Sejumlah kalangan mengkritik kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Aceh, yang berencana menerapkan aturan larangan berbonceng bagi pasangan non muhrim. Aturan yang sedang dirancang dewan setempat ini dinilai hanya akan mengundang sensasi.
“Apakah qanun ini tidak terkesan dipaksakan dan sarat akan sensasi seperti wacana pemerintah kota Lhokseumawe silam tentang larangan duduk ngangkang,” ujar Alfiandi, alumnus Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, kepada VIVAnews, Rabu, 17 Desember 2014.
Alfiandi juga menilai, larangan yang dituangkan dalam Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umat (KKU) tersebut tidak memenuhi azas keadilan. Kata dia, ada tiga azas hukum yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membuat sebuah aturan, azas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
“Qanun KKU ini belum memenuhi azas keadilan, karena pasti nantinya hanya akan berdampak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah saja yang hanya memiliki sepeda motor, sedangkan orang-orang kaya, bahkan para pembuat kebijakan ini kebanyakan menggunakan mobil sama sekali tidak tersentuh,” kata Alfiandi yang juga alumnus Sekolah Demokrasi Aceh Utara ini.
Sementara itu, Ketua BEM Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Aceh Utara, Muhammad Fuadi, meminta pemerintah mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat. Menurutnya, tidak selamanya pasangan non muhrim itu pasangan yang pacaran, namun juga keluarga.
“Ini akan melemahkan qanun itu sendiri dan apabila nantinya qanun diterapkan dan tidak maksimal maka pertaruhan elektabilitas pemerintahan sendiri dan juga nilai syariat islam yang dipertaruhkan,” kata Fuadi.
Namun menurutnya, jika memang pemerintah ingin menerapkan qanun tersebut maka harus dijalankan dengan baik dan konsisten. Tetapi, ia meminta pemerintah juga konsentrasi pada sektor lain seperti keadaaan ekonomi rakyat, pendidikan islam dan keadaan sosial.[] sumber: viva.co.id
Editor: Boy Nashruddin Agus