surat maka Wali Nanggroe bertanya kepada Hamid Zein, “dari dua surat itu, mana yang bisa dijadikan sandaran aturannya?”
Kata anggota dewan itu, Hamid Zein menjelaskan sesuai kaedah maka yang berlaku adalah surat yang ditandatangani Ketua dan Sekjen. “Maka laksanakan sesuai aturan yang berlaku,” kata Malik Mahmud sebagaimana dikutip anggota dewan tadi. Lalu, Wali Nanggroe pun mengukuhkan Muharuddin menjadi Ketua sementara DPRA pada 26 September 2014.
Rupanya, polemik politik kursi ketua dewan belum usai. Operator pembisik meuligo merancang tim agar Nek Tu bisa meraih kursi ketua defenitif di DPR Aceh. Tim inilah yang kemudian berkeliling Aceh menjaring dukungan untuk Nek tu. Namun tetap saja nama Teungku Muharuddin yang muncul menjadi Ketua DPR Aceh dalam rapat pimpinan Partai Aceh awal Desember 2014 lalu.
“Dalam rapat itu, kita semua sepakat Teungku Muharuddin adalah figure yang tepat untuk memimpin di DPRA,” kata Wakil Ketua Umum Partai Aceh, Kamaruddin Abubakar. Pria yang akrab disapa Aburazak ini juga adalah wakil Mualem di KPA.
Beberapa Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Partai Aceh mengakui memang mengusulkan Nek Tu sebagai Ketua DPR Aceh. “Tetapi itu sebatas wacana saat pembahasan calon Ketua DPR Aceh. Namun Mualem mengusulkan Teungku Muhar (Muharuddin), maka kami semua sepakat mentaatinya. Itu tak boleh dilanggar. Kami semuanya tunduk dan menghormati Mualem,” kata Ketua PA Bener Meriah, Teungku Syarbinari.
Jika hendak bertanya pada para panglima wilayah di KPA, maka sudah jelas semuanya patuh pada Mualem. “Bahkan kami siap pasang badan untuk mengamankan keputusan Mualem,” kata Panglima Wilayah Meulaboh, Teungku Jauhari. Pernyataan yang sama disampaikan Adi Danton, Koordinator KPA wilayah Barat-Selatan Aceh.
“Intruksi Mualem itu mutlak harus dijalankan,” kata Adi Danton kepada Taufik Ar Rifai dari ATJEHPOSTco. Bagaimana dengan tokoh-tokoh pergerakan di wilayah pesisir Aceh? “Mereka semua sudah jelas pengikut setia Mualem. Seperti juga kami di seluruh wilayah Aceh.”
Juru Bicara KPA Pusat, Mukhlis Abee juga mengatakan keputusan pimpinan harus dipatuhi dan dijalankan. “Karena ini putusan bersama DPA Partai Aceh. Semua unsur pimpinan hadir saat memutuskan kebijakan calon pimpinan DPR Aceh dari Partai Aceh,” kata Abee yang juga adalah Ketua Partai Aceh wilayah Banda Aceh.
Namun tetap saja Nek Tu tak bisa menerima keputusan pimpina Partai Aceh. Itulah sebabnya ia menginterupsi rapat paripurna DPR Aceh. Di dalam rapat, Nek Tu mengatakan dirinyalah yang paling berhak menjadi ketua sebab didukung sejumlah pengurus wilayah. Muharuddin menyela bahwa itu urusan internal partai jadi jangan dibahas dalam paripurna dewan.
***
Gubraakkkk!
Nek Tu mengguling mejanya. Gelas, microfon, dan botol air mineral yang ada di atas meja itu berhamburan. Ruangan rapat paripurna DPR Aceh senyap.
Nek Tu berdiri serta memprotes alat kelengkapan dewan sambil berjalan menuju meja pimpinan dewan ia membawakan lembaran kertas. Disebutnya itu adalah dukungan dari berbagai pimpinan wilayah Partai Aceh.
Tiba-tiba dari pintu masuk, muncul sejumlah pria berbadan tambun memakai jins dan t-shirt, bahkan ada yang bercelana pendek. Mereka mengelilingi Nek Tu. Di depan meja jajaran pimpinan mereka mencaci maki dan mengeluarkan kata-kata tak senonoh, salah satu di antaranya memamerkan jurus-jurus ilmu silat di depan anggota dewan yang sedang bersidang.
"Sidang ditunda, jih hana berhak jeut keu ketua, kamoe nyang meuprang jih nyang mat kuasa. Pokok jih mandum anggota dewan teubit dari ruangan," teriak salah satu pria itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah meja pimpinan dewan.
Muharuddin menghadapi insiden ini dengan tenag. Bahkan ketika seseorang diantara pemuda tegap itu memukulnya dengan papan nama, ia tak mengelak.
Melihat itu, Ketua Golkar Aceh Sulaiman Abda (Bang Leman) cepat bertindak melindungi Muharuddin. “Plak,” lengan Bang Leman menangkis satu serangan. Tangannya memar.
Situasi sidang yang semakin tidak kondusif, belasan anggota dewan datang melerai Nek Tu. Sejumlah aparat keamanan pun memasuki ruangan sidang dan menarik pria-pria yang berbadan tegap itu ke luar ruang sidang. Akhirnya sidang paripurna ditunda.
Esoknya, Selasa pagi, 9 Desember 2014, sidang paripurna kembali digelar. Aparat keamanan sedari dini hari sudah berjaga-jaga. Seluruh pengunjung diperiksa, namun tak ada yang dibenarkan masuk. Hanya wartawan yang boleh masuk.
Di dalam ruang sidang, Ketua sementara DPR Aceh Muharuddin kembali membacakan hasil keputusan paripurna. Saat itulah kembali ada interupsi dari Nek Tu.
"Lon hana setuju sebab droen kaneulinteung amanah wali nanggroe, Paduka Malek Mahmud Al-Haytar ateuh nan tuha peut, Zaini Abdullah, Zakaria Saman. Rapat ditunda sebab droen ngon Muzakir Manaf ka neulinteueng amanah wali," teriak Nek Tu sambil maju ke meja dewan dan melemparkan botol minuman mineral ke pimpinan. Aparat keamanan sigap mengamankan sidang.
"Kita mendengar saran Nek Tu, namun saya ingin sampaikan apakah setuju sidang ini kembali dilanjutkan?," ujar Muhar. “Setuju…” teriak para anggota dewan. Tiba-tiba ada interupsi dari seorang anggota dewan, Dr. Mariati. “Begini saja, siapa yang setuju sidang dituntaskan hari ini tunjuk tangan.” Semua anggota tewan serempak mengikuti saran Mariati.
Sidang berlanjut. Paripurna DPR Aceh menetapkan pimpinan DPR Aceh 2014-2019. Mereka adalah Tengku Muharuddin sebagai ketua definitif, para wakil DPRA adalah Drs H. Sulaiman Abda, M. SI dari Golkar, Teuku Irwan Djohan ST dari Nasdem, Dalimi SE AK dari Demokrat, dan Ir Mawardi Ali dari PAN.
Adapun Nek Tu menuai kritikan. Kalangan mahasiswa menyatakan kekecewaannya. “Seharusnya menerima keputusan pimpinan Partai Aceh, karena yang menentukan itu semua tergantung keputusan Partai Aceh. Tentu partai sudah bermusyawarah untuk memastikan kadernya menduduki posisi yang sesuai dengan kemampuan kader,” kata Furqan Zikrian, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar himpunan Mahsiswa Bireuen.
Kritikan juga datang dari politisi PA dan KPA. “Nyankeuh nyan. Lon baroe lon baca bak Koran. Di lon hana lam urusannya. Lon peurabe leumo keudroe. Malee teuh ngon masyarakat (Itulah. saya baru baca di koran. Saya tidak masuk dalam urusan tersebut. Saya mengembala sapi. Malu kita),” ujar Panglima KPA Pidie, Teungku Muhammad.
“Awaknyan kon dewan terhormat. Seharus jih jeut keu contoh keu masyarakat dan kamoe para bawahan (Mereka kan dewan terhormat. Seharusnya bisa jadi contoh bagi masyarakat dan kami selaku para bawahan). Yang jrohlah. Beu get-get. Malee teuh dengoe rakyat (Yang baik. Malu kita dengan rakyat).”
***
ZAINI mengultimatum, apabila sampai pada tenggat yang ditetapkan belum juga selesai dipilih pimpinan definitif, sehingga Qanun RAPBA 2015 tak bisa disahkan sebelum 31 Desember tahun ini, maka akan dikeluarkan peraturan gubenur (Pergub), sehingga anggaran tahun 2015 bisa segera dimanfaatkan.
Pernyataannya itu disampaikan setelah ia menerima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Aceh 2015 sebesar Rp 26,9 triliun dari Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin 8 Desember 2014. Ia meyakini, pengunaan anggaran akan turut terkena imbas kisruh di DPRA.
Jadi, “tertunda-tundanya pembentukan alat kelengkapan DPRA itu dengan sendirinya ikut merugikan rakyat. Terpaksa kita berpedoman kepada APBA tahun lalu,” katanya pada wartawan.
Begitulah yang dikatakan Zaini. Tapi apa yang dilakukannya? Dilaporkan, hingga Kamis 11 Desember 2014, Gubernur Zaini belum menandatangani surat keputusan paripurna dewan terkait penetapan lima unsur pimpinan DPR Aceh yang telah diserahkan usai paripurna.
Padahal, tandatangannya dibutuhkan sebagai pengantar agar bisa disahkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Jika demikian, untuk apa Zaini mengultimatum? “Jangan banyak basa-basi Abu Doto (sapaan akrab Zaini Abdullah),” kata TA Khalid, Ketua Gerindra Aceh. []
Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari Laporan Khusus The Atjeh Post printed yang diterbitkan dalam versi majalah akhir tahun 2014.
Editor: Nurlis E. Meuko