SEBAGAI pusat Kerajaan Aceh Darussalam, Banda Aceh melahirkan beberapa tokoh penting yang dikenal dunia. Namun tokoh yang lahir, besar, dan mangkat di Banda Aceh tersebut bukan hanya berasal dari kalangan pria saja, melainkan juga wanita. Sebut saja di antaranya Putri Kamaliah alias Putroe Phang, Sri Ratu Safiatuddin, dan Laksamana Malahayati.
Peran wanita-wanita asal Banda Aceh ini begitu besar di masanya. Mereka disegani oleh kawan dan lawan. Perannya dalam percaturan politik kerajaan juga tidak kalah dengan kaum lelaki Aceh sehingga patut diingat oleh generasi penerus hingga sekarang.
***
TERLETAK di tengah-tengah Kota Banda Aceh, taman itu masih menyimpan jejak sejarah masa silam. Di dalamnya ada aliran Krueng Daroy. Ada juga sebuah kolam yang bagian tengahnya berdiri sebuah bangunan setinggi tiga meter dengan luas 3 x 2 meter. Bangunan itu bernama Pintô Khôp atau Pintu Biram Indrabangsa. Untuk sampai ke sini, orang harus berjalan di atas sebuah jembatan rangka besi warna putih yang berderit dan bergoyang ketika dipijak.
Taman itu bernama Putroe Phang. Sejarah mencatat, di taman itulah salah satu permaisuri Sultan Iskandar Muda sering menghabiskan waktu. Dalam kitab Bustanussalatin yang dikarang oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri, taman itu disebut Taman Ghairah, atau dalam bahasa Arab dinamai Taman Khayali. Inilah taman yang dibangun Sultan Iskandar Muda sekitar abad ke-16 untuk permaisurinya Putri Kamaliah atau lebih dikenal Putroe Phang.
Putri Kamaliah merupakan salah satu permaisuri Iskandar Muda yang dinikahi setelah meninggalnya Putri Sendi Ratna Istana. Dia merupakan keluarga Diraja Pahang yang kemudian dikenal dengan sebutan Putroe Phang.
Kedudukan Putri Kamaliah dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai permaisuri, tetapi juga penasihat bagi suaminya, Sultan Iskandar Muda. Salah satu nasihatnya yang dilaksanakan Iskandar Muda dan menjadi sejarah terbesar dalam hukum tata negara Aceh adalah pembentukan sebuah lembaga yang mirip Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) zaman sekarang. Nama majelis ini Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang mewakili penduduk dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Nasihat pembentukan Majelis Mahkamah Rakyat ini kemudian dijadikan hak karya intelektualitas Putroe Phang melalui hadih maja (kata berhikmat) rakyat Aceh yang masih populer hingga sekarang, “Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara. Adat Meukoh Reubông, Hukôm Meukoh Purih, Adat Jeut Barangkaho Takông, Hukôm Han Juet Barangkaho Takih.”
Hadih maja ini maknanya, “Adat dari Almarhum Mahkota Alam (Sultan), Hukum dari Syiah Kuala (Ulama), Qanun dari Puteri Pa-hang, Reusam dari Bentara (Ulèebalang). Adat Dapat Dipotong Seperti Memotong Rebung, Hukum Seperti Memotong Sagak (Ujung Buluh Keras), Hukum Tak Dapat Diatur dengan Semena-Mena (Melainkan Wajib Didasarkan Quran dan Hadis).”
Nasihat Putroe Phang ini kemudian diatur dalam produk hukum. Secara struktural, Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin eksekutif tertinggi yang dibantu beberapa pejabat tinggi. Mereka adalah Qadhi Malikul Adil dengan empat orang mufti di bawahnya, Menteri Dirham (Keuangan), Baitul Mal yang di bawahnya ada Balai Furdhan (Bea Cukai).
Di samping lembaga eksekutif, terdapat pula lembaga musyawarah. Lembaga itu di antaranya, Balairung Sari yang terdiri dari empat anggota hulubalang, Balai Gading yang terdiri dari 22 ulama; dan Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Parlemen) yang terdiri dari 73 anggota dan mewakili setiap mukim (daerah).
Balai Sari dan Balai Gading masih merupakan rumpun lembaga eksekutif, sedangkan Balai Majelis Mahkamah Rakyat masuk dalam rumpun lembaga legislatif. Lembaga-lembaga ini secara resmi dibentuk pada 12 Rabiul Awal 1042 (1633) dan ditulis dalam suatu undang-undang yang disebut Qanun Al-Asyi Darussalam.
Di masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, wanita negarawan asal Aceh lainnya, penerapan kelembagaan ini dikuatkan dengan mengisi 17 orang wanita di dalamnya. Berdasarkan buku yang dikarang Ali Hasjmy berjudul Wanita Aceh: Sebagai Negarawan dan Panglima Perang, disebutkan ketujuh belas wanita tersebut disisip dalam anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Mereka adalah Sinyak Bunga, Sinyak Halifah, Sisah Gana, Sinyak Mahkiah, Sinyak Manisa, Sitti Cahya, Sinyak Bukiah, Sinyak Ukah, Sinyak Puwan, Sinyak Sahadaka, Sinyak Manyak, Sinyak Rihai, Sinyak Madijan, Sinyak Habibah, Sinyak Awan, Sinyak Maneh, dan Sinyak Mawar.
Selain menguatkan aturan ketatanegaraan yang dirintis Sultan Iskandar Muda bersama Putroe Phang, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin juga menetapkan lembaga kenegaraan Aceh menjadi Tiga Sagi (Lhèe Sagoe).
Hal tersebut ditegaskan Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad. Dia menilai Sri Ratu Safiatuddin sebagai seorang yang mempunyai kebijaksanaan dan kemampuan luar biasa.
“…Kelebihan Tajul Alam dalam kenegaraan terlihat pula dari kuatnya dukungan para menteri, orang besar, dan para ulama atas-nya. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua orang cerdik pandai dan berpengaruh dengan kuat mendukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar Raniri dan Syekh Abdurrauf sendiri…”
Kendati kedua perempuan Aceh ini memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menjalankan hukum ketatanegaraan, sisi wanitanya tak pernah lekang oleh kekuasaan.
Simaklah kisah Putroe Phang seperti dinukil dalam buku karya Ali Hasjmy. Kisah ini merujuk pada hikayat Malem Dagang.
Disebutkan, saat itu Sultan Iskandar Muda bersama Armada Cakra Donya Kerajaan Aceh Darussalam hendak mengusir Portugis di Selat Malaka. Sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, Putroe Phang mengantarkan sultan ke gerbang istana Darud Dunia. Dalam pesannya, Putroe Phang mengawali dengan peta perjalanan yang akan dihadapi Iskandar Muda.
“Harap Tuanku waspada, dalam melayari Selat Malaka akan Tuanku hadapi tiga bahaya. Yang pertama gelombang besar, bahaya kedua di Asahan. Tuanku dihadang Raja Muda, yang ketiga bahaya di Banang, tiga aulia bermakam di sana. Karena itu Tuanku, Banang jangan dihancurkan,” kata Putroe Phang.
Selain itu, sebagai seorang istri, dia kembali bertutur kepada Iskandar Muda, “Kalau jadi Tuanku berangkat, tinggal di mana putri yang hina. Demi Allah, Tuanku jangan pergi sebelum pasti kami tinggal di mana. Ampun Tuanku Duli Syah Alam. Kupegang di tangan, berangkat jangan. Kalau Tuanku menempuh daratan, musuh datang lewat lautan, Putri ditawan dalam istana…”
Banda Aceh masih memiliki sosok pemimpin perempuan besar lainnya. Ratu Naqiatuddin Syah, misalnya. Dia merupakan penerus yang telah dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin sejak berumur tujuh tahun.
Di masa kepemimpinan Naqiatuddin, terjadi pergolakan politik dari luar dan dalam ne-geri. Serangan-serangan yang dilakukan oleh Portugis untuk merongrong kedaulatan Aceh tidak kalah beratnya dengan propaganda politik yang dilakukan kaum wujudiyah. Kaum ini merupakan oposisi yang menentang pemerintahan ratu. Di masa kepemimpinannya, Masjid Raya Baiturrahman dan Kota Banda Aceh dibakar oleh kaum pemberontak di bawah kepemimpinan Syarif Husein.
Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Negarawan dan Pemimpin Perang Aceh, untuk mengantisipasi hal ini Ratu Naqiatuddin mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam dengan petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu, maka kedudukan ketiga panglima sagi menjadi sangat kuat, dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seorang sultan.
Setelah Naqiatuddin Syah mangkat, estafet kepemimpinan wanita di Banda Aceh diberikan kepada Ratu Inayat Zakiatuddin Syah. Dia merupakan ratu ketiga dalam Kerajaan Aceh. Dalam kitab Bustanus Salatin, karangan Syeikh Nuruddin Ar Raniry dituliskan, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah awalnya dikenal dengan nama Putri Raja Setia Binti Sultan Muhammad Syah. Namun setelah dilantik menjadi ratu, ia mendapat gelar Paduka Seri Sultanah Inayat Syah Zakiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fir Alam.
Sementara itu, Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail dalam “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” menjelaskan, menurut orang-orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1684, umur Ratu Inayat Zakiatuddin Syah waktu itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai seorang yang berbadan tegap dan memiliki suara yang keras.
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dalam memimpin kerajaan Aceh menggunakan Syaikh Abdur Rauf yang dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala sebagai mufti sekaligus penasehatnya. Hoesien Djajadininggrat dalam buku “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah juga meminta Syaikh Abdur Rauf, ulama besar Aceh untuk mengarang kitab yang berisi tentang ulasan dan kumpulan Arba’in kompilasi 40 hadis yang berasal dari Nawawi.
Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail mengungkapkan, pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, beberapa utusan luar negeri datang ke Aceh membuka diplomasi, di antaranya dari Mekkah dan Inggris. Pada tahun 1684 utusan dari Kerajaan Inggris mereka datang melalui Madras, ketika sampai di Aceh utusan Inggris menghadap Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dan memohon kepada ratu agar diizinkan mendirikan sebuah kantor dagang yang diperkuat dengan benteng pertahanan sendiri.
Dengan tegas permintaan itu ditolak oleh Ratu Inayat Zakiatuddin Syah. Sebagai penguasa kerajaan Aceh ia menyadari dan mengerti arti sebuah benteng pertahanan bagi warga asing di wilayah kekuasaannya. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah hanya mengizinkan pihak Inggris mendirikan kantor maskapai perdagangannya di pelabuhan Aceh.
Pihak Inggris tidak diizinkan mendirikan benteng pertahanan di Aceh dengan penjelasan bahwa kerajaan Aceh mampu memberikan perlindungan bagi pihak asing yang membuka kantor perdagangannya di Aceh. Jawaban tegas tapi diplomatis dari Ratu Inayat Zakiatuddin Syah menunjukkan ketangguhan politik sang ratu dalam menjalin hubungan dengan luar negeri.
Selain itu, masa pemerintahan ratu ketiga ini juga dilengkapi dengan mengeluarkan mata uang emas milik kerajaan. Mata uang emas tersebut menjadi alat tukar sah di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Sejarawan terkenal dari Aceh, T. Ibrahim Alfian dalam bukunya Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, menjelaskan bahwa kadar emas dalam uang tersebut yaitu 17 karat, berdiameter 13 mili meter (mm) dengan berat 0,55 gram.
Pada bagian muka uang emas itu tertulis dengan aksara Arab, Paduka Seri Sultanah Inayat Syah. Sedangkan pada bagian sisi belakang tertulis Zakiat at-Din Syah Berdaulat. Ratu Zakiatuddin Syah memerintah di Kerajaan Aceh selama sebelas tahun dari tahun 1677 hingga 1688.
Wanita selanjutnya yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Ratu Kamalat Syah.
Kepemimpinannya sebagai ratu keempat Kerajaan Aceh Darussalam sangat ditentang oleh beberapa pihak. Di antaranya yaitu Maharaja Lela Abdurrahim yang mengklaim sebagai pewaris tahta sah dari keturunan Bugis. Selain itu, kepemimpinannya juga diganggu oleh kehadiran syarif dari Mekkah yaitu Syarif Hasyim Jamalul’l. Dia merupakan warga negara Malaka yang memiliki kewarganegaraan Inggris.
Awalnya para oposisi tidak berhasil menggulingkan pemerintahan ratu disebabkan peranan Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf as Singkili yang bijaksana. Namun, kekuasaannya yang memilih melaksanakan pembangunan di dalam negeri runtuh saat Syekh Abdurrauf meninggal dunia. Oposisi yang semula terpecah menggabungkan diri untuk mengusung Syarif Hasyim menjadi raja. Sejak saat itu, berakhir pula kekuasaan ratu di Aceh.
Aceh juga memiliki panglima perang wanita yang tangguh. Laksamana Malahayati adalah salah satunya. Dia merupakan Komandan Protokol Istana Darud Dunia di masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah Al Mukamil. Nama aslinya adalah Keumalahayati yang merupakan wanita dari kalangan istana. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah Putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati diangkat menjadi laksamana oleh Sultan Aceh setelah suaminya meninggal dalam peperangan melawan armada laut Belanda pimpinan Cornelis De Houtman. Malahayati yang menaruh dendam kepada Belanda akhirnya meminta Sultan Aceh untuk memberinya keleluasaan membentuk Armada Inong Balèe, yang berisi 2.000 janda pahlawan Perang Aceh. Setelah pembentukan pasukan Inong Balèe, Malahayati yang telah mengenyam pendidikan perang di akademi militer menjadi panglima dan langsung menghadapi armada laut Belanda.
Dia berhasil membunuh Cornelis De Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, pada 11 September 1599. Selain sebagai panglima militer, Malahayati juga cakap dalam ilmu tata negara dan diplomasi politik dengan negara asing. Belanda yang mencoba memperbaiki hubungan dengan Kerajaan Aceh Darussalam usai peristiwa De Houtman bersaudara mengirimkan utusan yang membawa surat istimewa dari Prince Maurits. Dia merupakan raja yang memerintah Belanda.
Untuk melakukan perundingan ditunjuklah Malahayati oleh Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di Belanda dengan Duta Besar pertamanya adalah Abdul Hamid.
Malahayati adalah satu-satunya laksamana perempuan di dunia. Ia telah menginspirasi penduduk bumi di belahan dunia mana pun. Untuk mengenang semangat dan heroisme perjuangannya, nama Malahayati kini ditabalkan pada sejumlah tempat seperti pelabuhan, kapal perang TNI Angkatan Laut, jalan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan.
Jika ingin bernostalgia, datanglah ke Lamreh Aceh Besar. Di puncak bukit yang menghadap Selat Malaka, di sanalah makam Laksamana perkasa ini berada. Di sini, kita bukan hanya bisa merekam jejak yang ditinggalkannya, tapi juga mendapat suguhan pemandangan teluk Krueng Raya dan pegunungan Bukit Barisan yang mempesona.[] sumber: Majalah Diwana Koetaradja
Editor: Boy Nashruddin Agus