LANGIT hari itu seakan enggan melepaskan cahaya matahari ke Bumi. Teduh dan lembab. Sesekali aroma garam berhembus sebelum gempa berkekuatan besar mengguncang tanah kelahiran kami. Minggu, 26 Desember 2004.
Pagi itu, saya baru saja terbangun dari tidur panjang usai menghabiskan waktu 48 jam bergadang di kampus. Saya enggan keluar jika tidak memikirkan gempa kuat yang mengguncang dan menggoyang rumah yang dibangun kakek.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan sepeda motor merk Astrea Tujuh Puluh atau dikenal Honda Astuti. Warnanya merah. Motor itu saya beli dari tetangga di belakang rumah dari hasil upah bulanan saya menjaga Kantor BRI Syariah di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh. Sisanya, ibu menambah uang tabungannya membeli motor tersebut agar bisa saya pergunakan untuk kuliah ke Darussalam.
Usai mengeluarkan sepeda motor, saya kembali masuk ke dalam rumah. Padahal, ibu dan keluarga melarangnya. Saya membasuh muka di kamar mandi dan kemudian menyasar nasi goreng buatan ibu di dapur. Keluarga di luar panik!
“Aneuk meutuah ka tubit hai. Laen gempa nyoe (anakku keluarlah. Gempa kali ini lain dari yang sudah-sudah),” ujar Makpo, kakak kandung ibu saya seraya menangis.
Ibu saya yang sudah berpakaian rapi pagi itu terlihat menangis. Ia histeris dan bibirnya memutih. Ketakutan. Saya hanya menatapnya dan tidak tahu mau berbuat apa. Saya keluar hanya mengenakan celana training tanpa memakai baju.
Tiba-tiba, suara angin menderu kencang dari arah barat tempat kami berada. Orang-orang menjadi panik. “Angen puting beliung, ka cruep! (tiaraplah).”
Entah siapa yang mengatakan demikian meski semua sepakat untuk mematuhi perintah itu. Apa yang dikhawatirkan ternyata salah. Dari arah barat kemudian berlarian orang-orang yang saya kenali. Rumah mereka berada di ujung gampong kami. “Air laut naik...air laut naik. Lari...”
Saya terdiam bersama keluarga besar dari garis keturunan ibu. Kami kemudian berkumpul di sebuah tanah kosong di depan rumah. Menatap ke arah langit. Ada puluhan ekor burung berterbangan ke arah timur. Sementara di darat, orang-orang terus berlari menuju Masjid Subulussalam, Punge Blang Cut Banda Aceh. Sebagai muslim mereka semua percaya, rumah Allah adalah tempat berlindung dari semua marabahaya.
Saya, kakek, ibu, dan adik kandung ibu masih berdiri di tanah kosong yang sedikit tinggi dibandingkan pekarangan rumah kami. “Hana peu ta plung. Lon jeut ku meulangue (Tidak perlu lari, saya bisa berenang),” ujar Abdullah, kakek saya. Dia ngotot untuk terus berada dekat dengan rumah yang kami tempati selama ini.
Di arah barat terlihat sesuatu serupa dinding hitam bergerak ke arah kami. Di atas dinding ini ada sebuah bangunan bercerobong hitam. Kemudian saya sadar, itu adalah gelombang besar. Gelombang yang datang dari arah laut Ulee Lheue –sekitar 3 kilometer dari kediaman kami -- terlihat menggulung semua benda yang dilaluinya. Mencabik-cabik pohon kelapa yang kokoh tertanam ke tanah dan menghempas rumah-rumah beton seperti anak kecil menyobek kertas. Saya tertegun. Bau garam semakin dekat.
Gelombang besar yang mengangkat benda bercerobong itu kian mendekat ke arah kami. Ia menyodok semua rumah bersama dengan hantaman gelombang hitam tersebut. Ibu memaksa kakek agar ikut menyelamatkan diri. Sementara nenek sudah berlari bersama kakak ibu dan saudara saya yang lainnya.
Kakek tetap keras kepala. Cutci Darmiyanti, adik kandung ibu yang kerap saya panggil Etek, menangis sejadi-jadinya. Ia menarik lengan kanan kakek dan ibu saya menarik lengan kirinya. Pria tua keras kepala itu masih kukuh berdiri di tempatnya.
Sementara air hitam pekat bergerak setinggi tumit yang disusul gelombang besar itu terus mendekati kami. Geram, akhirnya saya menarik ketiga-tiganya menuju ke Masjid Subulussalam. Berhasil.
Kami berlari. Tak jauh, hanya sekitar 200 meter menyusuri lorong setapak. Kubah masjid sudah terlihat. Namun perjuangan saya, kakek, ibu dan Etek menuju rumah Allah itu dihentikan air setumit yang mengalir deras. Air itu bercampur lumpur. Saat kena di kulit terasa panas. Kami pun terseret dan tercerai berai. Kakek dibawa arus ke dalam rumah warga. Etek hilang entah kemana rimbanya.
Hanya tinggal saya dan ibu. Kami berpegangan tangan sementara arus terus menyeret pantat dan tubuh kami menyusuri Jalan Harapan. Di hitungan per detik itu, saya ingat wajah-wajah beberapa orang yang berdiri dihadapan kami terpelanting terseret arus. Akhirnya, genggaman saya lepas dari tangan ibu. Entah bagaimana, saya sudah berada di atas kap mobil Kijang Inova yang diparkir di badan jalan.
Saya mencari-cari ibu saya. Melihat ke kanan dan kiri, semuanya air yang ketinggiannya sudah mencapai bumbungan atap rumah warga. Mobil tersebut menjadi rakit buat saya. Ia melaju kencang terbawa arus hingga akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah rumah kayu.
Dari celah-celah kosen tingkap di dalam rumah tersebut, saya melihat ibu yang mengapung dibawa arus. Saya yang terjepit antara mobil dan atap rumah berusaha mencari jalan keluar. Satu-satunya cara adalah meninju atap rumah hingga jebol. Saya berhasil dan kemudian menaiki atap rumah itu.
Saya mencari-cari ibu yang sempat saya lihat saat terjepit tadi. Ibu menghilang. “Loncat saja ke air,” niat saya. Namun kemudian saya ingat tidak bisa berenang.
Putus asa. Saya duduk di atas bumbungan atap rumah itu. Saya mendekap kedua lutut dan menangis. Saya terasing di tempat itu. Menatap kiri dan kanan semuanya seperti lautan. Menatap depan dan belakang juga sama, hanya air dan pepohonan besar. Saya akhirnya berbaring menatap langit dan menyumpahi diri sendiri yang tidak bisa menyelamatkan ibu, di atas atap rumah itu.
“Toloong.” Samar-samar terdengar suara lelaki dari bawah atap. Saya bangun dan mencari asal suara tersebut. Saya menyusuri atap rumah itu yang semakin panas karena terkena matahari.
Sekitar lima menit saya menyusuri atap rumah tersebut, akhirnya saya mendapatkan seorang remaja yang mengangkat tangannya dari bawah atap rumah. Saya menduga dia masih duduk di bangku SMP.
Anak itu saya tarik ke atas atap rumah. Kini, saya tidak sendiri. Sekonyong-konyongnya, anak itu menangis. “Tolong ayah saya. Dia tenggelam,” katanya.
Saat itulah saya sadar, ini bukan mimpi. Kejadian ini bukan hanya menimpa saya. Saya kemudian memarahi anak tersebut bahwa kejadian ini juga merenggut keluarga saya. Dia terdiam. Lalu saya mengajaknya mencari orang-orang yang selamat meski kami belum bisa beranjak dari atap rumah tersebut.
Air masih setinggi bumbungan atap. Saya melihat ke arah kanan, bangunan besar bercerobong yang tadi dibawa gelombang. Di sisi bangunan itu tertulis PLTD Apung. Otak saya berputar dan kemudian ingat bahwa itu adalah kapal PLTD Apung yang beberapa hari lalu ‘parkir’ di Pelabuhan Ulee Lheue. Mata saya kemudian menjelajah lebih jauh ke arah Ulee Lheue. Hanya satu dua rumah yang menghalangi pandangan saya untuk melihat laut lepas Selat Malaka.
“Toloong...”
Kembali terdengar suara rintihan dari bawah atap tempat kami menyelamatkan diri. Saya mengajak anak muda yang saya selamatkan untuk mencari asal suara itu. Kami melihat seorang wanita yang menggendong bayi muncul dari bawah atap. Ia menyodorkan bayi itu ke arah kami. Saya mengambil bayi itu, dan memerintahkan anak muda tadi menarik wanita tersebut. Setelah berhasil menyelamatkan keduanya, saya menyerahkan bayi itu kepada ibunya.
Air mulai surut. Satu dua orang mulai terlihat keluar dari tumpukan puing-puing. Rata-rata adalah pria. Sesaat, mata berhenti di dua pohon mangga yang ada di depan hadapan saya. Di sana terlihat beberapa wanita yang terjepit kayu. Matanya putih menatap ke arah saya. Wanita itu sudah tidak bergerak. Saya kenal dengan wanita itu. Wajahnya familiar meski saya sudah lupa siapa namanya.
Beberapa pria yang selamat mulai membantu korban-korban yang terjepit. Mereka mengajak saya untuk turun. Namun, lutut saya bergetar. Saya ketakutan untuk menjejakkan kaki di atas tanah. Butuh waktu lama mereka membujuk saya agar turun. Jika saja saya tidak melihat Makpo, kakak kandung ibu saya, mungkin saya akan bertahan di atap tersebut hingga petang.
Namanya Saudah. Saya memanggilnya Makpo. Saudah memberitahukan nenek saya selamat dan kini berada di dekat Masjid Subulussalam. Ia juga mengatakan anaknya yang paling tua, Dedi Satria dan istrinya juga selamat. Mereka kini menuju Kapal Apung. Saya melihat ke arah kapal tersebut, sudah ratusan orang berada di sana. “Bunda (sebutan untuk ibu saya) pat?” tanya Makpo.
Saya menggeleng. Kembali air bening mengalir di dua kelopak mata saya. Saya kemudian bergegas menyusul saudara-saudara saya itu. Menuju Kapal Apung. Namun saat ingin naik ke atas kapal, saya teringat pada ibu saya. Saya mencarinya di antara puing-puing rumah. Banyak mayat hari itu. Ada juga ikan-ikan laut yang mati di sana. Namun apa yang saya cari tidak ketemu.
“Abaang..” terdengar suara orang yang saya kenali. Ternyata, itu adalah Riza Srinanda. Dia adik bungsu saya. Dia selamat meski kaki kanannya patah. Hari itu, sangat susah meminta bantuan. Semuanya dalam keadaan panik dan berduka memikirkan keluarga masing-masing. Saya kesusahan mengangkat Riza dari atas tumpukan kayu yang jaraknya sekitar 200 meter dari Kapal Apung.
Akhirnya saya meminta pertolongan Dedi Satria yang telah mengevakuasi keluarganya di Kapal Apung. Riza sangat membutuhkan perhatian saya. Ia menangis dan tidak ingin jauh dari saya. Akhirnya, alasan ini pula yang menghentikan saya untuk mencari ibu.
“Kakak hana lee. Gobnyan teujeupet beton lam ie beuno (Kakak sudah meninggal. Dia terjepit beton dalam air tadi),” cerita Riza, mengenai kakaknya dan juga adik saya Riska Pramita. Saya hanya diam dan menenangkan adik saya itu.
Kami memutuskan bermalam di Kapal Apung. Banyak korban yang terluka diangkat ke kapal tersebut. Di antara mereka ada yang menghela nafas saat menjelang petang. Beberapa anak kecil yang selamat menangis. Ada yang bertanya kemana orang tua mereka, ada pula yang merintih kesakitan karena cidera. Sementara langit terus menitikkan air mata.
+++
SEPULUH tahun berlalu. Kapal Apung itu masih berdiri tegak di tempatnya berlabuh selepas dihempas gelombang tsunami. Kondisinya sudah lebih bagus. Tempat itu kini menjadi salah satu tujuan wisata tsunami favorit. Ada beberapa jembatan dibangun untuk para turis yang ingin menggambil gambar situs tsunami tersebut. Dulunya, di pondasi jembatan itu pula saya melihat sosok bayi mungil pucat yang terkulai tanpa denyut jantung.
Kini, Masjid Subulussalam yang menjadi tujuan kami menyelamatkan diri saat gempa dan tsunami pun sudah hilang tidak berbekas. Meski masjid itu selamat saat bencana, namun di kemudian hari petinggi gampong merubuhkannya. Alasannya, masjid itu semakin sempit sementara jamaah semakin bertambah.
Kini, tanah kosong tempat saya menyaksikan gelombang tinggi hitam pekat juga sudah ‘nangkring’ kapal KPLP dan kapal Angkatan Laut. Ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan PLTD Apung.
Dada saya kembali sesak jika membayangkan peristiwa pagi Minggu itu. Namun saya memaksa, meski sebenarnya saya kembali membuka luka lama. Pedih![]
Boy Nasruddin Agus saat ini adalah editor di ATJEHPOST.CO
Baca juga:
Mengenang Tsunami Aceh; Terima Kasih, Dunia!