Kebebasan tanpa menyakiti orang lain, boleh jadi inilah salah satu prinsip hidup orang ateis. Mereka tidak merasa tabu dengan perzinahan, asal itu dilandasi suka sama suka. Mereka percaya, kebahagiaan hanya ada di dunia. Maka kebahagiaan itu perlu dinikmati sepenuh hati, tanpa mengusik ketenangan orang lain. Mereka para ateis ini umumnya punya jiwa sosial yang tinggi, peduli dengan sesama, dan berupaya meningkatkan nilai-nilai spiritual diri melalui metode penjernihan pikiran.
Tidak ada ritual tertentu dalam konteks spiritual bagi orang-orang ateis. Proses penguatan nilai-nilai spiritual bisa dilakukan melalui perenungan, membaca, meneladasi sikap orang-orang terpuji, meningkatkan solidaritas sesama manusia dan lainnya. Semua itu dijalankan atas prinsip kebersamaan, tanpa melibatkan unsur ketuhanan.
Bagi mereka kematian adalah proses habisnya energi kehidupan, bukan akhir dari sebuah perjanjian dengan sang khalik. Pernikahan pun hanyalah sebuah komitmen kebersamaan, tidak perlu diwarnai ritual agama.
Dua masalah ini, kematian dan pernikahan, cukup menarik perhatian dari saya selama berbaur dalam keluarga ateis di Amerika ini. Saya mengawali pembicaraan saat melihat foto pernikahan David dan istrinya Susan pada 1995. Saya berbincang soal prosesi dan ritual yang mereka lalui pada pernikahan itu. Susan sendiri awalnya adalah penganut agama nasrani, tapi perkenalannya dengan David membuatnya mulai tertarik dengan ateis. Maka jadilah keluarga itu menganut aliran ateis.
Anehnya pernikahan mereka berlangsung di gereja dengan dihadiri seorang pendeta.
“Mengapa di gereja? Bukankah sikap seperti itu juga bagian dari kemunafikan?” tanya saya suatu ketika saat berbincang dengan Eliana dan Jessica.
Mereka menjawab pertanyaan ini dengan santai. “Itu hanya tradisi kami untuk menghormati budaya yang berkembang sejak dulu di negeri ini,” kata Eliana sambil tertawa.
“Anda tahu, “ ujarnya lagi, “ Kami juga merayakan hari natal. Tapi kami hanya menjadikan momen itu untuk berkumpul dengan teman dan kerabat, bukan untuk merayakan hari besar agama. Bagi kami itu hanyalah sebuah budaya.”
Lalu ia menjelaskan bagaimana sesungguhnya proses pernikahan yang dijalani David dan Susan. Prosesi itu sama sekali tidak dilandasi atas nama tuhan. Kehadiran pendeta di tengah-tengah acara hanya untuk sekedar memimpin pertemuan dan mencatat perjanjian yang diucapkan. Di hadapan pendeta itu, David dan Susan menegaskan komitmen untuk saling setia dan tidak saling menyakiti. Perjanjian itu disampaikan atas nama pribadi masing-masing, dan sama sekali tidak menyebut Jesus di dalamnya. Para pengunjung, termasuk pendeta menjadi saksi penegasan komitmen itu.
Sejak pernikahan itu, David dan Susan mengaku hidup berbahagia. David seorang pekerja kontraktor sedangkan Susan bekerja pada bidang hukum sebuah perbankan swasta di Philadelphia. Keduanya telah dikarunianya sepasang anak remaja. Anak-anaknya juga punya prinsip sama dengan orang tuanya, tidak percaya dengan agama.
Saat mengikuti acara family gathering keluarga Thompson, suatu ketika saya sempat berbincang dengan Tony, 13 tahun, anak bungsu David.
“Apakah ada pelajaran agama di sekolah kalian?” tanya saya.
“Ada, tapi bukan pelajaran wajib bagi semua murid,’ katanya.
“Apakah kamu mengikuti pelajaran itu?” Tanya saya lagi.
“Tidak. Saya tidak wajib ikut pelajaran itu. Saya pilih yang lain.”
Lalu kalau ada yang bertanya soal agamamu, apa jawabnya?”
“ Saya ateis!”
Saya terkejut campur kagum dengan jawaban anak remaja itu. Jawabannya sangat tegas. Tidak disangka dalam usia beliau seperti itu, ia sudah punya keyakinan bahwa Tuhan sesunggunya tidak ada, dan agama hanyalah aksesori kehidupan yang diciptakan oleh manusia.
Tony anak yang cerdas, dan menurut saya ia punya wawasan yang cukup luas untuk anak seusia dia. Pengetahuannya terhadap teknologi komunikasi dan informasi sangat baik. Ia penyuka photografi. Ia sempat pula mengajarkan saya tentang software yang bisa menghubungkan laptop dengan handphone android. Saya belum pernah menemukan ada anak di Indonesia, dalam usia sebelia ini, tapi punya pengetahuan tentang informati dan teknologi yang sangat bagus.
Berbeda dengan pasangan David dan Susan, anak lelaki Eliana lain, Andrew belum juga memiliki keturunan. Malah Andrew tidak pernah melakukan prosesi pernikahan. Sejak tahun 1998 ia hidup bersama Josephine dan memilih tinggal di New York. Sudah 14 tahun pasangan ini hidup bersama tanpa pernah mengalami badai keretakan dalam rumah tangganya. Eliana sendiri mengaku kalau Josephine adalah menantunya, meski anaknya Andrew tidak pernah melamar secara resmi wanita ini. Josephine bekerja sebagai konsultan sebuah perusahaan penerbitan di New York.
Saat acara family gathering keluarga Thompson beberapa waktu lalu di New York, saya sempat mampir dan menginap semalam di rumah pasangan ini. Mereka sangat ramah dan sopan. Saya tentu tidak mengusik-ngusik soal komitmen mereka soal hidup bersama. Namun dalam perbincangan santai dengan adik Andrew, Jessica, saya iseng pernah bertanya dengan halus mengenai masalah ini.
“Apakah kamu merasa bahwa Jesophine itu kakak iparmu?”
Dengan tegas Jessica menjawab, “Ya. Mereka sudah punya komitmen hidup bersama meski tanpa seremoni resmi,” ujarnya. Dan komitmen itu, menurut Jessica, tidak perlu disampaikan secara terbuka. Cukup dibuktikan dengan sikap mereka berdua saja.
“Mereka sudah hampir 16 tahun hidup bersama. Itukan menunjukan kalau mereka sepakat hidup berkeluarga,” tambahnya. Itu sebabnya, jika ada acara kumpul keluarga Thompson, Josephine tetap disertakan dalam pertemuan itu.
Jessica juga memberi contoh pada dirinya sendiri. Ia dan pacarnya belum pernah menikah. Tapi mereka saling menyukai dan menyayangi. “Saya bebas tidur bersama pacar saya kapan saja dan di mana saja. Yang penting tidak ada yang terganggu dan semuanya merasa nyaman,” katanya.
Malah ia balik bertanya kepada saya, “ Apakah Anda terganggu ketika saya dan pacar saya tidur sekamar waktu ia datang ke rumah kami?”
Saya tertawa terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan itu. Tentu saya menjawab tidak. Saya sudah pasti tidak punya hak untuk merasa terganggu di rumah itu. Saya sadar, saya hanya menumpang tinggal di rumah keluarga mereka sehubungan dengan program yang saya ikuti di Amerika. Malah gaya seperti itu kian memperkaya pengetahuan saya untuk lebih mengenal prinsip hidup orang-orang ateis.
Sama seperti abangnya Andrew, Jessica mengaku tidak terlalu peduli dengan ikatan perkawinan melalui proses pernikahan. Baginya, selagi sama-sama menyukai dan tidak saling menyakiti, mereka bisa menikmati hidup bersama. Entah kapan, tapi suatu saat nanti, Jessica berharap bisa hidup serumah dengan pacarnya di Amherst, Massachusetts.
Sebagai ateis, Jessica sama sekali tidak pernah canggung dalam bergaul dengan rekan-rekannya di kampus. Ia juga tidak pernah malu mengaku sebagai ateis. Bahkan ia merasa bangga, karena ateis merupakan gaya dan simbol bagi orang-orang yang punya prinsip hidup yang tegas. Tidak munafik. Lagi pula Undang-Undang Amerika melegalkan hak masyarakatnya untuk tidak percaya dengan agama.
“Saya merasa nyaman sebagai ateis di negeri ini,” ujarnya. Hidupnya juga merasa tenang tanpa pernah dibebani dengan istilah ‘dosa’ atau ‘pahala’. Kalaupun ada yang pahit dalam kehidupannya adalah saat kehilangan seorang ayah, Richard Thompson yang meninggal pada awal 2014 di usia 84 tahun.
Cerita ini kemudian mendorong saya mencari tahu prosesi kematian dalam keluarga ateis.
Jessica bercerita, tidak ada proses khusus untuk kematian orang-orang ateis. Semuanya bergantung pada keluarga yang ditinggal.
Sewaktu ayah mereka meninggal dunia, Jessica, ibunya Eliana serta David dan Andrew sepakat memutuskan untuk mengkremasi jenazah ayahnya. Lalu abu jasad itu ditebarkan di Danau Squam, New Hampshir. Danau ini menjadi pilihan, karena semasa hidupnya, Richard sangat menyukai danau ini dan kerap mengajak keluarganya bertamasya pada musim panas di tempat ini.
Berbeda dengan warga nasrani Amerika yang pada umumnya menyemayamkan jasad hingga beberapa hari sebelum pemakaman, jasad Richard hanya disemayamkan satu hari di rumah sakit menunggu keluarga berkumpul. Esok harinya langsung dikremasi.
Untuk acara penyampaian bela sungkawa dari para sahabat, dilangsungkannya sehari setelah pemakaman di memorial house, sebuah rumah jasa pemakaman di Amherst, sehari setelah pemakaman. Jadi para hadirin tidak lagi menyaksikan jasad di acara itu karena sudah dikremasi sebelumnya. Hanya terpampang sebuah photo Richard dalam ukuran besar di ruangan itu. Sedangkan Eliana, anak serta menantunya duduk di depan menerima ucapan belasungkawa dari para tamu.
Proses kremasi bagi jasad ateis adalah sebuah pilihan. Tidak semua ateis memilih kremasi untuk pemakaman anggota keluarganya. Ada juga yang dikubur di lokasi penguburan. Tapi di batu nisannya sama sekali tidak ada tanda salib atau simbol agama lainnya. Kalaupun ada yang diukir menghiasi batu nisan itu, paling hanyalah lambang negara Amerika Serikat atau hiasan lain yang disukai almarhum semasa hidupnya.
Misalnya ada yang menghiasai batu nisan dengan tongkat baseball, karena almarhum hobi bermain baseball. Ada pula yang mengukir dengan gambar burung, karena ia hobi memelihara burung, dan sebagainya. Semua itu adalah simbol bahwa dunia adalah syurga bagi para ateis.[]
Penulis sedang mengikuti Fellowship tentang Toleransi dan Kebebasan Beragama di Massachusetts, Amerika Serikat.