SEJUMLAH Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal yang diamankan di Aceh Utara mengaku pulang menggunakan boat tongkang dengan merogoh kocek 600 ringgit atau setara Rp 2juta per orang. Ongkos itu untuk biaya perjalanan rute Penang – Aceh.
Salah seorang TKI asal Medan Tembung, M Din Lubis, 33 tahun kepada ATJEHPOST.com mengungkapkan, mereka menempuh perjalanan laut selama satu hari dua malam. Setelah terombang – ambing di laut lepas, akhirnya mereka terdampar di Seunuddon. Padahal sebelumnya mereka dijanjikan tiba di perairan Idi, Aceh Timur.
“Saya ditipu oleh agen TKI dan sudah bekerja di Penang selama 1 tahun 9 bulan. Saya sudah kasih uang untuk urus permit, tapi tidak diurus. Saya memilih pulang dari jalur belakang karena tidak mau ditangkap Police Malaysia, apalagi sampai dipenjara tiga bulan,” ujarnya.
Ramlah, 50 tahun, TKI asal Seunebok Teungoh, Idi, Aceh Timur menimpali, ia dipulangkan oleh majikannya kea gen karena sering sakit-sakitan.
“Saya baru kerja dua bulan sebagai pembantu rumah tangga. Namun majikan saya kembalikan kea gen karena saya sering sakit. Oleh agen, saya dipulangkan ke Indonesia dengan boat tongkang. Untuk ongkos pulang Rp 2juta saya peroleh dari anak saya yang ditransfer ke rekening agen,” ujarnya.
Kata Ramlah, ia belum mendapat gaji. Pasalnya sesuai perjanjian, gaji 3 bulan pertama diambil untuk agen.
Salah seorang TKI lainnya mengatakan, ia bekerja di Malaysia sebagai penjaga kantin. “Saya masih hidup permit, namun karena dua anak saya tidak ada dokumen maka saya memilih pulang menaiki boat. Saya tidak menyangka diturunkan di Seunuddon, karena janjinya ditirunkan di Idi, Aceh Timur. Di sini (red-Seunuddon) kita Cuma didata dan diperiksa barang bawaan,” tutupnya.
TKI paruh baya wanita lainnya asal Lhokseumawe menambahkan, ia pulang dengan membawa dua anak laki-laki. Satu anaknya, sedangkan satu lainnya anak temannya yang dititip pulang.
“Saya pulang bersama anak saya. Namun teman saya ikut menitip anaknya juga. Biar anak saya anak teman, makanya saya bawa pulang,” pungkas wanita berambut pendek itu.
Editor: Murdani Abdullah