Sehelai bendera Aceh berkibar di gerbang pintu masuk kantor Walikota Subulussalam, sejak Senin, 8 September 2014 malam. Bendera berukuran 50x8o centimeter ini kemudian diturunkan oleh Polres Aceh Singkil, setelah mendapat laporan warga, Selasa, 9 September 2014 sore.
"(Bendera) itu dibuat dengan tangan, dari bahan cat pilox," kata Wakil Kepala Kepolisian Sektor Simpang Kiri, Inspektur Polisi Dua Muhammad Bahari, seperti dilansir viva.co.id.
Dari aroma cat yang menyengat, polisi juga menduga bendera belum lama dibuat. Hingga kini polisi belum mengetahui motif pengibaran bendera tersebut.
Polisi turut memintai keterangan warga sekitar untuk mengetahui pelaku pengibaran bendera tersebut. Bendera yang masih mengundang kontroversi itu kini diamankan di Markas Kepolisian Sektor Simpang Kiri.
Pengibaran bendera serupa diduga juga terjadi di beberapa lokasi lain di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil. Polisi terus memburu pelaku dan mengimbau warga untuk melapor bila menemukan bendera Aceh.
Sebagai catatan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menetapkan bintang bulan berlatar merah dengan garis hitam putih sebagai bendera Aceh, dalam Qanun Lambang dan Bendera Aceh. Bendera tersebut dulunya dipakai Gerakan Aceh Merdeka sebagai bendera perjuangan.
Namun qanun tersebut hingga kini belum mendapat persetujuan dari Pusat. Jika merujuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 145 ayat (7), tentang Pemerintahan Daerah, keberadaan bendera Aceh sudah sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Pasalnya, dalam UU tersebut disebutkan bahwa apabila dalam waktu 60 hari pemerintah pusat tidak membatalkan sebuah peraturan daerah (qanun) yang dibuat DPRD/DPRA karena dinilai tidak sesuai atau bertentangan dengan kepentingan umum, atau UU yang lebih tinggi, maka perda (qanun) itu bisa dibatalkan.
Dalam konteks Aceh, masa 60 hari yang diberikan UU kepada pemerintah pusat untuk mengoreksi dan membatalkan sebuah peraturan daerah yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan umum atau UU yang lebih tinggi, sudah terlewati.
Anehnya lagi, pada masa itu, pemerintah pusat membuat kesepakatan cooling down (menghentikan sementara) pembahasan bersama untuk beberapa pasal dari kedua qanun itu yang belum pas menurut pemerintah pusat.
Berdasarkan isi Pasal 145 UU tersebut otoritas atau kewenangan pemerintah untuk membatalkan kedua qanun tadi sudah tidak ada lagi, karena masa 60 hari itu sudah terlampaui.
“Atas dasar Pasal 145 ayat (1) sampai (7) UU 32 Tahun 2004 tadi, kami nyatakan Qanun Wali Nanggroe serta Qanun Bendera dan Lambang Aceh sudah sah dan legal secara hukum,” ujar Kepala Biro Hukum, Edrian, seperti dikutip serambinews.com, Sabtu, 14 September 2013 lalu.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus