SUATU malam di awal Desember 2014, saya menumpang mobil seorang tokoh GAM. Kami memutar keliling Banda Aceh. Ia berbicara banyak hal. Tapi ia tak ingin dijadikan narasumber. Jika pun ceritanya hendak ditulis, ia menolak namanya disebutkan. Maka malam itu, ia menumpahkan segala keluh kesahnya.
"Lon hireuen ngon perubahan sikap Doto Zaini jinoe. Ureung-ureung seperjuangan ka geutinggai (saya heran dengan perubahan sikap Doto Zaini sekarang. Orang-orang seperjuangan telah ditinggalkannya)," kata lelaki itu.
Doto Zaini yang dimaksud adalah Zaini Abdullah, Gubernur Aceh pemenang Pilkada 2012 dan dilantik oleh Mendagri pada 25 Juni 2012. Sebelumnya, Zaini mendapat suaka politik di Swedia sejak awal 1980-an dan mengantongi status Warga Negara Swedia. Zaini baru kembali menjadi Warga Negara Indonesia saat hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh. Sementara istrinya, hingga kini masih berstatus warga negara Swedia.
Menurut sang tokoh GAM ini, Zaini yang sekarang sangat berbeda dengan yang pernah dikenalnya dulu. Ia ingat benar, dulu saat digembleng oleh Hasan Tiro di luar negeri, mereka disumpah dengan satu semboyan: "nyawoeng ulon, hareuta ulon, keu bangsa Aceh (nyawa saya, harta saya, untuk bangsa Aceh)."
Kini semboyan itu, kata sang tokoh GAM, seperti berbalik arah. "Sekarang yang terjadi sebaliknya. Bukan lagi harta saya untuk Aceh, tapi harta Aceh untuk saya."
Sepanjang jalan ia terus berbicara. Saya mencoba menjadi pendengar yang baik. Mobil terus melaju. Dari pusat kota, kini mobil mengarah ke Ulee Lheue.
Kriing! Telepon genggam milik sang tokoh GAM itu berdering. Nomor yang muncul di layar berkode negara Malaysia. Rupanya yang menelepon adalah tokoh GAM lain yang menetap di Malaysia. Tokoh GAM yang semobil bersama saya membunyikan speaker supaya saya bisa mendengar suara di ujung telepon.
"Geutanyoe ka salah ta pileh ureueng keu ulee pemerintahan. Nyan jinoe kadeueh pakriban asli jih Doto Zaini (Kita sudah salah memilih orang untuk kepala pemerintahan. Sekarang sudah kelihatan aslinya Doto Zaini seperti apa)," kata tokoh GAM Malaysia di ujung telepon.
"Nyang na jipike syit keu adoe dan keluarga droe (yang dipikirkan hanya untuk adik dan keluarga sendiri)," tambah lelaki di ujung telepon.
Tak berhenti di situ, masih banyak makian dan sumpah serapah yang meluncur, namun tak elok saya kutip dalam catatan ini. Setidaknya, perbincangan malam itu memberi gambaran kepada saya Zaini Abdullah kini bahkan tak disenangi orang-orang yang pernah dekat dengannya.
Sekilas, sulit mempercayai Doto Zaini di usianya yang 74 tahun kini menjadi sosok yang kontroversi. Yang paling mengejutkan, Zaini bahkan kini tak lagi seia sekata dengan Malik Mahmud, rekan seperjuangan yang dulu mendorongnya agar maju sebagai calon Gubernur Aceh.
"Dulu ketika Doto Zaini diusulkan sebagai calon gubernur, Muzakir Manaf berdiri di barisan depan membela. Kata Muzakir, kalau bukan kita yang memuliakan orang tua kita siapa lagi," kata tokoh GAM itu.
Namun itu kisah dua setengah tahun silam. Kini, sudah bukan rahasia lagi, hubungan Doto Zaini dan Muzakir Manaf kian memburuk. Salah satu yang sering disebut-sebut sebagai pemicunya adalah Doto Zaini tak ingin pamor Muzakir Manaf mengalahkan dirinya. Itu sebabnya, dalam sejumlah hal, Doto Zaini membatasi kewenangan Muzakir Manaf.
Dampak dari perseteruan itu merambat ke segala hal: ekonomi, politik, dan pemerintahan.
Di bidang ekonomi, Aceh terancam kehilangan 30 persen saham di proyek revitalisasi dan regasifikasi kilang Arun. Ini terjadi setelah Gubernur Zaini membatalkan surat Wagub Muzakir Manaf yang menyatakan mendukung agar investor Artanusa Trada tetap melanjutkan kerjasama dengan Perusahaan Daerah Pembanguna Aceh (PDPA). Sementara Gubernur Zaini Abdullah justru ingin mendepak Artanusa dengan meminta saham mayoritas 51 persen untuk Pemerintah Aceh, hal yang dianggap tidak wajar mengingat modal kerja semua ditanggung Artanusa. Konyol!
Di ranah politik, Doto Zaini baru saja kehilangan masa bulan madu dengan DPR Aceh setelah adiknya Hasbi Abdullah tak lagi menjabat Ketua DPR Aceh. Posisi Ketua DPR Aceh kini diduduki Teungku Muharuddin, orang yang ditunjuk Muzakir Manaf bersama Pimpinan Partai Aceh. Sementara Zaini ingin posisi itu diduduki Ridwan Abubakar alias Nek Tu.
Saat penentuan Ketua DPR Aceh sementara, Zaini bersama Tuha Peuet Partai Aceh bahkan mengirim surat ke DPR Aceh supaya Nek Tu yang mendapat posisi itu. Sementara dari pimpinan Partai Aceh menunjuk Muharuddin.
Dua surat itu sempat membuat Sekretaris Dewan Hamid Zen kebingungan. Untunglah Malik Mahmud bersikap lebih rasional. Saat mendapat penjelasan bahwa yang berlaku adalah surat yang diteken oleh Ketua dan Sekjen partai, Malik Mahmud dapat menerimanya. Maka duduklah Muharuddin sebagai Ketua DPR Aceh.
Perkara ambisi Doto Zaini menempatkan Nek Tu di kursi ketua dewan barangkali tidak akan muncul ke publik andai saja Nek Tu tak bikin ulah di gedung dewan. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Aksi itu berubah menjadi blunder yang memercik noda ke wajah sendiri.
Di bidang pemerintahan, juga sudah bukan rahasia lagi Doto Zaini mencopot pejabat yang dianggap dekat dengan Muzakir Manaf. Beberapa kali itu dilakukan saat Muzakir sedang di luar kota. Walhasil, pemerintahan kacau balau. Para kepala dinas ciut nyalinya. Mereka tak berani berkoordinasi dengan wakil gubernur lantaran kuatir dianggap sebagai orangnya Muzakir Manaf. Jika stempel itu sudah melekat, artinya waktu pencopotan sudah dekat.
"Maaf cakap, Doto Zaini yang sekarang seperti orang yang tak punya hati," sergah tokoh GAM itu saat mobil yang membawa kami keliling sampai di kawasan Ulee Lheue.
Mendengar curhat sang tokoh GAM itu, saya seolah menemukan makna adagium "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" yang dipopulerkan Lord Acton. Meski Acton membuat adagium itu untuk memprotes kekuasaan absolut gereja Katolik Romawi pada 1870, hari ini saya menemukan makna adagium itu pada gubernur kita. Kekuasaan, tampaknya, telah membuat Doto Zaini lupa pada tujuan awal perjuangan yang dibangun dengan pengorbanan nyawa, darah dan air mata rakyat Aceh.
Malam itu kami berkeliling selama dua jam. Saya membiarkan orang itu menumpahkan isi hatinya. Ia terlihat memendam rasa kecewa yang dalam. Teramat dalam..[]
Editor: Yuswardi A. Suud