PERUBAHAN tata ruang menjadi salah satu penyebab tertutupnya pelanggaran kejahatan kehutanan. Selain itu, kepentingan politik juga cenderung menyebabkan pengurangan dan penurunan tingkat fungsi kawasan hutan.
Hal tersebut disampaikan Efendi Isma, S.Hut, Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melalui siaran persnya kepada ATJEHPOST.co, pada Kamis, 25 Desember 2014.
KPHA mencatat adanya beberapa dugaan “permainan” perubahan fungsi hutan dalam tata ruang Aceh. Pertama, penggunaan hutan lindung sebagai areal pembibitan sapi di Kabupaten Aceh Barat Daya yang kasusnya telah diterbitkan SP3 oleh Polres Abdya tahun 2012.
Kedua, kata Efendi, hutan lindung yang hilang, berdasarkan peta SK Menhut 170 tahun 2000, di Kabupaten Nagan Raya. Ketiga, hutan lindung yang hilang di Kabupaten Bener Meriah (overlay peta SK Menhut 941 tahun 2013 dan SK Menhut 170 tahun 2000.
Selanjutnya, hutan produksi yang hilang di Kabupaten Bireun tanpa ada usulan perubahan fungsi dari daerah (overlay peta SK Menhut 941 th 2013 dan SK Menhut 170 th 2000), SM Rawa Singkil yang hilang dan bertambah pada bagian yang berbeda (overlay peta SK Menhut 941 th 2013 dan SK Menhut 170 th 2000), perubahan fungsi hutan di Gayo Lues dan Aceh Tengah yang diduga untuk kepentingan konsesi pertambangan PT. GMR dan PT LMR.
Dugaan 'permainan' perubahan fungsi hutan lainnya seperti, perubahan fungsi hutan di Kabupaten Pidie yang diduga untuk kepentingan perusahaan perkebunan PT. PSS, perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Aceh Selatan untuk kepentingan perusahaan PT. ATP, dan perubahan fungsi/peruntukan kawasan hutan di Kabupaten Aceh Tamiang yang diduga untuk kepentingan perusahaan perkebunan sawit.
"Pola ruang kehutanan mampu menipu publik dengan melihat persentase angka kawasan hutan lindungnya sebesar 49,37 persen dari luas daratan Aceh, sedangkan dalam hitungan biofisik (kelerengan, kelas dan tekstur tanah, curah hujan dan social budaya) kawasan seharusnya kawasan hutan lindung lebih besar dari 60 persen, karena geografis Aceh yang bergunung-gunung dan berbukit dengan tingkat kelerengan yang curam dan jenis tanah sebagian besar PMK (podzolik-merah-kuning) sehingga memiliki kerentanan terhadap longsor dan banjir," kata Efendi.
"Sejumlah bencana yang melanda provinsi Aceh, diduga berkaitan erat dengan perubahan fungsi kawasan hutan dan kegiatan penebangan kayu di hulu sungai yang merupakan kawasan hutan lindung," ujarnya.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus