ALKISAH Apa Ben suatu ketika dapat amanah menjaga harta Ampon Banta yang sudah lama menetap di Betawi. Ampon Banta menitip sawah dan kebun serta lampoh trieng dan abeuk meria. Letak kebun dan sawah dalam satu kesatuan di ujung desa kami. Dari kebun sampai sawah jumlahnya kira kira 10 amah. Di kampong kami satu amah lebih kurang 2.500 meter. Artinya 10 amah sama dengan 2,5 hektar.
Nah, dari lahan seluas itu siamah adalah abeuk meria (rawa rumbia). Dalam rawa ini terkenal banyak ikan. Kalau sudah kemarau abeuk ini mengering. Air dan ikan berkumpul dalam mon anoe, yaitu sumur berpasir yang letaknya hampir ketengah abeuk meuria. Luasnya kira kira sigupang. Kalau si amah itu sama dengan 4 gupang.
Nah setiap kemarau biasanya orang orang di gampong akan mendatangi mon anoe dengan membawa amak (sejenis timba yang dari kolopak daun pinang). Mereka menggunakan amak bertali yang masing masing ujungnya dipegang satu orang. Artinya satu amak dua orang.
Biasanya warga yang mengambil ikan di mon anoe membawa beras atau asam sunti untuk si pemilik mon anoe atau untuk orang yang menjaga. Ini sebagai syarat adat. Di kampong kami ikan paya tabu diperjualbelikan.
Tahun itu, Apa Ben yang akan menerima pemberian itu selaku orang yang dapat amanah menjaga milik Ampon Banta. Nantinya, asam sunti dan beras itu akan dibagi rata antara Apa Ben dan Ampon Banta. Hak ampon dijual dan dikirim ke betawi.
Nah disinilah cerita dimulai. Sekitar sebulan seusai panen abeuk meuria mulai mengering karena kemarau. Airnya hanya tinggal dalam mon anoe saja. Ini saatnya para warga jak "seumeuseuet" mon anoe.
Usai shalat magrib di meunasah, mereka berkumpul di meunasah untuk menentukan harinya. Apa Ben juga hadir. Sejumlah orang yang tidak suka ikan paya juga hadir di situ. Mereka percaya ikan paya itu anak jin sehingga tidak afdol di makan.
Ketika musyawarah sedang seru-serunya seorang yang tidak suka ikan paya nyelutuk "hai nyan thon nyoe beda beh sabab Apa Ben hek jak tiek rangkeum lam mon anoe".
Apa Ben langsung terkesiap dan menyela, "menye kon leu kutiek rangkeum trieng cit kabeh dipajoh le meurua" sambil membusungkan dada.
Suasana di menasah pun hening. Mereka sudah menduga, pantang ada yang memancing pasti Apa Ben berulah. Akhirnya mereka bertanya apa maunya Apa Ben. Sebentar memutar otak, Apa Ben kemudian bilang soal perubahan pembagian hasil mon anoe.
“Bagian yang mana lagi?” warga bertanya. Apa Ben menjawab, warga diwajibkan tetap membawa asam sunti dan beras seperti biasa dan tambahannya adalah sepertiga hasil ikan. Jawaban Apa Ben membuat warga bingung, mereka saling pandang. Ini tak lazim.
Soalnya dalam adat kampong, beras dan asam sunti itu dimaksudkan sebagai ganti beli ikan. Sedangkan perolehan ikan nantinya dibagi rata. Pemilik juga dapat sama besar dengan anggota seumeusuet yang berjumlah 40 orang.
Jadi sejak Apa Ben dapat amanah menjaga lahan Ampon Banta maka istilah "sigo pajoh sapo” tak berlaku lagi. Sontak warga menolak syarat Apa Ben. Namun ia tetap pada pendiriannya. Beberapa orang mencoba membujuk Apa Ben. Ia menggeleng kepalanya.
Hari berganti minggu. Mon anoe makin mengering. Apa Ben tetap pada prinsipnya.
Berselang sepuluh hari, pagi-pagi sekali Apa Ben mengunjungi mon anoe. Ia sumringah membayangkan hasil berlipat ganda dari ikan paya. Naumun, begitu ia berdiri di tepi mon anoe, matanya melotot. Diusap-usapnya seperti tak percaya melihat begitu ramai biawak berpesta pora dalam lumpur mon anoe. Melahap ikan hingga ludes. Apa Ben terduduk lemas.
Bang Maun, warga gampong yang kini sibuk dengan gadget barunya, melihat Apa Maun yang termenung di tepi mon anoe. Ia bertanya, “pakon Apa Ben?”. Ia menunjuk ke dalam mon anoe. “Khak,” Bang Maun tertawa lalu menutup mulutnya cepat-cepat agar Apa Ben tak murka lantas ngacir ke warung kopi di pojok kampong.
Di sana ramai warga sedang menyeruput kopi dan sarapan pulot panggang. Bang Maun yang baru tiba langsung ambil posisi kursi di tengah, ia bercerita tentang pertemuannya dengan Apa Ben. Serempak warga tertawa.
“Pu na berita uroenyoe Bang Maun?”
Sigap Bang Maun mengeluarkan gadgetnya, ia mengklik alamat sebuah situs berita lokal. Mereka beramai-ramai menyimak Bang Maun membaca berita soal Turbin Arun dan pipa gas dan regasifikasi Arun. “Nyan na can lagee Apa Ben, Aceh hana murumpok sapue. Nyoe pekara hana pu jak peusalah gob haree.”
Mereka berdiskusi panas soal Arun, pada kesimpulannya warga berpendapat jika sumber pendapatan bagi Aceh itu nanti gagal tentu harus ada yang bertanggungjawab.
Bila akhirnya Aceh harus kehilangan semua ini karena ulah segelintir kerabat dan kroni itu, maka pemegang mandat rakyat akan dikutuk sampai entah berapa generasi nanti. Seperti kita mengutuk Pang Tibang.
Pertanyaannya, mengapa buah perjuangan panjang dan mengorbankan begitu banyak nyawa dan materi harus terhempas hanya untuk kepentingan keluarga dan para penjilat di sekitarnya?
Kasihan, jika ia makin jauh dari perjuangan menegakkan marwah bangsa. Sibok bak peutimang mbong dan puja puji para penjilat, ia terbuai hingga melupakan perjuangannya yang puluhan tahun. Mereka yang dulu lawan kini menjadi penuntun. Kawan seperjuangan kini adalah lawan.
Kembali ke kisah Apa Ben tadi, perilakunya membuatnya gigit jari, warga tak dapat hasil, bahkan Ampon Banta si pemilik lahan pun rugi. Siapa yang untung? Ya para biawak.[]
Editor: Nurlis E. Meuko