Untuk mengetahui sosok Wali Nanggroe, maka wartawan The Atjeh Times mewawancarai Abu Razak di Banda Aceh, 21 Desember 2013. Berikut petikannya.
Bagaimana pendapat Partai Aceh tentang pengukuhan Wali Nanggroe?
Alhamdulillah, Wali Nanggroe sudah dikukuhkan. Pemerintahan Zikir (Zaini Abdullah – Muzakir Manaf) dari Partai Aceh, dalam tempo satu setengah tahun sudah berhasil memperjuangkan Qanun Wali Nanggroe dan juga pengukuhannya. Tentu ini berkat kerjasama kemitraan yang harmonis antara Pemerintah Aceh dan DPR Aceh di periode sekarang ini.
Partai Aceh sebagai pendukung utama keberadaan Wali Nanggroe tentu saja sangat bersyukut. Sebab, Wali Nanggroe adalah salah satu bentuk martabat Aceh. Di sini kita memperjuangkan harga diri. Sebab ini penting bagi Aceh sebagai sesuatu yang sangat istimewa.
Lalu, tentang munculnya penolakan beberapa waktu lalu bagaimana menyelesaikannya?
Kita melihat perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang biasa dalam dinamika kehidupan bermasyarakat di Aceh. Itu akan menjadi bagian dari pendewasaan berfikir asalkan memang datang dari proses pemikiran. Namun akan sangat kasihan jika kemunculan penolakan hanya sebagai alat dari orang-orang atau kelompok tertentu. Begitupun kita tak mempersoalkan. Lebih baik kita sama-sama membangun Aceh yang lebih baik ke depannya.
Ada juga yang mengatakan Wali Nanggroe adalah bagian dari Partai Aceh?
Tidak demikian. Wali Nanggroe itu adalah milik rakyat Aceh. Sedangkan Partai Aceh adalah bagian dari rakyat yang ikut memperjuangkan keberadaan Wali Nanggroe ini. Anda bisa melihat ketika pengukuhan dilaksanakan, di situ hadir berbagai komponan masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan juga keturunan raja-raja yang ada di Aceh.
Bagaimana dengan Pemerintah Pusat?
Alhamdulillah Pemerintah Pusat sudah menerima dan sangat menghargai sikap Aceh. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatakan menunggu kedatangan Wali Nanggroe di Istana Negara. Itu disampaikan melalui salah seorang menterinya, Azwar Abubakar (Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara). Itu artinya, Pemerintah Pusat tidak mempersoalkan Lembaga Wali Nanggroe. Bahkan Presiden SBY juga berjanji menuntaskan berbagai hal tentang Aceh sebelum beliau menghabiskan masa tugasnya. Ini semua menyangkut MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh.
Tentang sosok Wali Nanggroe bagaimana Abu Razak menilainya?
Kita dari Partai Aceh melihat beliau sebagai sosok yang sangat pantas duduk sebagai Wali Nanggroe. Banyak hal yang sudah beliau lakukan untuk memperjuangkan Aceh. Beliau adalah sosok yang terlibat langsung dalam proses perdamaian Aceh, dan beliaulah yang menandatangani perjanjian damai.
Apa pendapat Abu Razak mengenai berbagai hujatan untuk sosok Wali Nanggroe?
Nanti juga akan kita lihat sebuah kebenaran. Tidak bagus juga kalau kita saling menghujat. Pegangan kita adalah pada fakta-fakta. Yang harus kita pahami, berbagai tokoh di dunia ini memang selalu diwarnai dengan hujatan. Ada yang suka dan ada yang tidak suka itu merupakan dinamika kehidupan. Dan semua itu tak akan pernah mengecilkan si tokoh, malah semakin besar.
Yang perlu saya jelaskan, bahwa saya delapan tahun bersama beliau. Saya langsung melihat dan mengalami sendiri bagaimana beliau menjalani kehidupan sehari-harinya. Beliau adalah orang yang sangat santun dan sederhana. Hingga kini beliau masih menempati rumah kontrakan di Banda Aceh. Kendaraan pun beliau tak pernah memilih-milih, apa yang ada itulah yang digunakannya.
Yang paling sering dibacarakan apa saja?
Selalu saja tentang masa depan Aceh. Menurut beliau, kita semua harus mengutamakan pendidikan generasi penerus Aceh untuk melahirkan sumber daya manusia yang bagus. Putra-putri Aceh nanti yang seharusnya membangun Aceh. Beliau juga selalu mengingatkan kita agar jangan dulu menggali-gali pertambangan di Aceh, didik dulu anak-anak Aceh biarkan anak-anak Aceh sendiri nanti yang mengerjakannya.
Wali Nanggroe berpendapat bahwa soal pertambangan kita sudah punya pengalaman tidak baik di Aceh Utara. Itu terjadi sebab bukan putra-putri Aceh yang mengelola langsung pertambangan seperti gas bumi itu. Jadi untuk masa depan, beliau sangat ingin agar generasi penerus Aceh sendiri yang mengelolanya. Sebab, jika orang Aceh yang melaksanakannya tentu saja tidak akan membuat kerusakan lingkungan alam Aceh. []
Editor: