Aktivis meminta para pihak yang terlibat dalam perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperjuangkan aturan turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Selama ini, produk hukum hasil kesepakatan damai ini dinilai belum menemukan titik terang yang berimbas pada kesejahteraan dan keadilan masyarakat Aceh.
"Keterlibatan sejumlah mantan juru runding pada perdamaian MoU Helsinki sembilan tahun lalu, setidaknya dapat memberikan kontribusi positif terhadap reformasi dalam memahami butir-butir MoU maupun turunan UUPA yang secara sepenuhnya merupakan tanggungjawab bersama-sama," ujar Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik yang digelar The Atjeh Institute di Cafee 3 in 1, Banda Aceh, Senin, 18 Agustus 2014.
Diskusi tersebut bertajuk "Zikir dan 9 Tahun MoU: Quo Vadis Damai di Aceh". Beberapa tokoh Aceh diundang menjadi narasumber dalam diskusi ini di antaranya Kautsar M Yus, Nur Djuli, dan Yarmen Dinamika.
Yarmen menilai secara realita, perdamaian Aceh tidak mungkin mampu dijalankan oleh sebagian pihak. "Tentunya proses ini harus sama-sama dirangkul oleh semua kalangan karena ini sudah sepenuhnya tanggungjawab bersama, dengan kata lain tidak melepaskan tanggungjawab semata," ujarnya.
Sebagai catatan, penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu adalah bentuk komitmen damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintahan Republik Indonesia. Perdamaian tersebut 'menelurkan' beberapa kesepakatan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak. Poin-poin MoU Helsinki tersebut selanjutnya diatur ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau Undang-Undang Pemerintah Aceh.
Namun hingga kini beberapa aturan turunan UUPA tersebut masih macet di tingkat pusat. Di antaranya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah terkait bagi hasil Migas, RPP tentang kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, dan peraturan presiden tentang pertanahan. Peraturan presiden ini juga mengatur tentang penyerahan Kantor Badan Pertanahan Nasional di Aceh menjadi perangkat kerja daerah.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus