TIGA puluh empat tahun peperangan Belanda di Aceh telah menyebabkan banyaknya korban yang tewas di kedua belah pihak. Belanda yang ingin menguasai Sumatera secara utuh terus menerus mendatangkan bala tentaranya ke Aceh hingga berhasil merebut Darud Donya dan menangkap Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah.
Namun invasi militer yang dilakukan Belanda kerap berujung masalah bagi negeri Kincir Angin tersebut. Penguasa di tanah jajahan pun sering bertindak di luar instruksi Amsterdam yang mengakibatkan kerugian secara moral dan materiil bagi negara tersebut.
Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, menyebutkan banyak peristiwa yang tidak biasa terjadi di Aceh dengan mudah dapat dipergunakan oleh para pejuang untuk memperhebat semangat penduduk. Bahkan, van Daalen, salah satu perwira militer di Kutaraja (Banda Aceh) diisukan akan dipecat karena tidak mampu mematahkan perlawanan pasukan Aceh.
Apalagi serangan demi serangan terus dilancarkan di ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satunya adalah serangan yang dilakukan Keuchik Seuman dan rekan-rekannya, penyerangan di Peukan Bada, serangan di Seubo, Keumala Raja dan banyak lagi lainnya terus memompa semangat rakyat untuk melawan Belanda.
Kondisi tersebut diperparah dengan tindakan Belanda yang membuang Cut Nyak Dhien dalam usia renta di awal tahun 1907. Hal ini dianggap sebagai salah satu kelemahan Belanda yang tidak mampu meredam aksi perlawanan pasukan Aceh sehingga 'menjauhkan' tokoh pejuang ke pulau Jawa.
Pengasingan Sultan Aceh Muhammad Daud Syah ke Batavia juga menambah rapor merah bagi kekuasaan van Daalen saat itu di Kutaraja. Desas-desus yang terus berkembang dari Aceh hingga Amsterdam membuat nasib van Daalen seakan berada di ujung tanduk.
Nahasnya, van Daalen yang menggunakan mata-mata untuk mengintai kegiatan pasukan Aceh turut sial. Pasalnya, intel van Daalen terus mengeruk kantung perwira militer tersebut hingga kering.
Berita-berita yang tersebar dari wartawan freelance Belanda juga menyebabkan meluasnya informasi negatif pemerintahan van Daalen. Bahkan juruwarta juga turut menyebarkan hal-hal rahasia strategi van Daalen sehingga diketahui pihak kerajaan Belanda.
Mengatasi hal tersebut membuat van Daalen murka. Sebagai Gubernur Hindia Belanda di Aceh, ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengurangi pemberitaan negatif terhadapnya. Ia kemudian mengeluarkan "verordening" militer pada 10 Oktober 1907. Surat ini berisi tentang larangan penduduk menyiarkan berita-berita, yang katanya, tidak benar. Padahal yang dimaksud sesungguhnya adalah berita-berita yang merugikan dirinya pribadi.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus