TOKOH Gerakan Aceh Merdeka yang juga Tuha Peuet Partai Aceh Zakaria Saman mengusulkan agar bendera Aceh yang telah disahkan legislatif diubah. Usulan tersebut mengemuka dalam diskusi publik yang dilaksanakan Lembaga Aceh Centre pimpinan Zakaria Saman pada Kamis, 4 Desember 2014 di Banda Aceh. Di sana, Zakaria Saman turut membentangkan bendera alam peudeueng sebagai bendera pengganti bulan bintang yang tidak disetujui pemerintah Pusat.
Usulan Zakaria Saman ini bukan tanpa alasan. Pasalnya bendera dengan latar merah dan bintang bulan berwarna putih dan sebilah pedang tunggal di bawahnya tersebut merupakan bendera Kerajaan Aceh tempo dulu. Bendera ini juga disebut Alam Zulfikar.
Berdasarkan rujukan sejarah, bendera ini sudah dipakai pada masa Mughayat Syah memimpin Kerajaan Aceh Darussalam dari tahun 916-936 H atau sekitar tahun 1511-1530 M. Salah satu catatan yang menguatkan keberadaan bendera tersebut turut dirangkum dalam salah satu hadist maja Aceh:
"Di Aceh na Alam Peudeung, Cap Sikureung bak jaroe raja, dari Aceh sampoe u Pahang, hana soe tentang Iskandar Muda. Bangsa peutugeh angkatan meugah, abeh geupinah di Atjeh raya, u Melaka keudeh di piyoh, keunan pih troh geupicrok teuma. Iskandar Sani duk geunantoe, lakoe putroe Tajul mulia, kota Melaka teuma geu engkhoe, Petugeh diwo keudeh u Gua.”
Hadist maja ini pula yang pernah dikutip H.M Zainuddin dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara. Ia juga mencantumkan bendera Alam Peudeung dalam buku tersebut sebagai bendera Kerajaan Aceh Darussalam.
Dari dokumen ATJEHPOST, diketahui bendera ini sudah berkibar sejak penyatuan dua kerajaan kecil di ujung Sumatera: Meukuta Alam dan Darul Kamal. Penyatuan kerajaan inilah yang kemudian hari menjadi cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam yang kemudian menguasai Selat Malaka.
Selain Alam Peudeung, Aceh juga memiliki beberapa bendera lainnya yang kerap dipergunakan pada masa kerajaan. Seperti bendera dengan motif pedang tegak berdiri di samping gambar bulan yang disusun rapi dalam bentuk kaligrafi arab yang ditulis dengan tinta. Bendera tersebut merupakan bendera Kerajaan Pasai yang dipergunakan sebelum menggabungkan diri dengan Kerajaan Aceh.
Bendera ini masih tersimpan rijks museum yang memiliki catatan lengkap tentang perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda. Bendera tersebut disita oleh Belanda pada tahun 1840 dalam penyerbuan ke benteng Malaya saat melawan Kerajaan Aceh.
Hal senada disampaikan Sudirman, salah satu pegawai di Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut. Dirujuk dari opininya di kolom Serambi Indonesia, bendera Alam Peudeung merupakan bendera yang digunakan pada zaman Kerajaan Aceh.
Menurut Sudirman, kata alam berasal dari bahasa Arab yang berarti bendera dan peudeueng adalah pedang. Pemakaian kata alam yang berarti bendera juga terdapat dalam manuskrip kitab Tazkirat al Tabaqat Qanun Syara’ Kerajaan Aceh, karangan Syaikh Syamsulbahri yang disalin oleh Teungku di Mulik Sayyid Abdullah al-Jamalullail atas titah Tuanku Ibrahim al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan Alaiddin Mansur Syah pada 1272 H.
Dalam kitab tersebut disebutkan, “Bahwasanya kita semua satu negeri bernama Aceh, yakni satu negeri, satu bangsa, satu kerajaan, satu ‘alam (bendera), dan satu ajaran, yakni Islam dengan mengikut Syariat Nabi Muhammad atas jalan ahlussunnah waljamaah dengan mengambil hukum daripada Quran, Hadist, Qias, dan Ijma’ alim ulama ahlussunnah waljamaah dengan hukum, dengan adat, dengan reusam, dengan qanun, yaitu syara’ Allah, syara’ Rasulullah, dan syara’ kami bernaung di bawah panji-panji syariat Nabi Muhammad dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa.”
Ia turut merujuk penelitian yang dilakukan seorang sejarawan Belanda, Brooshoff, dalam buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886. Brooshoff menyebutkan, “De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang).”
Brooshoff tidak menyebutkan adanya bintang-bulan, tetapi keris bersilang. Keris yang dimaksudkan Brooshoff bisa saja berarti rencong atau pedang. Apalagi sebagai Belanda yang telah lama menjajah Jawa, Brooshoff diduga kesulitan mengartikan gambar tersebut dalam penelitiannya.
Selain itu, pengakuan bendera Alam Peudeung sebagai bendera Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah disampaikan J. Kreemer dalam bukunya Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en Onderhoorigheden, jilid II.
Kreemer menyebutkan bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan “Alam Radja”. Ia juga menyebutkan adanya pemakaian bendera lainnya saat situasi politik di Aceh berubah yaitu “alam merah” sebagai bendera perang dan alam putih pada saat damai atau takluk.
Tak hanya itu, Aceh juga memiliki bendera berwarna dasar merah dan di atasnya terdapat gambar sebilah pedang serta sebuah bulatan seperti bulan purnama berwarna putih. Dalam bulatan pada sudut kanan atas bagian luar bendera terdapat tulisan yang berbunyi, “Bismillahi majriha wa mursaha, innarabbi laghafurun rahim. Nasrun minallahi wa fathun qarib, wa basyasyrilmu’minin (Dengan nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang, pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan sampaikanlah berita kepada orang-orang yang beriman)”.
Sementara pada gambar sebelah dalam bendera terdapat tulisan: “Bismillahirrahmanirrahim, Asaduallahi alghalib, Ali ibnu Abi Talib Karramallahu wajhah, Nadi Aliyyan muzhiral aja’ib, tajib awnan lakafilnawa’ib, bikulli hammin wa ghammin sayajil, binubuwwatika ya Muhammad wa biwilayatika ya Ali, la fata illa Ali, la sayfa illa za’faqar, khairu khalqi arrahmani kabiru almuminin, ya huwa kabiran azim, ya man huwa, ya man la illaha illa huwa (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, singa Allah Ta’ala yang perkasa, Ali bin Abi Talib, semoga Allah memuliakan wajahnya, panggillah Ali yang dapat melahirkan berbagai keajaiban, Anda akan mendapat pertolongan dalam kesusahan, bagi tiap-tiap kegelisahan dan duka cita akan lenyap, dengan berkat kenabianmu ya Muhammad dan dengan pimpinanmu ya Ali, tiada pemuda (yang paling perkasa) selain Ali, tidak ada pedang (yang paling tajam) selain pedang zulfakar, makhluk yang paling baik dari Tuhan Yang Maha Pemurah! Orang-orang yang paling besar di antara orang-orang mukmin, wahai Dia, Yang Maha Besar lagi Maha Agung, wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia).
Pada bagian sebelah luar bendera di bagian gagang pedang terdapat tulisan, “Hadhalmurabba u kana mauwdhu an ala liwa’il Iskandar (Segi empat ini terletak pada bendera Iskandar).” Pada ujung pedang terdapat kalimat Laillahaillallah (Tiada Tuhan melainkan Allah). Dalam segi empat bendera tersebut terdapat pula 10 buah segi empat kecil yang memuat nama Allah sebanyak sepuluh nama, yaitu Qaim (menjaga), Qayyum (berdiri sendiri), Quddus (maha suci), Qadir (maha menentukan), Qawi (maha kuat), Qahir (maha menguasai), Qadim (tidak berawal), Qabid (menyempitkan rizki), Qarib (maha dekat), Qabilu l-tawab (maha menerima taubat).
Pada sekeliling segi empat bendera terdapat tulisan, “Wa ya qadiran ahlik aduwwi wolanda bi-kaidihi, aw muqtadiran arrazil kadzubal muqawilla wolandu, wa ya qadiran ahlik aduwwi wolanda bikaidihi wa muqtadiran arrazilkadqubalmuqawwila wolanda (Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa hancurkanlah musuhku Belanda dengan tipu dayanya, atau zat yang menguasai orang yang dihinakan, bagi pembohong dan banyak omong, yaitu orang-orang Belanda, dan wahai Tuhan Yang Maha Kuasa hancurkanlah musuhku Belanda dengan tipu dayanya, dan zat yang menguasai orang yang dihinakan; bagi pembohong dan banyak omong, yaitu orang-orang Belanda).
Kreemer menjelaskan bendera ini disita Belanda dalam peperangan melawan pasukan Kerajaan Aceh di Barus pada 1840. Saat itu, bendera tersebut dipakai sebagai bendera perang angkatan Kerajaan Aceh Darussalam.
Maka dengan penjelasan-penjelasan tersebut bisa disimpulkan bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah ada adalah Alam Peudeung. Namun bisa saja bendera ini digunakan kerajaan setelah menyatakan diri bagian dari kekhalifahan Turki Utsmany (Ottoman). Jika merujuk pada hal ini, berarti bendera ini lahir pada masa Sultan Alaadin Riayat Syah al Kahar pada 1537.
Saat sultan tersebut menguasai Kerajaan Aceh lah adanya kebijakan resmi menjalin hubungan dengan kerajaan Turki. Sebagai imbalannya, sultan Turki memberikan bantuan militer kepada Aceh untuk mengusir penjajahan Portugis.
“Kenangan-kenangan dari hubungan itu terus dihidupkan di Aceh dengan bendera merah Ottoman yang dikibarkan oleh para sultan dan meriam besar Lada Secupak yang ditempatkan di dalam (istana). Bendera dan meriam tersebut begitu dihormati di Aceh sebagai pemberian khalifah Turki dan sebagai lambang perlindungannya kepada kerajaan Aceh,” tulis Sudirman, Minggu 2 Juni 2013 lalu.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus