WAKIL Perdana Menteri untuk Sumatra, Mr. Sjafruddin Prawiranegara datang ke Aceh pada 23 Agustus 1949 untuk berkantor di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Berangkat dari Yogyakarta ke Kutaraja, Sjafruddin mengajak salah seorang stafnya yang merupakan anak muda asli Aceh yaitu Hasan Tiro. Ketika itu, Hasan Tiro berusia sekitar 24 tahun, tercatat sebagai pegawai Kantor Penerangan di Yogyakarta.
Sjafruddin Prawiranegara sengaja mengajak Hasan Tiro sebagai pembantu (staf) sekaligus menjadi semacam penunjuk jalan ketika nantinya ia berada di Aceh. Sebab baru pertama kali itu Sjafruddin mengginjakkan kakinya di Tanah Rencong.
“Pemuda itu pegawai Kantor Penerangan yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah. Namanya Hasan di Tiro, cucu seorang pahlawan Aceh yang terkenal, Teungku Tjik di Tiro,” demikian keterangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam buku biografi “Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT”. Buku ditulis Ajip Rosidi itu, cetakan pertama tahun 1986, dan cetakan kedua 2011.
Saat itu, Sjafruddin Prawiranegara sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang sederhana itu, Hasan Tiro, kemudian akan menjadi pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ditemani Hasan Tiro, Sjafruddin Prawiranegara pergi ke Aceh dengan seluruh keluarga: istri dan empat orang anak. Menumpang pesawat Dakota yang tempat duduknya berjajar pada dinding sebelah kanan dan kirinya, mereka meninggalkan Yogyakarta dengan singgah sebentar di Jakarta, Palembang, dan Medan. Mereka tiba di Banda Aceh pada 23 Agustus 1949.
Sjafruddin Prawiranegara menyebut ia dan keluarganya tidak merasa terlalu asing saat berada di Kutaraja. “Kecuali mempunyai petunjuk jalan yang cekatan (Hasan Tiro), ternyata pula bahwa istri Tuanku Machmoed, Sultan Aceh yang tak bermahkota, adalah putri Sultan Serdang, Soelaiman Sjarifoel Alam, suami Tengku Darwisjah, nenek istri Sjafruddin. Dengan demikian istri Tuanku Machmoed itu masih kepernah bibinya”.
Sjafruddin Prawiranegara lantas berkenalan dengan Teungku Daud Beureueh. Ketika itu Daud Beureueh masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh yang diangkat oleh Pemerintahan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Melalui Daud Beureueh, Sjafruddin bekenalan dengan tokoh-tokoh penting Aceh lain, dan mengenal cita-cita para ulama yang bersatu dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang sangat berpengaruh di Aceh.
“Dari pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan para ulama, dan juga setelah memperhatikan hasrat rakyat Aceh sendiri, Sjafruddin dapat menangkap tentang adanya semacam keinginan yang kuat dalam masyarakat untuk membentuk Provinsi Aceh yang berdiri sendiri, terlepas dari Provinsi Sumatera Utara”.
Dalam buku biografinya tersebut, Sjafruddin Prawiranegara kemudian tidak lagi bercerita tentang Hasan Tiro muda. Akan tetapi, dari keterangannya di awal tadi ia telah menunjukkan kesan kekaguman kepada Hasan Tiro yang kemudian memimpin GAM. (Baca: 25 September Hari Lahir Teungku Hasan Muhammad di Tiro).
***
Mr. Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri untuk Sumatra sejak 4 Agustus 1949. Sebelumnya, Sjafruddin Prawiranegara pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para pemimpin yang lain ditangkap Belanda pada Agresi II, 19 Desember 1948.
Ketika membentuk PDRI itu, Sjafruddin Prawiranegara berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia berada di sana sejak 18 November 1948 untuk menyelesaikan masalah keuangan di Sumatera atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hatta memberi tugas tersebut kepada Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai pimpinan PDRI meyerahkan kembali mandat kepada Presiden Soekarno dalam sidang kabinet dipimpin Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta di Yogyakarta pada 13 Juli 1949.[] Sumber: Buku biografi “Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut kepada Allah SWT”.
Editor: Murdani Abdullah