KETUA Umum DPP Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra), Fazlun Hasan, menilai cara pandang Pemerintah Pusat terhadap GAM atau Aceh selalu salah.

Pernyataan ini terkait statemen Menkopolhukam Tedjo Edi Purdijatno, yang menyebut penggantian bendera Aceh yang ada unsur GAM-nya sebagai salah satu syarat mutlak negosisasi dengan pemerintah Aceh.

“Cara pandangan Pusat terhadap GAM dan Aceh selalu salah. Ini yang menyebabkan aturan turunan UUPA tidak selesai hingga kini,” ujar Fazlun Hasan, kepada Atjehpost.Co, Rabu 19 November 2014.

Perlu diketahui, kata Fazlun, MoU Helsinki adalah sebuah konsensus politik yang melahirkan perdamaian. Hasil ini kemudian membuat GAM menjadi sipil biasa dan warga negara yang taat pada konstitusi. Perjanjian di Helsinki juga melahirkan UUPA.

“Di DPR Aceh juga diwakilkan oleh semua partai. Bahkan mayoritas adalah politisi partai nasional. Mereka melahirkan qanun, salah satunya adalah bendera Aceh. Nah, itulah bentuk nasionalisme Aceh yang seharusnya dihargai,” ujarnya.

Dalam qanun Aceh, kata Fazlun, bendera nasional tetap merah putih. Bahkan, qanun mensyaratkan bendera merah putih harus lebih tinggi saat dikibarkan bersama bendera Aceh.

“Tapi pemerintah pusat selalu berpikir negatif. Hal inilah yang membuat aturan turunan UUPA tak kunjung selesai. Padahal, Pemerintah Pusat tak ada ruginya mengesahkan bendera Aceh,” ujarnya lagi.

“Pemerintah Pusat setengah hati dalam perdamaian dengan Aceh. Fopkra sebagai elemen sipil akan tetap menuntut seluruh aturan turunan UUPA. Kita minta Pusat menghargai DPR Aceh. Tak perlu ada kecurigaan karena dunia internasional memantau perdamaian Aceh seperti Uni Eropa,” kata Fazlun lagi.[]