KONFLIK pertanahan yang terjadi antara PT. Rapala dengan masyarakat 4 (empat) desa di dua kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang masih belum ditemukan titik terang. Ditetapkannya 11 petani yang memperjuangkan haknya atas tanah sebagai tersangka dan sempat ditahan Polda Aceh selama 10 hari sejak 15 Februari 2015 lalu, membuktikan bahwa penyelesaian konflik pertanahan di negeri ini belum berpihak kepada rakyat miskin dan kebijakan di bidang pertanahan masih saja berkiblat pada kepentingan pemilik modal.
Demikian disampaikan Chandra Darusman S, S.H, Koordinator Tim Kuasa Hukum Masyarakat 4 Desa di Kabupaten Aceh Tamiang versus PT. Rapala dari Yayasan LBH Indonesia-LBH Banda Aceh, dalam siaran pers yang dikirimkan ke ATJEHPOST.co, Selasa, 3 Maret 2015.
“Walaupun ke 11 petani tersebut telah ditangguhkan penahanannya, namun proses hukum dalam aspek pidana akan terus berjalan. Hal ini yang patut disayangkan, warga miskin yang mempertahankan haknya atas tanah justru diproses secara hukum dengan dugaan melakukan serangkaian tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHPidana dan atau 160 KUHPidana dan atau Pasal 335 KUPidana Pasal 406 KUHPidana dan atau 170 Jo 55-56 KUHPidana dan atau Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951,” katanya.
Ia mengatakan kasus seperti ini bukan hanya dialami oleh masyarakat Aceh Tamiang saja, tapi masih banyak konflik agraria yang terjadi di Aceh yang belum terselesaikan sampai saat ini. Salah satunya adalah kasus PT. Bumi Flora yang bersengketa dengan masyarakat di lima kecamatan di Aceh Timur. Menurut Chandra kasus tersebut sampai saat ini masih terkatung-katung.
“Selain itu, kasus masyarakat Desa Padang Seurahet di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat versus Pemkab Aceh Barat, dan kasus PT Ubertraco/Nafasindo dengan masyarakat di Singkil, serta masih banyak kasus lainnya yang terjadi di Aceh,” ujarnya.
Ia mengatakan setiap permasalahan pertanahan yang muncul harus diupayakan untuk ditangani segera, agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Menurut Chandra dalam kerangka inilah kebijakan pertanahan dengan tujuan penanganan sengketa atau konflik pertanahan harus dilakukan secara sistematis dan terpadu, di antaranya dengan cara mengelompokkan permasalahan menurut tipologinya dan kemudian dilakukan pengkajian untuk mencari akar masalahnya.
Selain itu, kata dia, Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa atau Konflik Pertanahan yang selama ini telah dibentuk baik di level propinsi ataupun kabupaten/kota ternyata tidak mampu menyelesaiakan persoalan yang ada. Menurutnya tim ini terkesan hanya mampu sekedar mendengarkan dan mencatat kasus yang ada tanpa membuahkan hasil yang baik dan berkeadilan.
“Imbasnya adalah mandegnya penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan yang mengakibatkan munculnya kriminalisasi pada petani yang memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan haknya atas tanah, seperti yang dialami oleh 11 petani di Kabupaten Aceh Tamiang,” katanya.
Chandra mengatakan LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum masyarakat mendesak Menteri Agraria untuk segera membentuk Komisi Independen Penyelesaian Sengketa/Konflik Agraria. Menurutnya hal ini didasari pada kondisi objektif maraknya sengketa atau konflik agraria yang terjadi di berbagai titik di Aceh, serta lemahnya peranan dari Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan.
“Dengan adanya komisi independen yang terbebas dari kepentingan seseorang, institusi dan kelompok manapun, besar peluang konflik agraria yang terjadi di negeri ini khususnya di Aceh dapat diselesaikan sesuai dengan aturan hukum, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak rakyat atas tanah,” katanya.
Selain itu, kata dia, komisi independen juga bisa mendorong upaya perbaikan serta perubahan sistem birokrasi pertanahan, karena sistem birokrasi pertanahan yang ada selama ini masih cenderung membuka peluang munculnya sengketa atau konflik pertanahan.
“Di sisi lain, evaluasi perizinan di bidang pertanahan juga menjadi sangat penting untuk dilakukan, terutama perizinan terhadap HGU bagi perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka besar potensi konflik pertanahan akan terus terjadi dan masyarakat kembali menjadi korban; baik secara materi, fisik, psikis bahkan kriminalisasi,” katanya.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus