NAMANYA Firmansyah Asnawi. Usianya baru seperempat abad. Cerdas dan berbakat, dua kata ini sepertinya layak dilekatkan pada dirinya. Di usianya yang masih sangat muda, ia telah menyandang gelar Magister Teknologi Informasi (M.T.I). Sebelumnya saat kuliah Strata I, Firman berhasil mengumpulkan IP 4 sebanyak empat semester. Nilai itu membawanya pada predikat cumlaude saat lulus, dan menjadi wisudawan terbaik kategori bidang akademik. Siapa Firmansyah Asnawi?
Firmansyah merupakan salah satu anak yang selamat dari humbalang tsunami 10 tahun silam. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana momentum satu dekade tersebut diperingati besar-besaran di pengujung Desember 2014 lalu. Ketika itu Firman tinggal di Gampong Deah Baro Banda Aceh, berada di ujung Jalan Rama Setia. Saat tsunami terjadi, gelombang dahsyatnya mengempaskan Firman hingga tiga kilometer dari bibir pantai. Ia terdampa ke Gampong Punge Blang Cut, persis di samping Kapal PLTD Apung kini bersemayam.
“Selesai salat subuh berjamaah di Masjid Al-uswah Deah Baro, sudah menjadi kebiasaan saya menonton film kartun pada hari Minggu di rumah,” kata Firman. “Saat gempa saya keluar rumah menuju jalan utama, gempa tersebut sangat kencang sehingga saya tak sanggup berdiri lama, harus berjongkok dan memegang tanah,” katanya.
Beberapa menit setelah gempa, Firman kembali ke rumah dan rumahnya mendadak berubah seperti kapal pecah. Barang-barang di dalamnya jatuh berhamburan, bahkan ada yang pecah, dinding rumah retak-retak. Ia lantas keluar dan berdiri di pagar rumah sambil memandang ke arah Pelabuhan Ulee Lheue di kejauhan.
Saat itu tiba-tiba ia mendengar orang berlarian sambil berteriak air laut surut. Warga mulai panik dan ikut berlari menjauh dari laut. Orang-orang yang berlari saling bertabrakan karena tidak adanya jalur evakuasi.
“Saat itu saya tidak ikut berlari karena belum melihat dengan mata sendiri kalau air surut, jadi ya tidak takut,” katanya mengenang.
Tak lama kemudian ia justru melihat sebuah gelombang besar di kejauhan yang menghantam pagar pembatas pelabuhan, terlihat buih putih raksasa menyembul. Saat itu jantungnya berdetak lebih kencang dan refleks membuatnya berlari. Namun kekuatannya berlari kalah cepat dengan gelombang yang super cepat. Baru berlari sekitar 200 meter lidah gelombang telah menggulung tubuh remajanya.
Dalam balutan gelombang Firman merasakan tubuhnya terombang-ambing, menabrak apa saja yang ada di depannya.
“Saya diselamatkan Allah melalui tangan Bang Apir dan ditarik ke atas atap rumah di samping kapal PLTD Apung parkir. Kondisi saya saat itu sangat memprihatikan, mata kanan masuk lumpur, tangan kanan terkilir, serta telapak kaki yang kanan sobek hingga sejengkal,” katanya.
Kekuatan Doa dan Semangat Belajar
Sebagai korban tsunami, Firman merasakan trauma yang dalam di hatinya. Awalnya ia sulit melupakan kejadian yang telah merenggut nyawa ibu, tiga kakak dan satu adiknya itu. Belum lagi kehilangan saudaranya yang cukup banyak. Yang membuatnya kian sedih, ia tidak tahu di mana jasad ibu dan saudaranya dikebumikan. Kadang ia terpikir, mengapa tidak ikut hilang saja bersama keluarganya supaya tak perlu menanggung kesedihan.
Perlahan tapi pasti, ia berhasil mengenyahkan berbagai perasaan negatif dalam dirinya. Ia sadar bukan itu yang diinginkan oleh almarhum Ibu dan saudaranya. Ia bertekad untuk menemukan hikmah atas kejadian itu. Pikirannyapun menjadi lebih terbuka, Firman mencoba berdamai dengan takdir. Tsunami tak lagi dianggap sebagai musibah, melainkan sebagai ujian yang harus diterima, ditemani dan diselesaikan.
“Sejak kecil saya terbiasa curhat pada Allah ketika salat, saya mengadukan semuanya. Saya sangat yakin dengan kekuatan doa yang istiqamah,” katanya.
Iapun bertekad untuk mengabdikan hidupnya pada Allah dan bermanfaat untuk manusia lain. Semangat itu terbukti mampu mengeluarkannya dari kegalauan. Seminggu setelah tsunami ia dibawa abang kandungnya Armaini ke Jakarta untuk berobat. Armaini saat itu sedang kuliah di PTIK sehingga selamat dari musibah itu.
Seminggu di Jakarta, ia kembali dibawa ke Pekanbaru dan dimasukkan ke SMAN 10 Pekanbaru. Firman kembali menyusun harapan hidupnya untuk masa depannya. Di sekolah itu ia pernah beberapa kali menjadi utusan sekolah untuk mengikuti olimpiade antar SMA. Tahun 2007, ketika lulus SMA ia mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di Universitas Al Azhar Indonesia di Jakarta. Ia mengambil jurusan Teknik Informatika.
Beberapa hari setelah mengikuti jadwal perkuliahan Firman sempat merasa heran sendiri dengan jurusan yang dipilihnya. Waktu itu jangankan tahu banyak tentang seluk beluk komputer, memindahkan data dari flashdisk ke komputer saja tidak bisa.
“Saya mengambil jurusan Teknik Informatika bukan karena sangat mencintai komputer tapi karena saya mencintainya yang namanya matematika dan algoritma,” ujarnya.
Ketidaktahuannya justru menjadi pelecut untuk memacu semangat belajarnya. Hasilnya, semester pertama ia langsung mendapatkan IPK 4.00. Sebuah hasil yang maksimal. Seperti lentera, Firman semakin menjadi sorotan termasuk dari pada dosen, membuatnya dipilih menjadi asisten dosen untuk berbagai mata kuliah seperti Basic Programming, Algoritma dan Struktur Data, Informatika Terapan, serta Algoritma Pemrograman. Ketika diangkat menjadi asistem praktikum Fisika Dasar I, ia masih semester tiga.
Semester VII dan VIII ia belajar pada sensei Dr. Anto Satriyo Nugroho menjadi programmer peneliti dan mengerjakan proyek dalam sebuah tim di Badan Pengkajian dan Peneraan Teknologi (BPPT). Bagi Firman, sensei Anto bukan hanya dianggap sebagai seorang dosen, tapi lebih dari itu. Dr. Anto dikenal sebagai dosen yang sangat memperhatikan anak didiknya. Ia juga sering bercerita tentang kelucuan anak-anaknya, tak jarang suka narsis juga di media sosial dan selalu update tentang anak didiknya.
“Satu pesan beliau yang sering saya ingat adalah ‘penelitian kita ini merupakan satu langkah menuju 1.000 mil perjalanan’,” ujar Firman meniru ucapan sensei Anto.
Setelah lulus kuliah, Firman mencoba hal lain dengan bekerja di perusahaan konsultan sebagai oracle database report. Suatu bidang yang menurutnya cukup berbeda dengan programmer C. Belakangan karena merasa kurang nyaman karena sering pulang larut Firman keluar dari perusahaan ini. Bukan apa-apa, di samping berbagai kesibukannya Firman juga seorang pengajar di TPA asrama FOBA Aceh di Jakarta. Namun sejak bekerja di perusahaan konsultan itu aktivitas mengajar mengajinya menjadi terganggu. Ia pun pindah ke bank syariah terbesar di Indonesia dan ditempatkan di divisi audit internal.
Saat ini Firman tercatat sebagai Sekretaris Direktur di TPA Baitut Thalibin di Wisma Mahasiswa Aceh FOBA. TPA tersebut diketuai M Ikhsan Efendi. Aktivitas belajar mengajar di TPA ini dilakukan setelah salat magrib. Para santri merupakan anak-anak masyarakat sekitar wisma.
“Saya sangat menyayangi santriwan/wati TPA, karena dengan melihat wajah, kenakalan mereka, dan mengajarkan mereka membuat rasa lelah yang saya rasakan seharian seakan hilang,” ujar pemuda kelahiran Banda Aceh, 16 Juni 1989.
Termotivasi pada seorang senior yang memakai baju toga wisuda S2 di Universitas Indonesia, Firman bertekad untuk kembali melanjutkan kuliah S2-nya di UI. Awal 2013 lalu, ia diterima di Jurusan Teknologi Informasi UI. Kuliah sambil bekerja menjadi tantangan tersendiri baginya, soal ini Firman benar-benar menerapkan sistem manajemen waktu seketat mungkin.
“Alhamdulillah, saya bisa memperoleh gelar Magister Teknologi Informasi (M.T.I.) dalam jangka waktu 3 semester dan telah wisuda pada akhir Agustus 2014 lalu,” ujarnya.
Selain bekerja, ia juga memiliki kerja sampingan di perusahaan AmanahCorp.com. AmanahCorp merupakan perusahaan yang didirikan oleh anak-anak Aceh di Jakarta. Pendirinya Muammar Khadafi, Firman sendiri menjabat sebagai Project Manager. Salah satu produk yang dihasilkan adalah BisaTopup.com.
Sejak kuliah S1 dan S2, Firman tinggal di Wisma Mahasiswa Aceh FOBA Jakarta dan sekarang masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FOBA. Wisma tersebut dihuni sekitar 60 mahasiswa. Wisma ini juga mempunyai sejumlah program seperti Hafidz Alquran. Di sini juga terdapat aktivitas belajar bahasa Arab, Inggris, Tahsin, kitab dan fiqih.[]
Editor: Ihan Nurdin