BERBICARA di depan ratusan mahasiswa, pejabat teras Aceh, dan pelaku industri minyak dan gas bumi, lelaki bertubuh kecil itu seolah sedang mengingatkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah tentang pemerintahan yang bersih. Di depannya duduk antara lain Zaini Abdullah dan Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar.
“Tidak zamannya lagi memberikan jabatan kepada seseorang berdasarkan keturunan. Orang tidak lagi melihat kamu dari mana, kamu anak siapa, tetapi berdasarkan integritas dan kompetensi diri,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said dari atas podium di salah satu ruangan gedung AAC Dayan Dawood, Kampus Universitas Syiah Kuala, akhir Desember lalu. Hari itu, Sudirman menjadi pembicara kunci dalam seminar Pengelolaan Migas Aceh.
Lahir di Brebes, Jawa Tengah, pada 16 April 1963, Sudirman Said pernah tiga tahun bekerja di Aceh sebagai salah satu Deputi atau Wakil Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias sesuai dengan bencana tsunami. Sudirman termasuk yang ikut merancang konsep dari mana membangun kembali Aceh pascabencana mahadahsyat itu.
Saat berbicara di Unsyiah hari itu, Sudirman baru dua bulan menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Sebelumnya, dia pernah menjabat Direktur Utama PT Pindad, dan ikut membenahi manajemen PT Pertamina (Persero) pada 2008.
Sebelumnya, Sudirman yang menggondol gelar Magister of Business Administration (MBA) dari Universitas George Washington, Amerika Serikat ini juga sering terlibat mendorong pemerintahan bersih dan antikorupsi. Ia tercatat ikut mendirikan dan pernah menjadi ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia. Sudirman juga membentuk Indonesia Institute for Corporate Governance pada 2000.
Ketika hari itu kembali ke Aceh yang telah ditinggalkannya sejak 2008, usai seminar Sudirman menyempatkan diri meninjau kawasan bekas tsunami di pantai barat.
Menumpang mobil Innova tanpa dikawal polisi, Sudirman sempat singgah mencicipi eungkot paya di Lamlhom, Aceh Besar, saat jam makan siang tiba. Ia juga singgah di sebuah warung kopi di kaki Gunung Paroe, Lhoong. Tiga orang Aceh mantan pekerja BRR ikut menemaninya. Di warung itulah Sudirman Said melayani wawancara dengan The Atjeh Post. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan Aceh sekarang?
Saya bersyukurlah ya. Bahagia karena melihat banyak sekali kemajuan. Bangunan-bangunan rapi, jalan, infrastruktur bagus, kuat, dan kegiatan ekonomi kelihatan sekali hidup. Tempat-tempat rekreasi juga sudah bagus-bagus. Overall saya kira masyarakat Aceh bersama dengan seluruh donor, seluruh pelaku rekonstruksi telah berhasil membangun kembali kehidupan Aceh.
Pembelajaran yang dulu diharapkan BRR bagaimana? Apakah sesuai dengan harapan?
Dulu kan kita soal soft yang sifatnya nonfisik, soal sosial, kedamaian, soal politik pemerintahan. Itu yang barangkali masih banyak PR yang mesti dikerjakan. Saya kira jawabannya mungkin bagaimana mengatasi masalah-masalah masa lalu itu bisa diselesaikan.
Menurut saya, kuncinya itu generasi tua harus bersatu untuk membangun kader-kader yang masih di bawah. Jadi yang senior-senior itu jangan terus-menerus menonjolkan egonya, tetapi harus bersatu untuk menyiapkan lapis-lapis generasi pemimpin ke depan. Saya kira kalau itu dilakukan proses branding, proses pencampuran antara kelompok itu akan makin cepat. Karena generasi muda itu kan biasanya mereka lebih mobile, lebih lincah ke sana kemari, lebih bergaul dalam berbagai sektornya masing-masing.
Nah, kalau itu yang dimunculkan, kemudian orang tua itu memberi dorongan. Saya kira itu akan mempercepat proses. Dengan potensi sebesar ini menurut saya sayang kalau kemudian Aceh secara sosial politik tidak bisa stabil. Saya sangat berharap begitu. Saya kenal banyak orang baik di berbagai lapis. Orang-orang itu mesti mendapat kesempatan untuk ikut menata.
Tetapi yang terjadi ada orang-orang baik yang kemudian tersingkirkan...
Saya nggak tahu. Tetapi kan tidak boleh berhenti berusaha. Karena ujungnya soal kompetensi, soal integritas, visi, leadership, dan ujungnya semua itu adalah bagaimana lapis-lapis leadership itu melibatkan orang-orang yang punya kemampuan mengelola. Karena kemampuan manajerial itu yang membuat power bisa menjadi benefit. Walaupun kita sangat berkuasa, tetapi kalau budget tidak bisa di-spending (anggaran tidak terserap), program tidak bisa dijalankan, masyarakat tidak dapat apa-apa. Jadi bagaimana mendorong sebanyak-banyaknya orang masuk dalam struktur supaya kekuasaan, urusan politik itu bisa berubah menjadi kemanfaatan.
Saat seminar tadi Anda mengatakan mengurus Kementerian ESDM itu tidak seberat mengurus rekonstruksi Aceh. Bisa dijabarkan lebih jauh?
Saya mengatakan itu dengan sungguh-sungguh bahwa sesudah saya bekerja di Aceh, sebetulnya hampir tidak ada pekerjaan yang lebih berat gitu ha-ha-ha. Karena di sini bekerja itu tidak hanya urusan fisik kan, tetapi nonfisik juga. Teknis dan nonteknis. Dan di-link atau bekerja bersama kelompok masyarakat yang sangat beragam cara pandangnya. Itu satu tantangan tersendiri.
Misalnya kita ingat, sudah baik-baik mikir, ketika mulai bangun rumah, seluruh kontraktor dibagi (pekerjaan). Tetapi tetap aja ada yang nggak puas. Terus juga kita ingat orang-orang BRR kerja keras bangun rumah, tetapi kemudian pengungsinya ngeruduk ke kantor BRR. Itu kan ekspresi-ekspresi yang hanya dalam situasi tertentu bisa muncul gitu.
Nah, itu yang saya bilang yaa...ngurus ESDM berat, tetapi tidak seberat, tetapi tidak se-complicated ketika membangun kembali Aceh, apalagi bekas konflik segala macam. Kalau di ESDM ya boleh dibilang, yaa...bisa diprediksi sedalam mana isunya. Dan kita berurusan dengan hal-hal yang mungkin bisa lebih diukur kedalaman masalahnya.
Ketika memutuskan mundur dari BRR dulu, apa juga karena alasan terlalu berat itu?
Ha-ha-ha. Saya tidak mundur, tetapi dapat tugas baru ha-ha-ha.
Oke. Sekarang tentang Blok Migas Pasee. Pusat telah menyerahkannya untuk dikelola oleh BUMD Aceh PDPA. Sementara situasi PDPA saat ini sedang bergelut dengan kisruh internal akibat kentalnya intervensi gubernur. Bagaimana Anda melihat ini?
Saya tidak ingin masuk ke detail, itu urusan internal. Tetapi saran saya sebagai penanggung jawab sektor, kembalikan saja kepada prinsip apa yang tadi saya sebut profesionalisme dan meritokrasi (tidak menempatkan seseorang berdasarkan hubungan kekeluargaan-red).
Kalau mau kerja ya harus taruh modal, gitu kan. Saya kira jalur pipa dari Arun sampai ke Belawan itu mesti dimanfaatkan baik-baik karena di sekitar kabupaten di mana ada kuota gas itu, kita sudah siapkan satu hub yang bisa menyalurkan gas ke tempat-tempat, baik masyarakat maupun industri gitu. Kemudian syukur-syukur nanti kalau ada uang, dinaikin ke atas sampai ke Banda Aceh tuh (jalur pipa gasnya).
Jadi seluruh Aceh sampai ke bawah itu dikoneksi oleh satu jalur gas yang sangat vital di masa depan, apalagi Aceh ini kan lumayan banyak deposit gasnya. Kalau misalnya Arun bisa kita jadikan pusat pengolahan gas gitu ya, kemudian kita bagi secara baik, itu BBM akan bisa dikurangi bebannya, kemudian percepatan industrialisasi bisa dilakukan. Karena ujungnya kan energi menjadi penentu.
Kalau internal PDPA harapan saya mudah-mudahan sih para orang tua itu cukup bijak sehingga yang dipikirkan bukan siapa berkuasa atau siap, tetapi benefit bagi masyarakat sebesar-besarnya. Cari aja solusinya bagaimana. Menurut saya harus mulai mengedepankan pendekatan teknis, jangan politis terus. Hitung-hitungan dikasih ke para ahli, yang baiknya bagaimana. Yang wajar bagaimana.
Artinya pemerintah daerah sebaiknya tetap berperan pada posisi pemegang saham atau ownership?
Ya, sampai betul-betul mengerti teknisnya. Fokus pada ownership aja. Mudah-mudahan bisa segera berjalan. Terserah beliau-beliaulah, tetapi pesan saya sih, pikirin kepentingan orang banyak karena Undang-Undang Dasar kan mengatakan demikian. Diurus oleh negara, kemudian dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Soal RPP Migas bagaimana sudah perkembangannya?
Ya, mudah-mudahan satu dua hari setelah presiden kembali bisa diselesaikan. (Saat wawancara dilakukan Presiden Jokowi sedang di Papua).
Soal pembagian 70 persen untuk Aceh dan 30 untuk Pusat itu sudah disepakati bersama?
Saya harus cek lagi sebelum jadi PP. Kan masih ada kemungkinan-kemungkinan. Tetapi semangatnya memang akan dicari titik temu. []
Artikel ini dimuat di majalah The Atjeh Post edisi Februari 2015
Editor: Yuswardi A. Suud